Modul Berwirausaha

Rhenald Kasali
CUKUP menggelikan pendapat sejumlah orang yang mati-matian mengatakan bahwa sekolah bukanlah jalur untuk berwirausaha. Orang-orang itu, biasanya gagal dalam menempuh ilmu, percaya dirinya sama seperti Bill Gates yang memilih membangun Microsoft dari garasi rumahnya ketimbang melanjutkan sekolahnya ke Harvard pada 1975.

Diilhami Robert T Kiyosaki yang -maaf– mengaku gelar PhDnya atau sekolahnya telah membuat dirinya bangkrut,orang-orang korban sekolahan itu membuka sekolah yang “memaki-maki” sekolah. Sudah sering saya dengar ucapan-ucapan mereka yang disampaikan secara sinikal kepada para mahasiswa,“Kalian goblok!”

Maksudnya, tentu saja bodoh bagi mereka yang masih percaya dengan sistem sekolahan dan meneruskan sekolahnya. Belakangan ucapan-ucapan sinis itu berdatangan lagi dari berbagai kalangan yang menganggap dosen-dosen tidak bisa mengajar berwirausaha. Dapatkah kita membenarkan pendapat itu?

Wirausaha Kampus

Benar banyak kita temui orangorang yang gagal sekolah ternyata berhasil menjadi pengusaha besar dan terkenal. Misalnya, Tjoa Ing Hwie yang tak bersekolah tinggi mampumembangunGudangGaram menjadi perusahaan rokok yang besar. Bob Sadino, Hendi Setiono, dan banyak lagi orang-orang yang gagal melanjutkan sekolahnya ternyata mampu menjadi pengusaha.

Namun sebaliknya, kita juga harus jujur ada ratusan ribu orang yang terperangkap dalam kemiskinankarenatidakmemilikipendidikan yang memadai. Lantas bagaimana kalangan yang berpendidikan? Ternyata masalah serupa juga ditemui di sini.Jumlah penganggur di antara kalangan berpendidikan saat ini sudah mendekati 1 juta orang. Sementara itu, di antara orang-orang yang berkarier, sekitar 30% di antaranya gagal meraih kesejahteraan sesuai dengan bekal pendidikannya.

Namun kita juga harus jujur, bahwa banyak ditemui nama-nama besar di kalangan dunia usaha yang berasal dari dunia kampus dan berpendidikan tinggi. Ir Moh Najikh, eksportir ikan teri yang mempekerjakan lebih dari 3.000 orang adalah lulusan IPB. Dr Poernomo Prawiro dan drg Chairul Tanjung yang masing-masing mendirikan Blue Bird dan Para Group (Bank Mega,Trans TV,dan Trans 7) adalah lulusan FK dan FKG UI.

Konsultan struktur terkenal Prof Dr Wiratman dan pemilik usaha Dayu Group (Bersih Sehat, Visi, dan Midori) adalah lulusan ITB.Sudhamek Agung Waspodo (Garuda Food) adalah lulusan UKSW. Demikianlah seterusnya, kita masih banyak menemui ribuan nama-nama lain usahawan yang sukses berasal dari kampus.

Lantas apa kesimpulan dari faktor-faktor di atas? Dapatkah kita menyimpulkan orang-orang yang sekolah tinggi itu sebagai orang yang bodoh dan hanya membuang waktu sia-sia belaka? Atau tepatkah kita mengatakan kampus bukanlah tempat yang baik untuk menyemai benih-benih kewirausahaan? Saya kira Anda sendiri dapat menyimpulkannya.

Pelajaran Kewirausahaan

Seminggu ini saya banyak menghabiskan waktu dengan kolega-kolega yang mengajar kewirausahaan dan menyambangi para rektor pada enam universitas terkemuka bersama Bank Mandiri. Setelah bekerja keras selama lima bulan, akhirnya kami berhasil mempersembahkan sebuah modul yang dapat dipakai untuk mengajar kewirausahaan.

Minggu lalu, 50-an dosen dari enam PTN yang menyusun modul itu (UI,UGM,Unpad,ITB,IPB,dan ITS) bertemu di Rumah Perubahan. Kami membahas gagasangagasan baru dan cara-cara yang efektif dalam mendidik anak-anak kami agar mereka mampu menjadi usahawan modern bermental baja.

Di luar dugaan, ternyata ada cukup banyak dosen kewirausahaan yang sudah berhasil menjadi usahawan. Namun, tentu saja wirausaha itu tidak selalu wirausahawan bisnis (business entrepreneur). Di antara mereka ada yang menjadi social entrepreneur, ecopreneur, bahkan intrapreneur. Bahkan, saya juga menemui dosen yang sangat kreatif yang melakukan terobosan-terobosan akademis, menghasilkan riset-riset serapan yang menghasilkan kegiatan ekonomi yang berhasil, menerbitkan buku-buku yang berpengaruh, dan seterusnya.

