Kisah Nyata Oie Hui Lan Putri Orang Terkaya di Asia Tenggara yg Sangat Tragis


Ada sejarah yang terlupakan, bahwa sebelum lahirnya Kartini, ada putri Indonesia yang sangat begitu berpengaruh terhadap dunia dia adalah Oei Hui Lan atau di kenal dengan sebutan Madame Wellington Koo.

Kisah ini adalah kisah nyata tentang Putri Sang Raja Gula yang dia tulis dalam bukunya "Tak Ada Pesta Yang Tak Berakhir", Cerita ini cukup menarik untuk di simak sebagai pembelajaran bahwa harta bukanlah nyawa dalam sebuah kehidupan yang bahagia.

Berikut ini kisahnya :

Oei Hui Lan adalah Putri kelahiran Semarang Jawa Tengah pada Tahun 1889, ia adalah Putri kedua dari keturunan perantau Oei Tiong Ham, sedangkan Oei Tiong ham adalah orang terkaya di Asia Tenggara pada sa'at itu. dia juga menjadi Tonggak Sejarah perubahan Bangsa Cina di Bumi Nusantara.

Oei Hui Lan yang terlahir dengan kemewahan dan kehidupan yang sempurna karena ayahnya Oei Tiong Ham adalah seorang pria terkaya di Asia Tenggara yang disebut sebagai Raja Gula asal Semarang Jawa Tengah, Oei Hui Lan mempunyai suami bernama Wellington Koo, seorang Politikus handal, ia menjabat sebagai Menteri Luar negeri Cina yang ikut serta dalam pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sedangkan sang Ibu adalah sosok wanita ambisius yang berhasil membawanya bergabung dengan kalangan Jet Set di Eropa yang sejajar dengan keluarga Kerajaan dan para Bangsawan Eropa.

Perjalanan Oei Hui Lan bagaikan sebuah kisah Telenovela yang tidak pernah berhenti dengan konflik, perselingkuhan dan tragedi kehidupan, sang ayah tiba-tiba meninggal dan menyisakan warisan yang menjadikan petaka diantara 8 istri dan 42 anak-anak yang dilahirkan. Warisan yang sejatinya membawa berkah berubah menjadi pertikaian yang tidak pernah berhenti sampai detik ini, sebuah sejarah kehidupan yang membuat kita bertanda tanya, apakah kekayaan dan kehormatan dapat memberikan kita rasa bahagia sesungguhnya ?

Oei Tiong Ham, yang dijuluki Raja Gula dari Semarang pernah jadi orang terkaya di Asia Tenggara. Ia juga berdagang candu. Berlainan dengan Tjong A Fie, ia tidak dikenal sebagai dermawan. Sekitar tiga dasawarsa yang lalu, putrinya Oei Hui Lan, bersama Isabella Taves, menulis memoar yang diterbitkan di Amerika Serikat. Dari buku berjudul No Feast Last Forever itu kita bisa tahu perihal kehidupan mereka, yang bisa membeli apa saja dengan uang mereka yang berlimpah. Namun apakah mereka berbahagia ?
Saya lahir di Semarang, Desember 1889 sebagai Oei Hui Lan, putri Oei Tiong Ham yang pernah dikenal sebagai Raja Gula dan oran terkaya di Asia Tenggara. Ibu saya istri pertamanya. Ibu hanya mempunyai dua orang anak, kedua duanya perempuan. Kakak saya Tjong lan, sepuluh tahun lebih tua dari saya. Ayah masih mempunyai 42 anak dari 18 gundik. Bagi orang Cina, anak gundik pun dianggap sebagai anak sah.
Saya duga, anak ayah lebih banyak daripada itu, tetapi cuma anak laki laki yang kelingkingnya bengkok yang diakuinya sebagai putranya. Kelingking bengkok diwarisi ayah dari ayahnya. Tjong Lan berkelingking bengkong. Kelingking saya lurus. Namun ayah tidak meragukan saya sebagai anaknya, sebab mana mungkin ibu saya serong dengan pria lain.
Wajah Kakek dianggap membawa Rezeki
Kakek saya Oei Tjie sien berasal dari Amoy, di daratan Cina. Pada masa mudanya ia senang bertualang. Ia terpelajar dan konon tampan seperti Raja Umberto dari Italia, tetapi seingat saya ia pendek dan gemuk.
Karena ikut pemberontakan Taiping, ia menjadi buronan pemerintah Mancu. Terpaksa ia kabur ke sebuah jung yang akan berangkat. Setelah berlayar berbulan-bulan, tibalah ia di Semarang, Jawa. Ia turun tanpa membawa uang sepeserpun dan pakaiannya hanya yang melekat di badan. Di tempat asing yang bahasanya sama sekali tidak dikenalnya itu, ia hanya bisa menawarkan tenaga mudanya.
Mula-mula ia bekerja di pelabuhan, menghela jung-jung yang kandas di lumpur. Ia menyewa penginapan murah tempat para pendatang Cina tidur menggeletak di lantai papan. Pada suatu malam, pemilik gubuk bambu itu melihat pemuda yang sedang tidur kelelahan itu. Wajah pemuda itu dianggapnya membawa rezeki. Pemilik gubuk kebetulan mempunyai banyak anak perempuan. Pemuda itu dibangunkannya untuk dilamar menjadi menantunya. Oei Tjie sien mau saja. Calon istrinya baru berumur 15 tahun, tubuhnya kuat dan sifatnya penurut.
