Orang yang berpuasa secara benar pasti berusaha menghindari perbuatan-perbuatan haram tersebut, karena bila perbuatan itu dilakukan, puasanya tidak bernilai sama sekali. Inilah yang disabdakan Nabi Muhammad SAW, “Banyak orang yang puasa, tidak mendapatkan nilai apa-apa, kecuali rasa lapar dan dahaga saja.”
Saat ini, kita perlu melakukan evaluasi dan kritik terhadap perilaku kita saat ini dalam melaksanakan puasa.
Cara pandang kita pun tentang ramadhan perlu diluruskan. Fenomena yang terjadi pada bulan Ramadhan adalah terjadinya pola kosumsi yang berlebihan, yaitu dengan membeli makanan, minuman, buah-buahan secara berlebihan yang harganya relative lebih mahal dari hari-hari biasanya.
Puasa dan perilaku konsumtif
Pertama-tama, ibadah puasa harus melahirkan setiap sikap hidup sederhana dan efisien dalam konsumsi. Sikap hidup sederhana, efisien dan tak berlebih-lebihan dalam bulan puasa, terlihat ajaran Nabi Muhammad SAW ketika berbuka puasa. Nabi mengajarkan bahwa makanan berbuka puasa cukup dengan seteguk air dan memakan sebutir kurma. Sikap dan perilaku itu saat ini hampir hilang dari kehidupan umat Islam, terutama di Indonesia.
Saat ini telah menjadi kebiasaan umat Islam memupuk makanan, minuman, buah-buahan, segala macam kue, bubur, kolak dan acara berbuka puasa yang menunjukkan sikap sidup israf dan tabzir. Perilaku ini jelas bertentangan dengan Sunnah Rasulullah dan syariah Islam.
Islam sangat anti terhadap sikap hidup berlebih-lebihan atau mubazzir, karena mubazzir adalah saudara setan. Islam mengajarkan sikap hidup sederhana dalam mengkonsumsi barang-barang dan makanan. Dalam al-Qur’an dengan tegas Allah berfirman, “Makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Perilaku israf dan tabzir tidak saja bertentangan dengan syariah atau Sunnah Rasulullah, tetapi juga menunjukkan sikap hidup individualis dan egois, karena ketika kita menerapkan pola konsumsi israf (berlebihan),masih banyak saudara-saudara kita yang dilanda krisis ekonomi yang sangat menyedihkan. Padahal kalau kita bisa hemat, maka sisa uang itu bisa digunakan untuk infak atau sedekah kepada para fakir miskin yang memerlukan dana untuk hidup secara layak.
Belum lagi Ramadhan usai, sebagian sudah sibuk membeli pakaian baru, menyiapkan kue dan minuman untuk lebaran dan merencanakan rekreasi lebaran. Inilah perilaku konsumen muslimin yang harus diluruskan secara bertahap.
Selain itu, dalam konteks ini kita perlu merenungkan salah satu hikmah puasa. Apabila kaum muslimin meningkatkan konsumsi selama Ramadhan, maka secara agregat, harga-harga akan naik dan hal ini sangat berpotensi untuk mewujudkan inflasi. Padahal inflasi adalah suatu realita yang tidak diinginkan. Bila hal ini terjadi, maka dampak puasa menjadi negatif, yakni menambah tingkat kemiskiskan masyarakat, karena harga-harga menjadi naik dan daya beli masyarakat semakin menurun. Apabila masyarakat menjadi semakin miskin karena perilaku orang yang berpuasa,
Seharusnya di bulan ramadhan, makan menjadi dua kali sehari. Dengan demikian, kaum muslimin mengurangi jatah makan satu kali dalam sehari. Jadi, seharusnya biaya makan bekurang 1 kali setiap hari. Misalkan biaya 1 kali makan Rp.8.000,- perorang dalam satu keluarga yang berjumlah 6 orang misalnya, maka dalam satu hari terjadi penghematan sebesar Rp.48.000,-. Sisa dana inilah yang seharusnya diinfaqkan kepada saudara-saudara kita yang masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.
Bila jumlah keluarga di Medan, misalkan 1.000.000,- keluarga, maka dana kelebihan dari penghemaan makan selama puasa berjumlah Rp.24 milyar. Selain adanya penghematan itu, kita bisa mencegah naik harga-harga barang dan bahkan inflasi
Al-Quran melukiskan orang-orang beriman sebagai orang yang pertengahan dalam mengkonsumsi, yaitu orang-orang yang ketika membelanjakan harta tidak berlebihan dan tidak kikir, tatapi berada di antara keduanya.
Konsumsi berlebihan adalah cirri khas masyarakat materialis yang tidak bertuhan. Sikap berlebihan itu disebut dengan istilah israf (boros). Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebihan, baik makanan, minuman, pakaian, peralatan rumah tangga, kendaraan, media elektronik, dan sebagainya.
Bahkan tabzir menurut Dr. Monzer Kahf, pakar ekonomi Islam Pakistan, tidak saja berarti berlebihan dalam mengkonsumsi barang saja, tetapi juga mempergunakan harta dengan cara yangsalah, seperti penguapan, perjudian, menyumbang untuk acara maksiat (keyboard maksiat), dan sebagainya.
