Hijrah Untuk Menjemput Rejeki

Banyak presepsi maupun asumsi yang beredar dari sebagian kalangan yang eksklusif dalam pemahaman agama mengatakan bahwa, seseorang tidak boleh berhijrah dari negeri satu ke negeri lain dalam rangka mencari rejeki atau mencari tambahan penghasilan (extra-income). Adalah sebuah anggapan dan pendapat yang berlebihan, dimana dalam konteks ini cukup paradoks dengan apa yang menjadi tujuan agama, sebagaimana Allah SWT menganjurkan untuk mencari rejeki dan tidak membatasinya antara satu tempat dengan tempat lain, dan tidak pula diantara simpul rentang waktu satu dan lainnya.
Allah SWT berfirman: Famsyuu fi manaakibiha wakuluu min rizqihi wa ilaihin-nusyuur; Maka berjalanlah di segala penjurunya (bumi) dan makanlah sebahagian dari rejeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.(Al-Mulk :15). Sebagai contoh : seseorang kadang kala mengalami kesusahan dalam hidupnya di suatu wilayah dimana ia tinggal, sehingga dalam keadaan yang demikian akutnya, ia pergi keluar dari tempat itu, guna merubah nasib dan memperoleh kehidupan yang lebih layak dengan potensi yang dia miliki, dengan tempat pemuas yang sesuai dengan tuntutan kehidupannya. Yang mana semua perkara ini tereduksi oleh konsep taat pada anjuran: Famsyuu fi manaakibiha wa kuluu min rizqihi wa ilaihin-nusyuur. Syaikh.Dr.Umar Ad-Daib, ulama Al Azhar Mesir, mengutip tafsiran ayat ini: 'Pergilah kamu sekalian ke tempat manapun yang kamu inginkan di penjuru dunia ini, dan kunjungilah berbagai daratan dan datarannya, untuk kamu dapatkan beragam perolehan keuntungan dan perdagangan, akan tetapi ketahuilah bahwa usaha ini tidaklah berbuah apapun kecuali Allah memberi kemudahan bagimu.' Maka dari itu Allah menutup ayat ini dengan: wa ilaihin-nusyuur.
Kaidah mengatakan: As-sa‎‎ yu fis-sabab laa yunaafi at-tawakkul:Bahwa usaha untuk menangkal sebab tidak menafikan peran tawakal. sebagaimana juga yang dipahami mereka para mutasyaddidun fid-diin. Kaidah ini selaras dengan hadits nabi: Law annakum tatawakkaluuna alallahi haqqa tawakkulih larazaqakum kama yarzaqu at-thaira taghduu khimaashon wataruuhu bithoonan; Jika kamu sekalian tawakal (berserah diri) pada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, maka Dia akan memberi rejeki untukmu, sebagaimana Dia memberi rejeki seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar saat fajar menyingsing dan pulang di senja hari dalam keadaan kenyang. Hadits ini menjadi landasan deskriptif bahwa seekor burung yang dianugerahkan sepasang sayap, harus pergi dan pulang untuk menuai rejekinya, dan begitulah tawakal yang sesungguhnya. Maka tawakal kepada Allah memiliki arti: usaha demi menuntut rejeki dan tetap meyakini bahwa semua itu terpulang pada kehendak-Nya.
Demikian pula halnya pergi (hijrah) untuk mencari tambahan penghasilan (baca: rejeki) adalah hal yang dibolehkan dan memiliki keutamaan di sisi Allah. Keutamaan yang cukup beralasan, sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. Al Muzammil: 20 ; lima an sayakuunu minkum mardho, wa aakharuuna yadhribuuna fil ardhi yabtaghuuna min fadhlillahi, wa aakharuuna yuqootiluuna fi sabiilillaah; Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah.
Wahai saudara-saudara muslim yang mulia, tidakkah kita perhatikan betapa Allah telah membagi komunitas muslim menjadi tiga golongan yang saling membutuhkan dan peduli antara satu dan lainnya.
Pertama, golongan mereka yang lemah tak berdaya untuk mencari rejeki demi kelangsungan hidupnya yang disebabkan sakit yang menahun dan yang dalam keadaan darurat. Kedua, mereka yang mampu mencari dan menuai rejekinya dengan potensi yang dimiliki. Dan yang ketiga, mereka para mujahidin di jalan Allah. Dan perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan golongan orang-orang yang mampu mencari rezki dan mendapatkannya di tengah-tengah antara golongan yang sakit lemah tak berdaya dan golongan mujahidin fi sabilillah. Dan betapa Allah telah mencukupkan mereka atas apa yang mereka dermakan untuk saudara-saudara mereka dengan balasan dan ganjaran yang tiada tara. Sebagaimana firmanNya: Wamaa tuqaddimu li anfusikum min khairin tajiduuhu indallahi huwa khairan wa adzhoma ajran. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan paling besar pahalanya.(Q.S.Al-Muzammil:20).
Maka atas dasar ini, bahwa semua usaha untuk mencari rejeki dan mendapatkan penghidupan yang layak serta menambah penghasilan adalah kewajiban yang syar'. Bahkan Rasulullah SAW lebih mengutamakan saudara yang berusaha mencari rejeki daripada saudara kandungnya yang berdiam diri dan sibuk dengan ibadah, melalaikan dirinya dari perkara dunia. Ketika Rasulullah SAW bertanya padanya: 'siapa yang memberimu nafkah?, lalu dijawabnya: saudaraku yang bekerja itulah yang memberiku nafkah'. Kemudian Rasulullah SAW mengatakan padanya: 'saudaramu itu lebih baik daripada dirimu.'
Sesungguhnya tiada yang lebih baik dari orang yang makan makanan yang diperoleh dari hasil jerih payah kedua tangannya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: 'Ma akala ahadun tho'aman qoth khairan min an yakula min mali yadihi, wa inna nabiyyallah Daawud laihi salaam kaana yakulu min mali yadihi ; 'Tiada seorangpun yang makan makanannya lebih mulia dari yang makan dari hasil kerja tangannya, dan sesungguhnya nabiyullah Daud a.s dahulu makan dari hasil jerih payah tangannya' (H.R.Bukhari, hadits Al Miqdam ibn Ma'd). Nabi Daud adalah satu dari sekian jajaran raja yang kaya raya dan hidup sejahtera. Namun demikian, sebagaimana penuturan Ibnu Hajar Al-Asqolani, beliau adalah orang yang tetap ulet bekerja dengan merangkai baju besi untuk berperang, lalu menjualnya. Dan tiada ia makan kecuali dari hasil penjualannya.
Adalah sebuah kenikmatan yang tiada terkira nilainya, dikala seorang dirundung kesusahan hidup, lalu dia bertekad merubah nasib dengan berhijrah dan tawakal, kemudian dia bersyukur akan rejeki yang diperolehnya. Bukankah bumi ini cukup luas untuk kita menelusuri pesisir alam yang tiada berujung demi mencapai perubahan yang telah dijanjikan-Nya ?
Wallahu 'lam bishawab.

*) Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ushuluddin, Dept.Tafsir & ilmu-ilmu Al Quran, Al Azhar University, Cairo.

Referensi :
Al-Hijrah li Tholabi Sya�ni min Syu �uni Dunya, Syeikh.Dr.Umar Ad-Daib, Mingguan Shawt Al Azhar, Cairo, 17 Maret 2006M / 17 Shafar 1427H.
Tsimaarun min as-Sunnah, Dr.Said Muhammad Shalih Showaby,Al Fath � Alexandria, Egypt.

sumber:cyberMQ.com