Namun kita semua sepakat, demam kewirausahaan yang sudah meninggi saat ini perlu diimbangi dengan aturan-aturan dan tradisi akademis yang tidak kaku. Di Unpad misalnya, Rektor Prof Ganjar Kurnia mengatakan, agar skripsi mahasiswa fakultas ekonomi dapat diajukan berupa rencana bisnis. Rektor IPB Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto MSc bahkan lebih berani lagi, menandaskan agar semua lulusan IPB berkarakter wirausaha dan setiap mahasiswa yang diterima di tahun pertama diwajibkan mengambil mata kuliah kewirausahaan.

Di ITS, Prof Ir Priyo Suprobo MSc PhD, juga rektornya melakukan hal serupa. Demikian pula di ITB yang sangat mengedepankan proses inovasi untuk menumbuhkan technopreneur Indonesia. Namun di balik itu semua, selalu terungkap cerita kurang sedap berupa hambatan-hambatan dan komentar-komentar sinis dari banyak ilmuwan yang masih berpikir entrepreneurship itu adalah pendangkalan atau sekadar dagangan.

Orang-orang yang berjuang di kampus mendorong terjadinya perubahan dan mencoba menerapkan spirit kewirausahaan dalam pemberian pelayanan, berorientasi kepada pasar masih sering menemui ujian-ujian dan hambatan. Kadang saya berpikir, apa mungkin kita mengajarkan kewirausahaan kalau kita bersikap anti pasar? Dulu, sewaktu saya membongkar program doktoral untuk menjadi lebih berkualitas, lebih bertanggung jawab dengan standar internasional, jadwal perkuliahan yang lebih teratur, kultur akademis yang lebih saling menghargai dan terbuka, saya pun menghadapi banyak tantangan.

Masalah tidak muncul saat program studi serba kekurangan, tak punya fasilitas yang memadai, dengan gaji setara PNS, pegawai yang berwajah murung, ruang kelas yang serba seadanya. Masalah baru muncul ketika cara kerja entrepreneur mulai dipacu, sumbangan-sumbangan mulai masuk, dosen-dosen hebat yang berasal dari luar dunia akademis mulai ikut bergabung, fasilitas kerja lebih modern.

Staf-staf berseragam menarik dan cantik-cantik mulai duduk di kursi pelayanan dan ruang-ruang kelas tampak berkilauan. Uang kuliah dipatok harga pasar namun beasiswa diperbanyak. Kompetisi antar dosen agar memberikan kuliah yang terbaik diterapkan. Gaji yang lebih mencerminkan produktivitas pun mulai diterapkan.

Setelah itu muncullah sas-sus (gosip, rumor, omongan-omongan tidak sehat, dan undangan-undangan yang lebih bersifat mengadili daripada mendukung). Servis yang baik itu dianggap sebagai ancaman. Customer friendly yang diterapkan dalam pelayanan dianggap sebagai ko l u s i , mahasiswa-mahasiswa yang populer dan berkedudukan dianggap “tidak mencerminkan mutu”.

Hambatan-hambatan pun berdatangan dan lambat laun karakter kewirausahaan terancam. Persoalan-persoalan seperti ini dapat terjadi di banyak kampus namun itulah tantangan kewirausahaan. Dibutuhkan keberanian, kejujuran, ketulusan, kepemimpinan dan visi jauh ke depan. Modul kewirausahaan yang kami buat tentu dimaksudkan agar lahir lebih banyak lagi wirausahawirausaha unggul dari kampus.

Modul ini dilengkapi dengan enam keping CD testimoni. Instruktur manual, power point presentasi untuk pengajaran, dan yang lebih menarik lagi, setiap kampus yang memakai modul ini diberi bantuan modal untuk mahasiswa sebesar Rp200 juta dari Bank Mandiri. Materi pengajaran sendiri, lebih bersifat practical,dilengkapi tugas-tugas lapangan, gamesuntuk mengasah kreativitas, personal testing, dan teknik-teknik untuk membangun usaha sebagai pemula. Sebuah kerja keras membutuhkan dukungan Anda semua. Semoga semakin banyak kalangan terdidik yang berhasil membantu negeri mengatasi masalah pengangguran.

What If I Fail?

Masih banyak orang yang berpikir menjadi wirausaha itu sama seperti menjadi seorang dokter, akuntan, pengacara (lawyer), kriminolog, arsitek, atau engineer.

Profesi-profesi yang saya sebut itu adalah profesi yang dibentuk melalui basis pendidikan. Kalau seseorang tekun belajar dan berhasil menyelesaikan studi, berapa pun nilai (skor) ijazahnya, asalkan lulus, mereka otomatis menyandang gelar dokter, sarjana hukum, atau insinyur dan berhak praktik.