Puasa dan petasan
Sehubungan dengan itu, umat Islam dilarang keras memproduksi dan mendistribusikan (menjual) dan mengkonsumsi petasan tersebut. Pihak berwajib harus mencegah dan melarang jual-beli petasan, agar tidak bisa dikonsumsi kaum muslimin. Karena dampaknya menimbulkan keresahan bagi masyarakat muslim terutama bagi yang menjalankan ibadah tarawih. Dan karena itu, penggunaan uang untuk membeli petasan tergolong kepada perilaku mubazzir yang di haramkan.
Puasa dan kejujuran
Kejujuran dalam bisnis merupakan perilaku terpuji dalam Islam, sehingga Nabi menempatkan pedagang yang jujur sejajar dengan para Nabi, syuhada dan orang-orang shalih. Ramadhan mestinya manjadi momentum paling ampuh untuk melatih kejujuran para pelaku ekonomi. Ibadah puasa berbeda dengan ibadah lain. Puasa adalah ibadah sirryah (rahasia), karma yang mengetahui apakah seseorang itu puasa atau tidak hanyalah dirinya sendiri dan Allah SWT. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Allah. Maka meskipun dia sendirian di dalam kamar, dia tidak akan minum, karena Allah selalu mengawasinya. Dengan demikian puasa sangat efektif melatih kejujuran. Bila kejujuran telah menjelma dalam diri orang yang berpuasa, maka dia tidak akan melakukan kebohongan, manipulasi dan perilaku yang berbau KKN lainnya dalam kegiatan ekonominya. Inilah yang dikehendaki ekonomi syariah.
Puasa dan perilaku ribawi
Sebagai orang yang beriman yang sedang melaksanakan puasa, berekonomi dengan system syariah adalah suatu keharusan, apalagi orang yang kualitas puasanya pada tingkatan khawash atau khaaswhul khawas. Alangkah anehnya, bila kita berpuasa secara sungguh-sungguh, tapi riba (bunga) kita amalkan dalam praktek ekonomi kita. Puasa kta lakukan secara Islam, tapi dalam masalah ekonomi kita amalkan sistem riba yang diimport dari sistem kapitalis yang telah merusak tatanan ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
Hukum bunga bank saat ini sudah jelas tidak sesuai dengan syariah Islam. Seluruh pakar ekonomi syariah di dunia saat ini telah sepakat dan ijma tentang keharaman bunga bank. Kesepakatan itu malah telah menjadi Ijma’ ulama sedunia. Dulu sebelum bank syariah lahir di dunia ini, masih ada ulama yang memperbolehkan bunga bank dengan alasan darurat. Dengan hadirnya bank syariah tanpa bunga, maka segelintir pendapat yang membolehkannya menjadi batal. Karena itu saat ini tidak ada satupun ulama pakar ekonomi Islam membolehkan bunga tersebut, kecuali ustadz yang tak faham ekonomi syariah atau ketinggalan informasi keilmuan tentang Islamic economic and finance serta perkembangan spektakuler perbankan syariah tanpa bunga.
Maka, melalui puasa yang kita laksanakan ini, menjadi keharusan bagi kita untuk secara bertahan mengamalkan sistem ekonomi syariah. Salah satu cara paling mudah adalah mengalihkan tabungan dan deposito dari bank ribawi ke bank syariah yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ONH dan dana kaum muslimin lainnya, seharusnya dikelola umat Islam sendiri secara syariah. Dengan demikian barulah tujuan puasa membentuk manusia takwa dapat terwujud.
Orang yang bertakwa tidak mau memakan riba yang diharamkan dan dikutuk Allah SWT. Bagi orang yang telah terlanjur bekerja di bank ribawi tersebut, banyaklah minta ampun di bulan Ramadhan dan berdoalah kiranya bank tempat dia bekerja berubah menjadi bank syariah atau membuka cabang syariah, seperti yang dilakukan Bank Mandiri, BNI 46, BTN, Bank Susila Bakti,.
Keniscayaan berekonomi secara syariah ini, lantaran penerapannya mempunyai manfaat yang besar, baik bagi pengamalnya, maupun jamaah kaum muslimin secara keseluruhan.
1. Menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi syariah adalah upaya untuk menjadi pemeluk Islam secara kaffah.
2. Menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi syariah mendapatkan dua keuntungan, duniawi berupa bagi hasil, keuntungan akhirat pahala ibadah melalui ekonomi dan terhindar dari dosa riba. Bagi nasabah yang memiliki modal (aghniyak), menanam saham di Lembaga Keuangan Islam, tidaklah berkembang secara ekonomis, sebagaimana dalam sistem ekonomi konvensional.
3. Menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi syairah berarti melepaskan diri dari mainstream riba yang diharamkan dan terbebas dari segala unsur syubhat.