Mereka menikah tanpa pesta apa pun. Perempuan muda itu bekerja keras membantu suaminya. Ia melahirkan tiga anak putra (yang seorang meninggal saat masih bayi) dan empat putri. Sementara itu Oei Tjie Sien keluar masuk kampung memikul barang kelontong. Kadangkadang dari kampung ia membawa beras untuk dijual di kota.
Lama kelamaan , ia menjadi makmur berkat beras. Dikirimkannya uang ke Cina untuk membeli pengampunan, sehingga ia bisa berkunjung ke cina, sekalian memperkenalkan putra sulungnya, Oei Tiong Ham, kepada orang tuanya. Petama kali diajak ke Cina itu, umur ayah baru tujuh tahun. Ia lahir 19 November 1866.
Potong Kuncir Lalu ke Eropa
Kakek berakar di Jawa. Anak-anaknya, bisnisnya dan bahkan makamnya pun ada di pulau itu. Namun ia selalu menganggap dirinya orang Cina dan disebut singkeh, tamu baru. Ia hidup seperti di Amoy, makan makanan Hokkian saja, berbahasa Hokkian saja (ia paham bahasa Melayu tetapi cuma bisa mengucapkan beberapa kata) dan selalu memakai pakaian cina. Karyawannya semua orang Cina, yang berhitung dengan sempoa.
Nenek saya tidak pernah keluar rumah, kecuali kalau ada upacara pembersihan makam keluarga. Kegiatannya cuma main mahyong dan kadang kadang mengisap pipa air. Ia tidak pernah mengunyah sirih, berlainan dengan nenek saya dari pihak ibu.
Namun kakek saya Oei Tjie Sein dan tanda tangannya pun Oei Tjie Sein. Namun ia ingin disebut Kiangwan. Perusahaannya disebut Kian gwan kongsi. Anehnya nenek saya menganggap dirinya Kong si. Jadi kalau menyuruh pelayan umpamanya, ia berkata ,”Kongsi ingin anu.” Kalu berbicara dengan ayah umpamanya, ia berkata Kongsi tidak suka anu.” Ayah juga kemudian memilih anam Tai gawan.
Menjelang lanjut usia, kakek lebih banyak berada di rumah peristirahatannya di luar kota, ketimbang di rumah lamanya di pecinan, walaupun kantornya tetap disana. Soalnya, ia mempunyai dua gundik yang ditempatkan di rumah peristirahatannya itu. Gundik yang seorang adalah seorang perempuan cina yang cantik, yang kulitnya putih mulus seperti porselin dan rambutnya hitam lebat. Kalau sanggulnya dilepas, rambutnya terurai mencapai mata kaki. Kakek lekas bosan kepadanya. Perempuan itu ditempatkannya di sebuah rumah kecil di lahan kakek yang luas itu. Makanan dan pakaiannya dicukupi. Keluarganya boleh menjenguk sekali sekali. Namun apalah artinya kalau kakek tidak pernah mengunjunginya. Saya heran perempuan muda itu bisa bertahan agar tidak menjadi gila.
Di rumah utama, kakek tinggal dengan seorang gundik yang paling dikasihinya. Perempuan itu berkulit hitam dan wajahnya buruk. Ia bertelanjang kaki, mengenakan sarung dan tidak bisa berbahasa Cina. Mereka memiliki dua orang anak yang kulitnya berwarna terang. Saya tidak pernah melihatnya, sebab ketika kakek meninggal ayah memberikan uang dan menyuruhnya pergi bersama anak anaknya, yang tidak diakui ayah sebagai saudaranya. Gundik kakek yang cantik dinikahkan dengan seorang karyawan ayah.
Nenek tidak penah diundang kakek ke rumah peristirahatannya. Walaupun nenek ingin sekali datang. Dekat rumah itu, kakek sudah menyediakan mausoleum untuk makamnya, yang dibangun selama 25 tahun. Nenek meninggal lebih dulu daripada kakek. Ketika kakek meninggal, ia mewariskan 10 juta gulden atau kira kira AS$ 7 juta. Buat ukuran jawa waktu itu, jumlah itu besar sekali.
Saat itu ayah sendiri sudah kaya. Jadi ia meminta kakek menyerahkan rumah besar di Pecinan kepada adik ayah, yang lebih suka menjadi seniman daripada pedagang. Adik-adik ayah yang perempuan mendapat warisan juga. Sejumlah uang disisihkan pula untuk menolong orang orang bermarga Oei yang memerlukan bantuan.
Sesudah kakek meninggal, ayah menjadi kepala keluarga besar kami dan kami pun bebas melakukan hal-hal yang tadinya dilarang kakek. Yang pertama dilakukan ayah adalah meminta izin khusus kepada penguasa Belanda untuk memotong jalinan rambutnya. Kami pun berkunjung ke Eropa untuk perama kalinya. Masa itu perjalanan dengan kapal makan waktu 35 hari. Bagi kakek, dunia ini cuma Cina, tetapi dunia ayah lebih luas.
Janda Yang Baik Hati
Sebelum ayah mulai berusaha mencari nafkah sendiri, ia membantu kakek. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan uang sewa rumah. Suatu hari, setelah berhasil menggantungi 10,000 gulden, ia lewat ke tempat perjudian dan tidak bisa mengekang nafsunya untuk berjudi. Uang bawaannya amblas.
