Anne Avantie – Sukses Dibalik Balutan Kebaya

Hangat, damai dan sederhana, demikian penampilan wanita kelahiran Solo ini. Lewat kemahirannya memadukan payet dan brokat, ekonominya meningkat. Ia sadar, perlu proses panjang yang disebut titik-titik kehidupan. Berkat keuletan dan kesabaran, serta dukungan dari suami, kini usahanya melaju pesat. Di saat itulah sembari tangannya terus memintal dan menghasilkan kebaya, tangan yang sama mengulurkan kasih sayang kepada mereka yang membutuhkan, terutama bagi anak-anak yang terlahir dalam keadaan tidak normal.
 
Anne Avantie, demikian nama wanita yang telah menjadi ikon kebaya Indonesia. Namanya mencuat sebagai desainner kondang, bahkan di kalangan artis Anne menjadi pilihan utama dalam membuat kebaya. Sebut saja; Krisdayanti, Ruth Sahanaya, Vina Panduwinata, Titik Puspa, Siti Nurhaliza dan masih banyak lagi lainnya. Bahkan karyanya ikut mentas di ajang ratu kecantikan sejagad (Miss Universe). Jika melihat mahakaryanya saat ini tentu tak menyangka bahwa Anne merintis semua keberhasilannya itu dari nol. Ia mengaku tidak pernah belajar khusus di dunia fesyen yang kini digelutin, seperti kebanyakan desainner lainnya.
“Mungkin orang berpikir, saya akan menyebutkan satu cerita menarik tentang sebuah pengalaman modis di masa remaja yang membuat saya tergila-gila pada dunia fesyen. Atau barangkali, orang juga menduga, saya adalah seseorang yang mengagumi perancang-perancang tersohor dunia, lalu saya mengambil pendidikan fesyen yang canggih sehingga mimpi saya pun menghampiri kenyataan. Dugaan lain, anggapan bahwa saya berasal dari keluarga yang berlimpah materi sehingga bisa melakukan apa saja yang saya mau, termasuk mendekati dunia fesyen,” ungkap ibu bernama Sianne Avantie dan akrba dipanggil Anne ini. Kemapanannya kini merupakan mata rantai panjang yang hingga sekarang dirasa belum berujung. “Terserah Tuhan mau bentuk seperti apa,” imbuhnya.
 
Keuletan dan kepasrahan
Wanita yang akrab dipanggil bunda oleh anak buahnya ini menuturkan, jika ia ada sampai saat ini hanyalah karena kasih dan anugerah Tuhan. Karenanya, Anne tidak ingin melupakan setiap pertolongan Tuhan dan rindu menyalurkan kasih serta anugerah tersebut pada banyak orang. Ia menjadi inspirasi bagi perempuan. Seorang wanita yang hanya lulusan SMP dan tak mampu melanjutkan sekolah karena kurang biaya, namun sanggup menahlukan gunung persoalannya.
“Saya pernah merasakan pahitnya hidup. Bahkan saya pernah gagal dalam berumah tangga. Puji Syukur, Tuhan telah memberi saya kesempatan untuk memperbaikinya,” ucap Anne mengenang. Lalu ia menjelaskan, kegagalannya dalam membina rumah tangga dulu dijadikan pelajaran yang cukup berarti. Ia sendiri tidak mau tenggelam dalam kegagalan, melainkan bangkit dan berjiwa besar menghadapi hidup selanjutnya.
Tahun 1989 Anne dipinang Yoseph Henry. Dalam kesederhanaan keduanya diberkati di Gereja Kateral – Semarang. Anne yakin pernikahannya dengan Henry berbeda dengan pernikahan pertamanya. sendiri. “Dengan dukungan suami, saya memakai garasi di rumah kontrakan menjadi studio jahit. Dengan dua mesin jahit tanpa dinamo saya terima jahitan khusus untuk kostum tari dan sejenisnya,” terangnya.
Henry, suaminya turut mempromosikan usaha baru Anne hingga suatu hari grup tari yang cukup kondang pada masa itu (Andromedys Dance) mau menggunakan jasa modistenya. Dari situlah muncul ide untuk menjadi sponsor kostum dimanapun grup dance ini manggung. Lewat atraksi Andromedys Dance, sontak nama Anne pun banyak dikenal orang. Ia juga ditawari ikut show di Ikatan Perancang Muda Jawa Tengah. Selangkah demi selangkah usaha Anne kian berkembang. Anne rajin mengikuti show-show yang diadakan di Semarang. Sedang Henry menyiapkan spanduk bertuliskan modistenya (Griya Busana Permata Sari).
Berkat keuletan dan kerja sama yang baik dengan pasangannya, usaha di bidang busana pun makin meningkat hingga akhirnya nama Anne Avantie dikenal sebagai desainner hebat dengan spesialis kebaya. Ia memilih menekuni kebaya pada tahun 1999. Menurutnya, kebaya merupakan simbol kelembutan dan ketangguhan perempuan. Keputusan itu juga didukung suami dan ibunya. Sekali lagi ia katakan, “Perjalanannya tidak selalu mulus melainkan ada tantangan. Dengan kesabaran dan keuletan maka masalah demi masalah bisa terlewati”. Masa transisi dialaminya. Ia selalu memakai kekuatan doa sebagai sumber keberanian melewati tiap rintangan.

