Dahulu, menu makanan pecel lele mungkin hanya ditemui di warung-warung pinggir jalan. Tetapi di tangan Rangga Umara yang inovatif, ia membuat image pecel lele menjadi lebih bergengsi, lebih modern, dan mendatangkan profit yang menjanjikan melalui restorannya, “Pecel Lele Lela”.
Usahanya ini dirintis pertama kali pada akhir 2006 saat ia terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tempatnya bekerja. Dengan modal yang hanya sekitar Rp3 juta, ia memberanikan diri untuk memulai bisnis di bidang makanan.
"Saat itu, saya melihat hampir semua restoran besar yang telah ada memiliki spesialisasi makanan tersendiri. Seperti Ikan Bakar, Ayam Bakar, Ayam Goreng, Tetapi saya melihat kenapa belum ada restoran yang spesial menjual lele? Inilah yang menjadi ide awal memulai bisnis Pecel Lele Lela," kenang pengusaha muda berusia 31 tahun ini saat berbincang dengan okezone di Jakarta, Sabtu (19/6/2010).
Sebelum di-PHK
dari jabatan manajer di sebuah perusahaan, Rangga Umara (31) memilih
jualan pecel lele di pinggir jalan. Modal cekak membuat ia terjerat
hutang renternir. Bagaimana jatuh-bangun Rangga membangun usaha bisnis
RM Pecel Lele Lela? Yuk, simak kisahnya.
”Selamat
Pagi!” Begitu sapaan khas di RM Lele Lela, begitu Anda masuk ke sana.
Tak peduli Anda datang pada pagi, siang, sore, atau malam, tetap
disambut dengan ucapan, “Selamat pagi!”
Begitulah
aku “mendoktrin” stafku dalam menyambut tamu di rumah makan Lele Lela
milikku. Hal itu kulakukan agar para karyawan termotivasi dan produk
yang disediakan selalu segar seperti segarnya suasana pagi hari.
Lela
bukanlah nama istri atau anak-anakku, melainkan singkatan dari Lebih
Laku. Oh, ya, kenalkan, namaku Rangga Umara. Meski usiaku tergolong
muda, 31 tahun, pahit getirnya membangun usaha sudah kurasakan sejak
bertahun-tahun lalu, sebelum akhirnya RM Pecel Lele Lela dikenal luas.
RM ini kudirikan sejak Desember 2006. Bolehlah kini dibilang sukses.
Sebab, aku telah melewati masa - masa sulit. Karena itu, aku lebih bisa
menghargai jerih payahku, menghargai hidup dan orang lain.
Profesi
yang kugeluti ini bisa dibilang melenceng dari pekerjaan bapakku, Deddy
Hasanudin, seorang ustaz dan ibuku, Tintin Martini, pegawai negeri yang
sebentar lagi bakal memasuki masa pensiun.
Dulu,
cita-citaku memang menjadi pengusaha. Namun, entah kenapa akhirnya aku
kuliah di sebuah perguruan tinggi di Bandung Jurusan Manajemen
Informatika. Ilmu akademis ini mengantarku bekerja di sebuah perusahaan
pengembang di Bekasi sebagai marketing communication manager di
perusahaan itu.
Sayang,
setelah hampir lima tahun bekerja, kuketahui kondisi perusahaan sedang
tidak sehat. Hal itu membuat banyak karyawan di-PHK. Saat itulah aku
tersadar, aku tinggal menunggu giliran. Karena itu aku mulai memikirkan
lebih serius soal rencana hidupku berikutnya. Yang jelas, saat itu yang
terpikir olehku, tak ingin lagi menjadi karyawan kantoran karena
sewaktu-waktu bisa menghadapi masalah PHK lagi.
Nekat Wirausaha
Akhirnya,
aku bertekad ingin membuka usaha sendiri. Sayangnya aku bingung mau
berbisnis apa. Sebelumnya, aku pernah membuka beberapa usaha
kecil-kecilan, antara lain penyewaan komputer, tapi bisnisku selalu
gagal. Setelah kupikir-pikir, kuputuskan membuka usaha di bidang
kuliner. Alasannya sederhana saja, aku suka sekali makan.
Aku
memilih membuka warung seafood seperti yang banyak ditemukan di kaki
lima. Modalku hanya Rp 3 juta. Uang itu kuperoleh dari hasil menjual
barang-barang pribadiku ke teman-teman, antara lain telepon genggam,
parfum, dan jam tangan. Sampai sekarang, barang-barang itu masih
disimpan mereka, katanya buat kenang-kenangan. Istriku, Siti Umairoh
yang seumur denganku, mendukung keputusanku.