Keluar dari rumah perjudian, baru ia insaf apa akibat kekalahannya di meja jugi itu. Ia tidak punya muka untuk berhadapan dengan ayahnya karena telah berani mempergunakan uang yang bukan miliknya. Kakek bukan hanya tidak suka pada perjudian, tetapi juga keras terhadap anak. Ayah merasa dirinya hina dan bermaksud menceburkan diri dari jembatan. Namun ia ingin mengucapkan selamat berpisah dulu dari kekasihnya, seorang Janda. Janda itu mendesak ayah untuk menerima uangnya sebanyak 10,000 gulden. Akhirnya, ayah mau juga menerimanya. Kebaikan janda itu tidak pernah dilupakan ayah. Ia bukan cuma mengembalikan uang itu, tetapi juga menjamin hidup janda yang menyelamatkan nyawanya itu.
Kakek selalu hidup hemat, ayah sebaliknya. Kakek sering memarahi ayah karena kesenangannya bermewah mewah itu. Suatu hari, karena kesel dimarahi, ayah berkata kepada nenek,“Suatu hari kelak, saya akan lima puluh kali lebih kaya daripada ayah.“Hal itu memang terlaksana.
Mulanya begini: Salah sebuah rumah milik kakek ditinggali seorang Jerman yang sudah lanjut usia. Mantan konsul itu ingin sekali membeli rumah dengan tanah luas yang mengelilinginya itu, tetapi kakek tidak mau menjualnya. Menurut orang Cina, menjual salah satu miliknya berarti kehilangan gengsi. Jadi mantan konsul itu mendekati ayah yang diketahuinya akan mewarisi rumah dan tanah itu.
Saya akan memberi Anda sejumlah uang yang bisa Anda tanamkan sekehendak hati,“usul orang Jerman itu.“Kalau uang itu amblas, saya tidak akan mengeluh. Kalau berkembang sampai sepuluh kali lipat atau lebih, berikanlah rumah dan tanah itu untuk saya pergunakan seumur hidup.
Pada dasarnya ayah seorang penjudi. Ia selalu yakin nasib baik berada ditangannya. Karena itu ia juga lebih suka mempunyai karyawan yang kepandaiannya sedang sedang saja tetapi rezekinya besar daripada memperkerjakan orang yang pandai yang tidak mempunyai hoki. Namun selain mengandalkan hoki, tentu saja ia juga pandai melihat situasi dan memanfaatkannya.
Tawaran dari mantan konsul itu sama saja dengan tantangan untuk berjudi. Jadi ia bertanya berapa jumlah uang yang akan diberikan oleh bekas konsul. Jawabannya mencengangkan dia: AS$ 300,000. Ayah segera setuju, tetapi tidak berburu nafsu menanamkan uangnya. Ia berpikir ayahnya menjadi kaya berkat beras. Jawa memang cocok ditanami padi, sementara itu tenaga kerja dan lahan murah. Tebu juga terbukti cocok ditanam di tanah Jawa. Jadi, ayah membeli lahan luas untuk ditanami tebu. Masa itu Revolusi Industri belum sampai ke Jawa, tetapi ayah sudah mendengarnya,. Ia mendatangkan ahli ahli dari Jerman untuk memberi nasihat perihal mesin mesin yang diperlukan untuk bercocok tanam dan mengolah tebu menjadi gula. Ia mendatangkan mesin mesin dan lewat mantan konsul ia juga mengirimkan pemuda pemuda ke Eropa untuk belajar menjalankan mesin mesin itu dan membetulkannya.
Suksesnya berkesinambungan sebab ia tidak pernah puas. Ia peka terhadap setiap pembaharuan dan gagasan, sehingga tidak henti hentinya menyekolahkan karyawan ke luar negeri supaya bisa mempelajari hal hal yang baru. Mesin mesinnya terus diperbaharui dan pabriknya mendapat aliran lsitrik lebih dulu daripada kediamannya.
Ayah berkata kepada saya,”Jangan mau jadi orang biasa biasa saja. Kita mesti menjadi orang nomor satu.” Kemudian ayah melebarkan sayapnya ke luar negeri dan ke bidang bidang lainnya seperti kopra. Sekali ia menunjukkan kepada saya perkebunan kopranya di luar kota Singapura. Saya berseru kagum ketika melihat tanaman indah itu. Ayah berkata,”Orang lain melihat pohon, aku melihat uang. Pohon kelapa tidak meminta banyak perawatan, tetapi mendatangkan banyak uang.”
Menurut saya, ayah bukan cuma berhasil berkat hoki, tetapi terutama oleh kepercayaan dirinya yang timbul karena ia menguasai bidang yang ia geluti. Akibatnya ia bisa cepat memutuskan segala sesuatu . Ia juga memiliki kepekaan untuk memilih waktu yang tepat.
Membuka Perwakilan di Wallstreet
Pada kunjungan kami yang pertama di Eropa, ayah membuka kantor perjualan di London dan Amsterdam. Untuk mewakilinya di Amsterdam, ayah memperkerjakan seorang Belanda bernama Peters, yang selalu saya panggil Pietro. Ayah mempunyai kapal-kapal sendiri untuk mengangkut gula, kopra, dan tepung kanji. Ayah yang tidak bisa berbahasa belanda, inggris, maupun Perancis itu kemudian membuka perwakilan di Wallstreet, New York.