Namun wirausaha itu dunia yang berbeda. Orang tidak secara otomatis mampu menjadi pengusaha, sekalipun ia telah lulus dari sebuah universitas, mengambil kelas kewirausahaan atau mendengarkan ceramah-ceramah wirausaha. Kewirausahaan adalah sebuah proses yang terbentuk melalui langkah-langkah riil yang membutuhkan waktu.

Seorang bisa membuat sebuah produk, tapi belum tentu dapat memasarkannya, apalagi memperoleh keberlangsungan usaha secara konsisten. Kalau kepercayaan sudah didapat dari pasar, belum tentu seseorang tekun memelihara dan menjaganya. Selanjutnya, sebuah usaha yang berhasil belum tentu bertahan menghadapi seranganserangan para pemain lama dan para pendatang baru.

Dengan kata lain, ada banyak faktor yang perlu “dijinakkan” dan “dikuasai” untuk menjadikan seseorang pengusaha sejati. Selain kewirausahaan, masih diperlukan profesionalisme manajerial, pengetahuan tentang berusaha, dan tentu saja leadership. Oleh karena itu saya kira terlalu naif bila kita mengharapkan para sarjana langsung sukses dengan usaha yang baru dimulainya. Namun kalau mereka tidak pernah memulainya, mereka tidak pernah belajar dan sampai ke tujuannya. Dengan demikian, pertanyaan seperti “What if I fail?” adalah pertanyaan yang normal.

Jawabnya sederhana saja, “Ya bangkit saja lagi, mulai lagi.” Mendengar jawaban itu banyak orang yang tidak puas.“Saya sudah capek Pak!,”atau, "Jatuhnya keras lho Pak, ruginya sampai puluhan juta.” Selain “what if I fail?” mereka juga sering mengeluhkan, kegagalan yang dialami, terutama bersumber dari faktor-faktor eksternal seperti ditipu teman atau karyawan, gempa bumi, dan seterusnya.

Salah Sendiri

Di Rumah Perubahan kami biasa mendiskusikan berbagai kasus dan best practice yang dialami sejumlah tokoh. Kami mendokumentasikan kejadian-kejadian itu dan mempelajari dengan penuh kesungguhan untuk menghasilkan usahawan-usahawan baru yang modern dan tangguh. Kami mempelajari bagaimana anak-anak muda Indonesia tampil menjadi usahawan sejati, dan membuka-buka dokumen yang dialami tokoh-tokoh dunia.

Salah satu serial film yang sangat disukai para calon entrepreneur adalah kisah takeover yang dilakukan hairdresser.Hairdresser ini memiliki banyak pelanggan dan salonnya sangat terkenal. Namun lebih dari itu, dia memiliki kemampuan mendeteksi persoalan-persoalan yang dihadapi para pemilik salon yang gagal. Maka program televisinya sangat diminati para pemilik salon dan mereka mengundangnya untuk memperbaikinya. Begitu salon tersebut disetujui untuk diperbaiki, Tabatha, nama pemilik salon itu, segera melakukan analisis dan takeover.

Dia pasang kamera pengintai di depan resepsionis,kasir, ruang kerja hairdresser, pencuci rambut, dan seterusnya. Dia juga turun langsung ke lapangan, berbicara dengan seluruh kemampuan kepada pelanggan, melihat proses kerja, dan melakukan pekerjaan seperti biasanya. Yang menarik perhatian saya, hampir semua serial dan kasus yang berbeda-beda itu selalu bermuara pada masalah yang kurang lebih sama,yaitu kegagalan selalu bersumber dari perilaku atau cara kerja entrepreneur atau owner sendiri. Jadi bukan karyawan, manajer, atau konsumen, melainkan kita sendirilah sumber dari masalah itu.

Ada owner yang tidak bisa membedakan antara usaha dan gaya hidup, ada owner yang terlalu akademis, sehingga dibuatlah SOP-SOP (manual) yang sangat kaku,ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang dibiarkan, dan seterusnya. Singkatnya, kegagalan usaha ternyata lebih disebabkan faktor entrepreneur yang kurang disiplin, kurang cool, kurang tangkas, kurang bersemangat, dan seterusnya. Menjadikan bagaimana anakanak muda mulai berusaha menemukan cara yang tepat untuk mengelola usaha, membuang mental blockages, adalah sebuah proses yang menarik. Anak-anak muda itu hanya bisa berhasil kalau mereka benar-benar berperilaku seperti layaknya pengusaha dan menemukan usaha yang benar-benar mereka sukai.

Dengan demikian, menjadi pengusaha itu membutuhkan waktu, latihan,dan contoh.Bersabarlah sampai faktor “X” yang Anda miliki berubah menjadi “X” yang besar, yang memiliki daya magis yang kuat. Itulah saatnya dunia menjadi milik Anda. (*) terkemuka.
Rhenlad Kasali
Ketua Program MM UI(Koran SI/Koran SI/rhs)
sumber : okezone.com