Awalnya,
ia pikir aku hanya berbisnis sampingan saja seperti sebelumnya, karena
aku mulai berjualan sebelum mengundurkan diri dari perusahaan. Ia kaget
ketika aku benar-benar menekuni bisnis ini, meski tetap saja ia
mendukung.
Yang
keberatan justru orang tuaku. Mungkin mereka khawatir memikirkan masa
depan anaknya yang jadi tidak jelas. Maklum aku yang sebelumnya kerja
kantoran dengan berbaju rapi, malah jadi terkesan luntang-lantung tidak
jelas.
Warung
semi permanen berukuran 2x2 meter persegi kudirikan di daerah Pondok
Kelapa. Lantaran modal pas-pasan, aku mencari yang sewanya cukup murah,
sekitar Rp 250 ribu per bulan. Aku mempekerjakan tiga orang, dua di
antaranya adalah suami-istri. Berbeda dari warung seafood di kaki lima
yang umumnya bertenda biru dan berspanduk putih, warungku kudesain unik.
Ternyata,
desain unik tak membantu penjualan. Tiga bulan pertama, hasil penjualan
selalu minus. Tak satu pun pembeli datang. Aku mencoba berbesar hati,
mungkin warungku sepi lantaran banyak yang tidak tahu keberadaan warung
tendaku itu. Aku mulai melirik lokasi lain yang lebih ramai. Kutawarkan
sistem kerjasama dengan rumah makan dan warung lain, tapi selalu
ditolak.
Sampai
suatu hari, aku mendatangi sebuah rumah makan semi permanen di kawasan
tempat makan, masih di kawasan Pondok Kelapa. Seperti yang lain, pemilik
rumah makan ini juga menolak tawaran kerjasamaku. Ia justru menawariku
membeli peralatan rumah makannya yang hendak ia tutup lantaran sepi
pembeli. Aku menolak, karena tak punya uang. Akhirnya, ia menawarkan
sewa tempat seharga Rp 1 juta per bulan. Aku pun setuju.
Mirip Pisang Goreng
Bulan
pertama buka usaha, mulai tampak hasilnya. Pembeli mulai berdatangan.
Aku tahu, usaha yang bisa sukses dan bertahan adalah usaha yang punya
spesialisasi. Kuputuskan untuk berjualan pecel lele, makanan favoritku
sejak kuliah. Ya, semasa kuliah dulu, aku rajin berburu warung pecel
lele yang enak. Kupikir, orang yang khusus berjualan makanan dari lele
belum ada.
Lagi-lagi,
nasib baik belum sepenuhnya berpihak kepadaku. Begitu aku berjualan
lele, yang laku justru ayam. Kalau menu ayam habis, pembeli langsung
memilih pulang. Namun, aku tak mau menyerah. Karena aku tahu lele itu
enak. Jadi, ketika para pembeli duduk menikmati hidangan, aku
berkeliling meja, minta mereka mencicipi lele hasil masakan kami.
Syukurlah, mereka berpendapat masakannya enak.
Dari
situ, aku berusaha lebih giat untuk memperkenalkan masakan lele. Aku
berusaha menonjolkan kelebihan lele yang terletak pada dagingnya yang
lembut dan gurih. Untuk menutupi kekurangan tampilan fisik lele yang
mungkin kurang menarik, lelenya aku baluri tepung lalu digoreng.
Hasilnya? Gagal total!
Kuamati
lele berbalur tepung itu. He..he..he.. ternyata memang mirip pisang
goreng. Aku pantang menyerah. Kucoba lagi menggoreng lele dengan tepung.
Kali ini, digoreng dengan telur dan melalui beberapa kali proses.
Alhamdulillah, sukses! Pembeli makin suka makan lele olahan kami.
Pelangganku yang suka makan ayam, mulai beralih ke lele tepung.
Setelah
tiga bulan pindah ke tempat baru itu, pendapatan rumah makanku meningkat
menjadi Rp 3 juta per bulan. Aku sangat bersyukur. Dari situ aku
berpikir untuk lebih total menekuni bisnis ini. Apalagi bila
dibandingkan dengan penghasilanku sebagai karyawan kantoran yang cuma
“tiga koma”. Maksudnya, setelah tanggal tiga, lalu “koma” Ha… ha.. ha…
Terjebak Rentenir
Tahu
usahaku laris, pemilik rumah makan menaikkan biaya sewa jadi dua kali
lipat, yaitu Rp 2 juta per bulan. Aku mulai merasa seolah-olah bekerja
untuk orang lain karena hasil yang kuraih hanya untuk membayar sewa
tempat.
Masalah
bertambah lagi karena aku juga harus memikirkan gaji karyawan. Kuputar
otakku guna mendapatkan uang untuk membayar gaji karyawan. Aku sudah
mantap tidak akan kerja kantoran lagi. Sebab ada tiga orang karyawan
yang menggantungkan nasibnya padaku.