Asal Muasal ia mengusahakan tapioka itu begini: suatu ketika seorang pemilik pabrik tapioka di Semarang ingin menjual pabriknya yang merugi terus. Ayah menukarkannya dengan sebuah rumah kecil. Pabrik itu diperbaikinya dan dilengkapinya dengan mesin mesin. Tidak lama kemudian ia sudah menjual 1,5 juta ton tapioka ke Asia Timur laut.
Ketika kakek meninggal, ayah menerima warisan rumah mantan konsul jerman itu. Sebetulnya ayah bisa membayar kembali uang pinjamannya beberapa kali lipat, namun ia menepati janjinya.
Bandul intan 80 karat
Ketika ayah saya menjadi kayaraya dan mendapat gelar kehormatan Majoor der Chinezen (1901) , saya sering ikut dengannya melakukan perjalanan perjalanan bisnis. Ayah berpesan kepada para sekretarisnya.,”Belikan dia semua yang diinginkannya”. Saya pun terbiasa untuk diistimewakan, untuk menyimpang dari peraturan yang berlaku dan untuk mengharapkan semua orang tahu bahwa saya anak ayah yang berkuasa.
Tidak ada seorang anak Belanda pun yang memiliki rumah boneka seindah kepunyaan saya. Tingginya sedagu saya, dibeli Pietro di Eropa. Saya bisa merangkak masuk ke dalamnya. Perlengkapannya komplet dan penuh detail. Di kamar mandinya ada handuk yang serasi. Ranjangnya memakai per dan kasur. Dalam lemari pakaiannya bergantungan pakaian boneka boneka saya. Di dapurnya ada panci, alat penggoreng, garpu dan pisau.
Di belakang rumah kami ada kebun binatang, berisi kera, rusa, beruang, kasuari, dll. Kalau ayah kembali dari bepergian, ia selalu membawa hadiah untuk saya spasang kuda poni, sepasang anjing chihuahua, boneka atau apasaja.
Umur saya belum tiga tahun ketika ibu mengalungkan bandulan intan 80 karat ke leher saya. Besar intan itu sekepalan tangan saya dan tentu saja menganggu gerak gerik dan bahkan menyakitkan saya. Namun ibu tidak perduli. Suatu hari ketika pengasuh memandikan saya, ibu melihat dada saya luka akibat intan itu. Barulah ibu melepaskannya. Sampai buku ini ditulis. Intan itu masih saya miliki, tersimpan di sebuah bank di London.
Jago Menyogok, tapi pantang disogok.
Ketika masih kecil, saya pernah ikut ayah ke Penang. Kakak saya Tjong Lan tidak dekat dengan ayah. Ia bahkan takut. Di Penang,s aya tinggal di kapal saat ayah turun ke darat. Kemudian datanglah seorang lanjut usia ke kapal, menyerahkan sekotak uang emas kepada saya, sambil membungkukkan badannya dalam dalam. Saya tidak tahu benda itu uang emas inggris, yg nilainya 200,000 poundsterling. Saya kira cuma mainan. Waktu ayah datang saya sedang bermain main dengan uang itu. Ayah bertanya darimana saya mendapatkannya. Ia segera menyuruh orang mengembalikan uang itu.
Rupanya pria lanjut usia yang naik ke kapal itu bermaksud menyogok ayah dengan memberi hadiah berharga kepada anak kesayangan ayah. Ayah pantang disogok, padahal ia sering menyogok pejabat pejabat Belanda supaya usahanya lancar.
Ayah juga tidak percaya kegunaaan pengawal pribadi. Ia lebih yakin pada caranya sendiri. Setiap tahun ia memberi sejumlah uang kepada kelompok bandit yang paling berpengaruh, untuk menangkal gangguan maling dan pembunuh. Usahanya berhasil.
Keluarga kami merupakan satu satunya keluarga Cina yang tinggal di luar pecinan. Masa itu kadang kadang orang Cina diolok olok anakanak belanda yang bubar dari sekolah. Ayah mempunyai cara untuk menanggulanginya. Ia turun dari kereta, lalu mendekati anak yang paling besar. Kelihatannya kami pemimpin mereka,”katanya seraya mengangsurkan sekeping uang emas.”Tolong urus mereka.”
Uangnya dikoporkan
Ayah selalu berpakaian rapi, di luar maupun di dalam rumah. Kalau keluar, ia selalu mengenakan setelan jas putih. Sepatunya pun putih. Di dalam rumah ia memakai celana dari bahan batik dan jas tutup cina.
Kejantanan dihargai tinggi di kalangan orang Cina. Seorang pria Cina boleh memiliki gundik sebanyak yang ia mampu. Kadang kadang istri pertama mencarikan gundik bagi suaminya, tetapi ibu saya tidak sudi melakukan hal semua itu. Ibu saya bernama Bing Nio, yang kalau diterjemahkan ke bahasa Inggris sama dengan Victoria. Ia berasal dari keluarga Goei. Dalam keluarga itu, kaum prianya bertubuh besar, tetapi kaum perempuannya bertubuh kecil. Nenek moyangnya berasal dari Shantung, tetapi sudah bergenerasi generasi mereka tinggal di Jawa. Nenek saya melahirkan 5 putri dan empat putra. Kelima putrinya cantik-cantik. Yang paling cantik ibu saya. Kakek saya bekerja di bank dengan penghasilan tidak seberapa.
