Peluang Besar Social Entrepreneurship

Kamus Oxford mengartikan kata entrepreneur sebagai “A person who undertakes an entreprise or business, with the chance of profit or loss”, seseorang yang bertanggung jawab atas sebuah bisnis dengan memikul risiko untung atau rugi. Entrepreneur dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu business entrepreneur dan social entrepreneur. Perbedaan pokok keduanya utamanya terletak pada pemanfaatan keuntungan. Bagi business entrepreneur, keuntungan yang diperloleh akan dimanfaatkan untuk ekspansi usaha, sedangkan bagi social entrepreneur keuntungan yang didapat (sebagian atau seluruhnya) diinvestasikan kembali untuk pemberdayaan “masyarakat berisiko”. Namun dalam tren global, dikotomi semacam itu kian kabur, sebab mereka (business entrepreneur dan social entrepreneur) sesungguhnya berbicara dalam bahasa yang sama, yaitu inovasi, manajemen, efektivitas, mutu, dan kompetensi.

Tentu saja, melahirkan seorang yang berjiwa wirausahawan tidak mudah. Namun dengan semangat dan kerja sama kewirausahaan sosial di kalangan individu, komunitas, dan korporasi, hal itu tidak mustahil diciptakan. Social entrepreneur adalah orang-orang yang berupaya menciptakan perubahan positif atas persoalan yang menimpa masyarakat; masalah pendidikan, masalah kesehatan, atau masalah ekonomi. Menariknya, kewirausahaan sosial belakangan terbukti kian mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan tersebut di atas.

Kendati demikian, tantangan paling krusial dan paling mendesak untuk dipecahkan adalah bagaimana mencetak entrepreneur itu sendiri. Sosiolog David McClelland menyebut, bila ingin menjadi negara maju, maka 2 persen warga harus menjadi entrepreneur, dengan rumus; satu orang wirausaha member pekerjaan kepada 8 orang lainnya.

Bicara kekuatan social entrepreneur, Indonesia memang masih jauh dari negara lain. Inggris tergolong maju dalam hal ini. British Council menaksir sedikitnya ada 62.000 social enterprises yang menyumbang £24 miliar bagi ekonomi Inggris. Di negeri itu, bahkan ada Social Enterprise Day yang dirayakan setiap 19 November.
Masyarakat Singapura juga membuktikan kuatnya komunitas ketika mereka bersatu menghimpun modal untuk mendirikan supermarket-supermarket di sekitar wilayahnya. Menurut Rektor Universitas Trisakti Thobby Mutis, dari 6 gerai, Carrefour kini hanya menyisakan satu gerai. Lima gerai tumbang menghadapi kekuatan ekonomi lokal. Jangan bandingkan dengan Indonesia. Di Indonesia, Carrefour merajalela tanpa hambatan.

Sesungguhnya, potensi di Tanah Air untuk urusan mencetak sejuta entrepreneur sangatlah besar, termasuk dengan memanfaatkan social entrepreneurship. Kalangan korporasi, terutama. Kapital (finansial, intelektual) mereka sangat besar bila diarahkan untuk mencetak wirausaha. BUMN, misalnya, punya Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang bila dilakukan serius akan dapat menciptakan social enterprise, juga long tail of entrepreneur. Serius di sini berarti melakukan pendampingan, juga investasi waktu dan keahlian, bukan sekadar menyumbang uang asal terpenuhi kewajiban.

Social entrepreneurship semestinya bisa mengatasi berbagai masalah seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Ketidakberdayaan masyarakat merupakan masalah yang multidimensi dan sulit dihapuskan dari muka bumi. Saat ini, masyarakat dapat dengan mudah menggali banyak informasi yang diperlukan untuk mengembangkan sektor-sektor usaha yang prospektif. Dengan kejelian dan kreativitas serta diladandasi dengan tekad yang kuat, maka upaya untuk menjadi social entrepreneur akan dengan mudah tercapai. []

sumber: http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=telaah&y=det&z=5ae1e8f66be8e643f00b46eb35649ffb