Peduli orang susah
Ketika karirnya kian membumbung tinggi, Anne tak menjadi takabur. Ia selalu berprinsip bahwa hidup harus arif, pun didalam masa kejayaan. Menurutnya dalam kejayaan justru ada tanggungjawab besar yang sedang dipikul. Karenanya, bersama keluarga, ia selalu berbagi kasih. Sebisa mungkin menyalurkan berkat yang sudah mereka terima. Suatu hari Tuhan memberi beban yang baru, yaitu peduli dengan anak-anak dengan kekurangan fisik.
“Suatu hari suami menyodorkan koran pagi. Di lembar yang ia tunjukan ada berita tentang anak penderita hydrochepalus yang mengharapkan donator. Anak itu bernama Aris Masori, berusia 6 bulan dan tinggal di Rembang,” tuturnya. Setelah membaca, hati Anne tergugah. Lalu ia mengirim uang Rp.100 ribu tanpa ada pikiran ingin mengoperasikan anak tersebut. Namun rencana Tuhan lain. Keluarga Aris mengira uang tersebut dikirim sebagai ongkos ke Semarang dan berharap anaknya dioperasikan. Bertepatan dengan kepulangan Anne dari bukit doa di Gua Kerep-Ambarawa, keluarga Aris pun datang ke rumah. Tentu saja ia kaget.
“Padahal ketika saya berdoa, saya minta petunjuk Tuhan, apa yang harus saya buat. Ternyata, setelah saya renungkan itulah kehendak Tuhan atas hidup ini. Tuhan memberikan beban untuk melayani anak hydro,” terang Anne yang mengaku hancur hati ketika melihat dengan mata kepala sendiri keadaan Aris. Karena itu, dengan persetujuan Henry, Anne membawa anak tersebut di rumah sakit Elisabeth-Semarang. Kebetulan Anne tercatat sebagai relawan di rumah sakit tersebut.
Berhasil dengan operasi pertama, Tuhan mengirim anak-anak lainnya. Syukurnya, niat tersebut disambut baik oleh Suster Fidelia dan dokter Amanullah, dokter spesialis di RS Elisabeth yang hingga kini menjadi rekan dalam misi kemanusiaan ini. Banyak yang mencibir pelayanan tersebut, namun banyak juga yang simpati. Bagi Anne cibiran dan hinaan bukan masalah, ia mau lebih giat lagi menekuni pelayanan tersebut. Bahkan sekarang sudah berdiri Wisma Kasih yang diperuntukkan untuk anak-anak hydrocepalus yang dipakai untuk anak yang akan dan setelah operasi. Hingga saat ini, lebih dari 500 anak telah dibiayai untuk operasi. Tak hanya anak hydro, Anne dan suami juga peduli terhadap kaum guy. Ia pun membuka pelayanan bagi mereka yang seringkali dianggap penyakit bagi lingkungan.

 Tetap pada tugasnya
“Perempuan memang mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan laki-laki untuk bisa mencapai keberhasilan. Tetapi perempuan berprestasi tak bisa dipandang sebagai satu kepribadian yang maju sendiri. Perempuan berprestasi itu juga dilihat siapa dan bagaimana suaminya. Artinya, perempuan tetap harus mendukung serta menghargai keberhasilan suaminya dan sang suami pun memberi energi melalui pengertiannya,” ujar Anne kala ditanya tentang emansipasi perempuan.
“Saya menjadi seperti sekarang ini, tidak lepas dari dukungan Yoseph Henry, suami saya. Setiap kali pergi, saya usahakan untuk selalu memberitahu Pak Yoseph akan kemana saya, sampai jam berapa, acaranya apa saja, sampai dia juga tahu jadwal saya selama sebulan full. Ini sebagai tanda bahwa perempuan tetap menghargai sang suami tanpa harus melibatkannya secara penuh,” ungkapnya.
Bahkan menurut Anne, sesibuk-sibuknya atau sesukses-suksesnya seorang perempuan, tetap suami yang memegang kendali utama dalam rumah tangga. “Saya yakin, tidak ada perempuan yang mampu berjalan sendiri tanpa dukungan penuh suaminya. Oleh karena itulah, kita sebagai perempuan tetap harus menghargai suami apa adanya dia. Namun sekarang ini perempuan sudah banyak yang melupakan kodratnya, terlalu larut dengan kata emansipasi,” tambah desainer yang prestasinya telah diakui di seluruh penjuru negeri ini.
Bagi Anne kodrat perempuan adalah melayani suami dan anak-anak. Hal itu juga diajarkan pada ketiga buah hatinya (Intan, Ernest dan Dio). Demikian juga dengan keterbukaan, kedispilinan dan komunikasi. Karenanya, sesibuk-sibuknya Anne dan Henry, keduanya selalu menyempatkan diri untuk menyapa anak-anaknya.
“Kalau tidak ke luar kota, sebisa mungkin saya menyiapkan makan untuk keluarga. Kodrat perempuan saat ini sudah banyak yang dihilangkan. Banyak yang beranggapan kalau sudah sukses dengan karir maka tugas rumah buakan menjadi tugas perempuan. Dan lebih utama adalah dalam hal menghargai suami. Banyak istri yang sukses menganggap suaminya tidak becus dan tidak bisa menghargai pasangannya. Ini paradigma yang salah,” tandasnya.
Kini semua ada dalam genggaman Anne. Keluarga yang harmonis, karir yang mapan serta kehidupan sosial yang baik. Tak ada lagi yang diharapkan kecuali ia ingin dipakai Tuhan lebih besar lagi. Karena itu dengan balutan kebaya sebagai mata pencahariannya, Anne ingin terus melanjutkan jalinan kasihnya untuk sesama, tanpa ada batasan suku, ras dan agama. Seperti laiknya Mother Theresa, tokoh yang diidolakannya. “Selama Tuhan masih memberi kesempatan dan hidup, saya akan melakukan hal-hal yang berguna bagi banyak orang,” imbuh Anne. [DK]