Nenek saya dari pihak ayah mencarikan gadis paling cantik di pecinan untuk dijadikan isteri ayah. Dari para comblang ia mendengar perihal kecantikan ibu saya. Jadi ketika ibu berumur 15 tahun, Nenek Oei mengirimkan tandu keemasan untuk menjemputnya. Tandu itu berarti orang tua phak laki laki menginginkan ia menjadi menantunya. Pengantin perempuan tiba di rumah mertuanya dengan ditandu oleh empat orang. Ia melakukan kowtow, yaitu berlutut dan menundukkan kepala sampai dahi menyentuh lantai di hadapan mertuanya. Sampai saat itu pengantin wanita belum pernah melihat calon suaminya, tetapi sejak itu hanya maut yang bisa melepaskannya dari ikatan pernikahan. Pada masa itu perceraian tidak pernah tejadi, kecuali kalau pihak perempuan melakukan salah satu dari tujuh dosa tidak berampun.
Ayah menerima saja tradisi ini. Tidak terpikir olehnya untuk menceraikan ibu yang tidak memberikan anak laki laki. Cuma saja ia terus menerus menambah gundik dan banyak di antara gundiknya itu yang memberinya anak laki laki. Ia juga tidak pernah tinggal dengan salah seorang gundiknya itu, sampai muncul seorang gundik bernama Lucy Ho, dalam hidupnya.
Karena tidak mempunyai anak laki laki, ibu terus menerus merasa dirinya memiliki kekurangan dan frustasi. Ayah tidak pernah menolak permintaaannya akan kebendaan, bahkan juga setelah ibu meninggalkan ayah untuk tinggal bersama saya di London. Ibu sering mengirim kawat untuk meminta uang.”Kirim empat,”artinya ia meminta 4,000 poundsterling yang masa itu setara dengan AS$ 25,000. Tanpa banyak cingcong, ayah akan mengirimkan uang sebanyak yang diminta.
Pernah ketika masih tinggal di Semarang, ketika saya berumur kira kira 12 tahun, saya terbangun oleh bunyi petir. Saya berlari masuk ke kamar ibu. Ia sedang duduk di ranjang, menghitung setumpuk tinggi uang di bawah kelap kelip lampu minyak. Saya begitu terpesona sampai melupakan ketakutan saya. Ibu tersenyum dan berbisik,”Ayahmu pulang membawa sekoper uang. Aku mengambilnya sebagian. Ia tidak pernah menyadarinya.
Saya heran mengapa ibu tidak meminta saja: Saya yakin ayah akan memberikannya. Mungkin ibu tidak mau ayah tahu untuk apa uang itu. Pada masa itu kami tidak pernah membawa bawa uang. Kalau kami menginginkan sesuatu, kami tinggal mengambilnya saja di toko dan pemilik toko akan menagihnya kepada ayah. Saya rasa ibu memberikan uang itu kepada keluarganya sendiri. Perempuan cina yang tidak mempunyai anak laki laki memang memerlukan segala cara untuk membangun egonya, kalau perlu dengan membeli. Kalau cuma untuk mencukupi kebutuhan keluarga secara wajar saja, saya yakin ia tidak perlu melakukan perbuatan itu. Namun kakek saya dari pihak ibu pecandu, sedangkan suami dari beberapa saudara perempuannya sering berurusan dengan pihak berwajib.
Ayah saya lahir pada tahun harimau, sedangkan ibu pada tahun naga. Mereka sama sama tidak mau tunduk. Namun ibu menyukai status sebagai isteri ayah. Ia mencintai perhiasannya. Di luar rumah ia dianggap tokoh penting. Kalau ia pergi menonton sandiwara, para pemain berlutut di hadapannya seusai pertunjukan. Lantas ibu akan memberikan tip yang besar sekali.
Kalau pulang bertamu dari rumah nyonya belanda, sering bajunya cuma disemat dengan peniti biasa, karena penitinya yang bertaburkan permata ia hadiahkan kepada nyonya rumah yang mengagumi perhiasannya itu. Ayah akan membelikannya yang baru. Yang perlu ia lakukan hanya meminta.
Bersaudara 42 orang
Saya tidak begitu kenal saudara ibu. Seorang saudara perempuannya, menikah dengan seorang pria yang cukup berada, tetapi tidak dikaruniai anak. Jadi, bibi saya itu mengangkat dua anak perempuan, yaitu anak saudara suaminya. Bertahun tahun kemudian, ternyata kedua anak angkatnya itu menjadi gundik ayah. Yang seorang Cuma bertahan sebentar, karena ia minggat dengan sopirnya, seorang pribumi. Adiknya tidak begitu cantik, tetapi tubuhnya indah dan ia pandai, namanya Lucy Ho.
Setelah ibu meninggalkan ayah untuk tinggal bersama saya di London, ayah dan Lucy Ho pindah ke Singapura. Ayah keluar dari Jawa untuk menghindari pajak. Lucy gundik yang penuh pengabdian. Ia mengurusi keuangan dengan cermat dan ia memberi anak kepada ayah setiap tahun. Anak laki lakinya banyak. Setelah tinggal dengan dia, ayah berubah. Walaupun uangnya tetap banyak, ia tidak hidup mewah seperti yang disukainya semasa di Jawa.
Ironisnya dari keluarga semacam kami ialah Putri Lucy yang sudah dewasa suatu hari ketika bertemu dengan putri Tjong Swan (Saudara saya berlainan ibu) di New York. Mereka jatuh cinta, tetapi tidak diperkenankan menikah oleh hukum AS, sebab ayah si pemuda adalah kakek si gadis. Mereka akhirnya menikah juga di Belanda. Mungkin hal itu bisa terlaksana berkat pengaruh Tjong Hauw., adik saya berlainan ibu juga.
