Yi Sun Sin Pahlawan Korea yg Mendunia

Bagi anda penggemar film, ataupun yang meyukai cerita motivasi maupun kepahlawanan wajib nonton film yang satu ini. The Admiral: Roaring Currents (Myeongryang)  berpusat pada tokoh Laksana Yi Sun-sin yang merupakan pahlawan kebanggaan rakyat korea dari angkatan laut Dinasti Joseon. Berdasarkan kisah nyata pada pertempuran myongryang.

Kisah diawali dari cerita ketika empat abad yang lalu tepatnya pada tahun 1597, setelah sempat ditahan karena sikap yang ia tunjukkan dinilai melawan perintah dari raja, komandan militer yang sangat dihormati bernama Yi Sun-sin (Choi Min-sik) kembali ditugaskan untuk memimpin angkatan laut Dinasti Joseon. Penyebabnya adalah kondisi darurat dimana Jepang dibawah komando Kurushima Michifusa (Ryu Seung-ryong) dan Wakisaka Yasuharu (Cho Jin-woong) berniat melancarkan invasi kedua mereka dengan berupaya menduduki pantai milik Dinasti Joseon.


Yi harus menghadapi kenyataan kekuatan angkatan laut Korea yang sangat menyedihkan, hanya terdiri dari 12 kapal perang rusak yang terjadi selama pertempuran besar ketika ia dipenjara. Yi memiliki waktu yang sedikit untuk menyatukan para pelautnya, mempersiapkan kapal perang dan merancang pertahanan terhadap armada Jepang yang berjumlah lebih dari 300.

Menyadari bahwa walaupun melawan kekuatan yang besar, Korea memiliki keunggulan strategis yaitu penguasaan terhadap wilayah Korea, Yi kemudian mengirimkan mata-matanya untuk memastikan besar kekuatan dan konfigurasi armada Jepang yang dipimpin oleh bekas musuhnya, Laksamana Wakizaka (Cho Jin-woong).

Namun fakta yang mereka temukan membuat bingung, bahkan bagi Yi sendiri, yaitu fakta bahwa Wakizaka telah dikesampingkan oleh kedatangan Kurushima (Ryu Seung-ryong), seorang “bajak laut” yang ditunjuk oleh penguasa Jepang untuk mengobarkan pertempuran melawan Yi. Sementara kapal Wakizaka bertugas memberikan dukungan ketika tentara mereka dipaksa ke darat menuju pusat pemerintahan sementara waktu.

Yi memutuskan untuk memerangi Jepang dalam pertarungan sampai akhir di selat Myeong-Nyang di lepas pantai barat daya Semenanjung Korea, sebuah wilayah yang dia ketahui sebagai wilayah dengan cuaca yang sering berubah dan arusnya yang berbahaya.

Sekilah Biografi Yi Sun Sin

Yi Sun-sin terlahir pada tanggal 28 April 1545 di Geoncheondong, Hanseong sebagai putra ke-3 dari keluarga bangsawan. Sejak kakeknya terlibat dalam pembersihan politik pada masa pemerintahan Raja Jungjong, ayahnya mulai berhenti mencari pekerjaan yang berhubungan dengan pemerintah. Mereka sekeluarga akhirnya pindah ke Asan, tempat asal keluarga ibu Yi, di saat kondisi perekonomian mereka semakin memburuk.
Layaknya anak bangsawan pada masa itu, Yi Sun-sin dididik dalam ajaran-ajaran Konghucu sejak kecil. Ia menikah pada usia 21 tahun dan dikaruniai 3 orang putra dan 1 orang putri. Ia memutuskan untuk masuk di bidang militer dimulai saat berusia 22 tahun walaupun sebenarnya pilihannya tersebut asing bagi keluarganya yang lebih memandang kesusastraan sebagai tradisi.
Pada usia 28 pada tahun 1572, Yi menjalani ujian bidang militer. Dalam ujian itu, Yi jatuh dari kuda dan kaki kirinya patah. Empat tahun kemudian setelah peristiwa itu, Yi kembali mencoba menjalani ujian tersebut, dan pada usia 32 tahun ia berhasil lulus.
Awalnya ia bertugas sebagai perwira dan dikenal akan sifat teguh dan tak kenal kompromi dalam menjalani prinsip-prinsipnya. Hal ini mengakibatkan karier awal Yi tersendat dikarenakan banyak atasan yang tidak suka dengan sikapnya yang tegas dan disiplin. Suatu hari, bahkan ia pernah dicopot dari posnya bertugas karena menolak ikut berpartisipasi dalam kegiatan atasannya yang ia anggap tidak benar. Akhirnya ia juga diturunkan menjadi prajurit kelas bawah dikarenakan fitnah seorang perwira lain yang tidak senang dengannya. Namun begitu, menjelang terjadinya awal Perang Tujuh Tahun dimana Jepang akan menyerbu Joseon, ia mendapat kenaikan pangkat sebagai Komandan Stasiun Angkatan Laut Kiri Jeolla berkat rekomendasi dari Perdana Menteri Ryu Seong-ryeong. Perdana Menteri Ryu telah berteman dengan Yi sejak kecil dan ia mengenal bakat kepemimpinan yang dimilikinya.