Di antara 42 saudara saya tidak seibu, hanya Tjong Swan dan Tjong Hauw yang cukup dekat dengan saya. Keduanya diserahi mengurus usaha ayah di Jawa, ketika ayah sudah pindah ke Singapura. Tjong Hauw diperoleh ayah dari seorang perempuan yang ditipunya. Perempuan itu berasal dari udik. Ia tidak mau dijadikan gundik. Ia ingin dijadikan istri. Ayah setuju, perempuan itu dijemput dengan tandu. Namun di rumah tempat ia dibawa dilihatnya tidak ada pesta, tidak ada mertua. Walaupun demikian ia tidak bisa kembali ke orangtuanya sebab akan memberi aib. Hampir saja ia gila. Walaupun ia memberi ayah empat putra, ayah memperlakukannya dengan kejam. Sebelum ia disingkirkan, ayah menyuruhnya menjahitkan kelambu untuk gundik berikutnya.
Bandot
Sebelumnya ayah saya sudah menjadikan seorang janda sebagai gundiknya. Ny Kiam membawa serta adik perempuannya yang berumur kira kira sepuluh tahun dan seorang anak perempuannya yang berumur dua atau tiga tahun. Ny Kiam sangat mencintai ayah, tetapi ia tidak memberi ayah keturunan. Ketika adiknya berumur 15 atau 16 tahun, ayah menjadikannya gundiknya. Perempuan itu melahirkan lima anak laki laki dan empat anak perempuan.
Karyawan ayah menyebutnya isteri nomor dua. Di rumah kami tidak ada yang berani mempergunakan sebutan itu, karena ibu tidak menyukainya. Kenyataannya ia memberi ayah banyak anak laki laki. Ayah tidak menyukai putranya yang pertama karena sangat dimanjakan oleh ibunya. Ayah memilih putranya yang kedua Tjong Swan untuk menjadi andalannya di samping Tjong Hauw.
Lama setelah itu,, ketika saya sudah menikah dengan Wellington Koo dan singgah di Penang dalam perjalanan dari London menuju Beijing, dua orang perempuan wajahnya menyenangkan menemui saya,”Kami adik adikmu,”kata salah seorang diantaranya sambil tersenyum. Ternyata mereka itu putri putri ayah dari cucu Ny. Kiam. Rupanya ketika ayah sudah bosan pada istri nomor dua (adik Ny. Kiam), ayah menyingkirkannya untuk digantikan oleh anak Ny. Kiam, yang ketika ibunya menjadi gundik ayah masih berumur 2 atau 3 tahun. Putri Ny. Kiam itu mempunyai dua anak perempuan dan kedua duanya berkelingking bengkok. Kedua duanya menikah dengan orang berada. Kata mereka, nenek mereka masih tinggal di rumah pemberian ayah di Jawa.
Tahun 1927, Ketika saya kembali ke Jawa untuk menghadiri pemakaman ayah, Ny. Kiam mendekati saya dengan kemalu-maluan. Ia memanggil saya Nona dan menyerahkan gigi palsu ayah yang rupanya ia simpan bertahun tahun untuk dimasukkan ke liang kuburnya. Saya turuti kemauannya, sebab saya pikir ayah akan menganggapnya lucu.
Berlainan dengan Ny. Kiam, gundik yang dulu ditipu ayah itu, yang melahirkan Tjong Hauw, tidak datang ke pemakaman. Saya mengunjunginya di rumahnya. Saya lihat ia masih memakai pending bertatahkan intan pemberian ayah: Rupanya walaupun ia diperlakukan dengan buruk oleh ayah, ayah tidak membiarkannya telantar.
Saya ingat, semasa kecil, saya keras dibawa ayah ke rumah gundik gundiknya. Mereka tentu berusaha mengambil hati saya, supaya ayah senang. Namun, ketika ibu tahu, ayah dimaki makinya. Ibu kemudian minggat dari rumah dengan membawa saya. Saya sakit keras dan dokter yang merawat saya memberitahu ayah. Ketika itu ibu tetap tidak mau kembali. Ia baru pulang 2 bulan kemudian ke rumah kami yang seperti istana.
Menjamu Raja Siam
Rumah kami terletak di atas lahan yang luasnya lebih dari 93 ha. Rumah model cina ini mempunyai taman yang dirancang khusus dengan kolam kolam dan jembatan jembatan. Tukang kebun kami memiliki lima puluh anak buah. Dapur kami ada tiga. Ibu mempunyai juru masak sendiri, yang keahliannya memasak makanan Indonesia, sebab Ibu menyukai masakan indonesia. Ayah menyukai masakan Cina dan Eropa. Dapur untuk memasak makanan Eropa dikuasai oleh mantan koki kepala gubernur jenderal. Di situ tergantung daging impor dari Australia. Tidak seorangpun diperkenankan masuk ke sana oleh mantan koki gubjen itu. Saya pernah iseng memasukkan anjing besar ke sana yang lantas menggondol daging impor. Dapur ketiga diurus oleh dua orang koki Cina.
Jauh di belakang ada perumahan para pelayan. Masih ada lagi rumah untuk guru pribadi kami (nona Jones), koki kami, tukang pijit ibu, dan tukang cuci pakaian ibu. Untuk para tamu tersedia dua pavilyun.
Ayah sering menjamu dan perjamuannya tidak tanggung tanggung. Kami pernah menjamu raja Siam berikut haremnya. Kami pun pernah diundang makan di kediaman gubernur jenderal Hindia Belanda.
Tjong Lan dan saya tidak bersekolah di sekolah umum, padahal sebenarnya saya ingin memiliki teman teman sebaya. Paling paling saya bisa bermain ke rumah keluarga Belanda yang tinggal di lahan kami, Ibu pun tidak pernah mengundang anak saudara saudaranya ke rumah kami.
Banyak yang diundang, tidak ada yang datang
Ketika saya berumur 15 tahun, saya katakan kepada ayah, saya ingin mengadakan pesta dansa bergaya inggris, seperti yang saya baca di The Tatler. Ayah memperbolehkan. Memang saya diistimewakan, karena dianggap membawa rezeki, bintangnya naik terus setelah kelahiran saya.
Ayah menyewa 16 pemain musik yang dulu disewanya untuk perjamuan raja Siam. Kamar makan kami dan pavilyunpanjang disiapkan untuk berdansa. Ayah secara santai juga menyampaikan kepada para rekanan dagangnya agar mendatangkan anak anak mereka ke pesta saya.
Hari besar itu pun tiba. Para pemain musik datang dan menunjukkan kebolehannya, tetapi tidak ada seorang tamu pun yang datang. Saya menangis dan ayah marah sekali kepada para rekanannya. Kalau saya ingat lagi peristiwa itu. Saya pikir, kami juga yang salah. Mestinya kami mengirimkan kartu undangan resmi, sehingga mereka akan memberi tahu kalau tidak datang.
Untuk meredakan kemarahan ayah, pengacaranya Baron van Heeckeren mengusahakan agar putri putrinya mengadakan pesta dansa untuk menghormati saya, dengan mengundang teman teman Belanda. Saya yakin maksud mereka baik, tetapi saya terlalu angkuh untuk hadir.
Dicekoki Bahasa Inggris
Waktu kami pergi ke Belanda saya puasa juga karena ternyata Bahasa Belanda saya lumayan. Kemudian ketika sudah menjadi isteri Wellington Koo dan suama saya dijadikan duta Cina di AS, bahasa Belanda itu masih ada gunanya. Pernah kami mengundang pemain film termasyhur waktu itu Tyrone Power dan isterinya Linda Christian. Linda yang pemalu itu berasal dari Belanda. Ia begitu tercengang mendapatkan isteri duta Cina bisa berbahasa Belanda.
Di Rumah , ayah biasa berbahasa Hokkian, tetapi dengan saya ia berbahasa Indonesia. Bahasa pertama yang saya pelajari lewat pengasuh saya. Kemudian kakak saya mendapat pengasuh yang diimpor dari Prancis dan kami belajar bahasa Perancis. Ayah meminta Pietro mendatangkan guru pribadi buat kami dari Eropa dan datanglah seorang Inggris, Nona Elizabeth Jones yang mencekokkan bahasa Inggris kepada kami. Akhirnya saya lancar berbahasa Inggris dan tetap menjadi anak didiknya sampai saya meninggalkan jawa untuk tinggal di Inggris pada umur 15 atau 16 tahun.
Lewat tengah hari, kalau Tjong Lan dan saya sudah selesai belajar dari Nona Jones, datanglah pelbagai guru pribadi. Ada yang mengajarkan kaligrafi, seni berbicara, tarian cina klasik dan juga musik. Ibu ngin anak anaknya tidak pemalu dan pandai bergaul, supaya bisa memperoleh suami yang hebat. Saya pun disuruh belajar menunggang kuda di Singapura.
Tjong Lan lebih tertutup daripada saya. Ketika masih berumur belasan tahun, ia jatuh cinta dntgan seorang dokter muda. Ibu melakukan penjajakan lewat comblang. Ternyata keluarga pria itu ingin ayah membiayai praktek putranya. Ayah marah, ia tidak mau membli menantu. Kalau saja Ibu mau menolong Tjong Lan, mungkin ayah bisa dibujuk, tetapi ibu sependapat dengan ayah.
Mula mula Norak
Ibu tidak suka ikut dengan ayah meninjau perkebunan, tetapi saya sering dibawa serta. Ibu baru ikut kalau ayah pergi ke luar negeri. Waktu kami sekeluarga pergi ke Eropa untuk pertama kalinya, kami membawa serta beberapa pelayan. Pietro menjadi juru bahasa ayah dalam mengadakan pelbagai transaksi, sedangkan isterinya yang bisa berbahasa Indonesia sedikit, mengantar ibu dan Tjonglan berbelanja.
Ibu menyingkirkan pakaian Cinanya untuk diganti dengan pakaian Eropa. Masa itu kami jauh dari anggun. Kemana mana kami beriring iringan dengan beberapa mobil atau kereta. Selera Pietro pun tidak halus, padahal kami mengandalkan petunjuknya. Kami tinggal di hotel hotel kelas dua seperti Charing Cross di London dan Grand di Paris, meskipun seluruh lantai diborong. Ketika kami ke AS , ayah sudah berpengalaman. Kami tinggal di Waldorf Astoria.