Setelah menjabat menjadi komandan angkatan laut, Yi bertugas membenahi Angkatan Laut Joseon dengan memperbaiki sistem administrasi, meningkatkan mutu persenjataan serta mendidik para pelaut. Ia juga menyelesaikan pengkonstruksian Kapal Kura-kura hanya satu hari sebelum Jepang mendarat.
Yi Sun-sin berperan penting dalam kemenangan Korea dalam Perang Tujuh Tahun. Perang Tujuh Tahun atau Perang Imjin merupakan serangkaian pertempuran panjang selama 7 tahun pada akhir abad ke-16 di semenanjung Korea yang disebabkan oleh invasi Jepang yang berniat menyerbu Cina melalui Korea.
Sebelum perang meletus, Dinasti Joseon di Korea mengalami kegoncangan politik dan ekonomi yang berpengaruh pada bidang militer sehingga keamanan nasional negara itu berada dalam bahaya. Pada saat yang sama, Toyotomi Hideyoshi telah mempersatukan Jepang dan merencanakan untuk melakukan invasi negara-negara tetangganya sehingga ia lebih dapat mengendalikan kekuatan-kekuatan daimyo. Pertama-tama, ia meminta izin kepada Joseon untuk memberi jalur untuk pergerakan tentaranya ke Dinasti Ming. Istana Joseon menolak niat Jepang dan mengacuhkan kemungkinan perang. Saat niatnya ditolak Joseon, Toyotomi Hideyoshi menginvasi dengan kekuatan 160.000 tentara pada bulan April 1592. Joseon tidak mampu menangkis serangan awal dan mengalami kekalahan besar. Daerah pertahanan di bagian selatan direbut dalam waktu beberapa hari saja dan pasukan Jepang bergerak ke utara tanpa mengalami kesulitan sama sekali. Karena bahaya telah mendekat ke ibukota, keluarga kerajaan mengungsi ke tempat yang lebih aman di wilayah utara. Setelah dua bulan, seluruh negeri Joseon berada dalam tangan Jepang.

Pada zaman moderen, banyak tokoh-tokoh militer di berbagai negara di luar Korea mengetahui Yi Sun-sin dan mengagumi kepiawaiannya dalam menggunakan taktik untuk berperang.
George Alexander Ballard (1862–1948), seorang wakil laksamana dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris memuji Yi Sun-sin atas prestasinya dalam Pertempuran Hansan pada bukunya, The Influence of the Sea on the Political History of Japan.
This [the Battle of Hansan] was the great Korean admiral’s crowning exploit. In the short space of six weeks he had achieved a series of successes unsurpassed in the whole annals of maritime war, destroying the enemy’s battle fleets, cutting his lines of communication, sweeping up his convoys,...and bringing his ambitious schemes to utter ruin. Not even Nelson, Blake, or Jean Bart could have done more than this scarcely known representative of a small and cruelly oppressed nation; and it is to be regretted that his memory lingers nowhere outside his native land, for no impartial judge could deny him the right to be accounted among the born leaders of men. (p. 57)

Pertempuran [Hansan] ini adalah puncak kehebatan seorang laksamana dari Korea. Dalam jangka waktu pendek selama 6 minggu, ia telah meraih rangkaian kemenangan tak terkalahkan dalam seluruh babad perang bahari, dengan menghancurkan armada perang musuh, memutuskan jalur komunikasinya, menyapu bersih iring-iringannya,…dan menjadikan niat ambisiusnya benar-benar runtuh. Bahkan Nelson, Blake, atau Jean Bart tidak pula dapat melakukan yang lebih daripada seseorang wakil yang kurang dikenal dari negeri kecil dan tertindas ini; dan sangat disayangkan bahwa ingatan akan dirinya tidak terdengar melainkan hanya di negerinya sendiri dan sesungguhnya hukuman yang tidak adil tidak akan dapat mengingkari haknya untuk dapat dihitung sebagai salah seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin. (hal. 57)