Setahun lamanya kami tinggal di Luar negeri. Ayah dan Pietro bekerja sedangkan ibu dan Tjong Lan keluar masuk toko. Ibu tidak mau membeli barang sembarangan. Ia selalu ingin paling top. Kalau sudah bosan berbelanja, mereka masuk ke salon kecantikan. Malamnya, ibu, ayah, Tjong Lan dan Pietro makan di restoran dan pergi ke kelab malam. Sementara itu saya kesepian di hotel. Kadang kadang saya ditemani oleh Ny. Pietro. Sementara itu para pelayan makan makanan Indonesia yang mereka masak sendiri. Bahan bahannya dibelikan oleh Pietro.
Lama kemudian, ketika saya sudah menjadi isteri Wellington Koo, saya sering geli mengingat betapa naif dan tidak anggunnya kami masa itu. Saya membayangkan betapa tercengangnya orang orang Eropa melihat ibu dan Tjong lan keluyuran memakai perhiasan Intan, mirah dan Zamrud serta seenaknya memesan barang mahal tanpa menanyakan dulu harganya.
Mobil Ditarik Sapi.
Ketika kami masih tinggal di Semarang, Tjong Lan yang waktu itu berumur 18 tahun dijodohkan dengan putra teman ibu. Teman ibu di Jakarta itu mempunyai putra yang baru pulang dari Belanda. Ia lancar berbahasa Belanda, Inggris dan Perancis. Namanya Ting Liang dari keluarga Kan yang kaya dan terkemuka. Mereka menikah di rumah kami. Keluarga ibu tidak diundang, sebab ayah marah kepada mereka.
Setelah Tjong Lan menikah, ibu bercerita kepada saya bahwa ia menguatkan hatinya untuk tetap tinggal di rumah kami, supaya Tjong Lan bisa menikah di rumah itu. Tjong Lan dan suaminya pergi ke Eropa selama setahun dan ketika kembali mereka membawa mobil kecil buatan perancis. Masa itu belum ada mobil di tempat kami. Suatu hari saya mencuri curi mengendarainya dan menabrak pohon.
Begitu melihat mobil Tjong Lan, ayah segera memesan mobil Lancia yang besar dari Inggris, untuk mengemudikannya, ayah mendatangkan sopir dari Jakarta, yang berpengalaman mengemudi di Singapura. Bila dipakai di jalan rata, Lancia itu tidak merongrong, tetapi begitu mendaki bukit ia tidak kuat menanjak, sehingga sopir harus pergi meminjam 4 ekor sapi untuk menghelanya ke rumah kakek atau ke pesangrahan ibu.
Kemudian ayah mengimpor sopir dari Inggris, namanya Powell. Anehnya, sejak dikemudikan Powell, mobil itu bisa menanjak tanpa bantuan ternak. Jangan jangan sopir lama tidak tahu kalau mobil perlu ganti gigi supaya bisa menanjak.
Tjong Lan tinggal dalam sebuah rumah dalam lingkunganhalaman kami juga. Para pelayannya semua dari rumah kami, makanan untuknya dan untuk suaminya dibawakan dari tempat kami. Sya bisa mengerti kalau suaminya tidak betah dan tidak mau bekerja di perusahaan ayah. Ia ingin menjadi dokter dan ayah mengirimkannya ke Eropa. Waktu itu mereka sudah mempunyai bayi, Bob Kan. Seingat saya ipar saya kemudian tidak pernah membuka praktik. Anak mereka kemudian belajar di Eropa di Eton (sekolah menengah mahal dan berprestise di Inggris) dan kuliah di Cambridge Inggris.
Ketika ayah sakit, doktenya mengusulkan agar ayah beristirahat di Eropa. Sekali lagi ibu dan saya ikut. Pietro sudah pensiun tetapi ayah mempekerjakannya lagi setahun. Ia menyewakan rumah bagi kami di Paris. Sekali ini bahasa Prancis saya sudah bisa diandalkan untuk menjadi penerjemah ibu. Ibu lebih mempercayai selera kakak ipar saya daripada selera Pietro. Ia begitu jatuh hati kepada menantunya, sehingga kakak saya dibelikannya sebuah rumah besar yang dilengkapi beberapa pelayan di Wimbledon Inggris.
Ketika ayah, ibu dan saya pulang ke Jawa, saya merasa kehidupan saya tidak kembali seperti semula. Ibu sudah tidak tahan tinggal di Semarang, sebab gundik gundik ayah mempunyai sejumlah anak laki laki yang meningkat dewasa dan merekalah yang akan mewarisi perusahaan ayah. Apalagi kemudian ayah menyingkirkan semua gundiknya demi Lucy Ho. Namun tentu saja tidak terlindak dalam pikiran ibu untuk bercerai.

Kisah selengkapnya bisa dibaca di buku Kisah Tragis Oei Hui Lan Putri Orang Terkaya di Indonesia. Buku ini bisa menjadi refleksi bagi kita tentang arti hidup yang bukan sekedar bergelimpang materi saja karena ternyata harta bisa menjadi perusak segalanya, dan ini benar-benar dikisahkan secara nyata dalam buku ini. Hidup Oei Hui Lan yang begitu mewahnya layaknya putri, di sisa akhir hayatnya hanya ditemani anjing kesayanganya yang selalu setia menemani hidup sang putri.

Inilah akhir dari sebuah pelajaran hidup yang lantas menjadi sebuah sejarah yang patut kita simpan dan jadikan bagian dari kehidupan yang mempunyai arti jika harta bukanlah nyawa dalam sebuah kehidupan yang bahagia.