4. Memajukan ekonomi syariah lewat bank syariah, MLM Syariah, Ahad-Net International, BMT (Balai Usaha Mandiri Terpadu-Baitul Maal Wat Tamwil), BPRS, dan Asuransi Takaful, berarti umat Islam berupaya memajukan ekonomi umat Islam sekian lama terpuruk. Menabung di bank syariah dan membeli produk-produk muslim, berarti kita berupaya mengentaskan kualitas ekonomi kerakyatan.
5. Pemberdayaan dan peningkatan ekonomi umat berimplikasi terhadap kemajuan umat Islam di segala bidang, seperti pendidikan atau SDM, sebab kondisi ekonomi yang tinggi mempengaruhi tingkat pendidikan sehingga melahirkan sumber daya manusia berkualitas.
Penutup
Saat ini, kita perlu melakukan evaluasi dan kritik terhadap perilaku kita saat ini dalam melaksanakan puasa.
Cara pandang kita pun tentang ramadhan perlu diluruskan. Fenomena yang terjadi pada bulan Ramadhan adalah terjadinya pola kosumsi yang berlebihan, yaitu dengan membeli makanan, minuman, buah-buahan secara berlebihan yang harganya relative lebih mahal dari hari-hari biasanya.
Puasa dan perilaku konsumtif
Pertama-tama, ibadah puasa harus melahirkan setiap sikap hidup sederhana dan efisien dalam konsumsi. Sikap hidup sederhana, efisien dan tak berlebih-lebihan dalam bulan puasa, terlihat ajaran Nabi Muhammad SAW ketika berbuka puasa. Nabi mengajarkan bahwa makanan berbuka puasa cukup dengan seteguk air dan memakan sebutir kurma. Sikap dan perilaku itu saat ini hampir hilang dari kehidupan umat Islam, terutama di Indonesia.
Saat ini telah menjadi kebiasaan umat Islam memupuk makanan, minuman, buah-buahan, segala macam kue, bubur, kolak dan acara berbuka puasa yang menunjukkan sikap sidup israf dan tabzir. Perilaku ini jelas bertentangan dengan Sunnah Rasulullah dan syariah Islam.
Islam sangat anti terhadap sikap hidup berlebih-lebihan atau mubazzir, karena mubazzir adalah saudara setan. Islam mengajarkan sikap hidup sederhana dalam mengkonsumsi barang-barang dan makanan. Dalam al-Qur’an dengan tegas Allah berfirman, “Makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Perilaku israf dan tabzir tidak saja bertentangan dengan syariah atau Sunnah Rasulullah, tetapi juga menunjukkan sikap hidup individualis dan egois, karena ketika kita menerapkan pola konsumsi israf (berlebihan),masih banyak saudara-saudara kita yang dilanda krisis ekonomi yang sangat menyedihkan. Padahal kalau kita bisa hemat, maka sisa uang itu bisa digunakan untuk infak atau sedekah kepada para fakir miskin yang memerlukan dana untuk hidup secara layak.
Belum lagi Ramadhan usai, sebagian sudah sibuk membeli pakaian baru, menyiapkan kue dan minuman untuk lebaran dan merencanakan rekreasi lebaran. Inilah perilaku konsumen muslimin yang harus diluruskan secara bertahap.
Selain itu, dalam konteks ini kita perlu merenungkan salah satu hikmah puasa. Apabila kaum muslimin meningkatkan konsumsi selama Ramadhan, maka secara agregat, harga-harga akan naik dan hal ini sangat berpotensi untuk mewujudkan inflasi. Padahal inflasi adalah suatu realita yang tidak diinginkan. Bila hal ini terjadi, maka dampak puasa menjadi negatif, yakni menambah tingkat kemiskiskan masyarakat, karena harga-harga menjadi naik dan daya beli masyarakat semakin menurun. Apabila masyarakat menjadi semakin miskin karena perilaku orang yang berpuasa,
Seharusnya di bulan ramadhan, makan menjadi dua kali sehari. Dengan demikian, kaum muslimin mengurangi jatah makan satu kali dalam sehari. Jadi, seharusnya biaya makan bekurang 1 kali setiap hari. Misalkan biaya 1 kali makan Rp.8.000,- perorang dalam satu keluarga yang berjumlah 6 orang misalnya, maka dalam satu hari terjadi penghematan sebesar Rp.48.000,-. Sisa dana inilah yang seharusnya diinfaqkan kepada saudara-saudara kita yang masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.
Bila jumlah keluarga di Medan, misalkan 1.000.000,- keluarga, maka dana kelebihan dari penghemaan makan selama puasa berjumlah Rp.24 milyar. Selain adanya penghematan itu, kita bisa mencegah naik harga-harga barang dan bahkan inflasi
Al-Quran melukiskan orang-orang beriman sebagai orang yang pertengahan dalam mengkonsumsi, yaitu orang-orang yang ketika membelanjakan harta tidak berlebihan dan tidak kikir, tatapi berada di antara keduanya.
Konsumsi berlebihan adalah cirri khas masyarakat materialis yang tidak bertuhan. Sikap berlebihan itu disebut dengan istilah israf (boros). Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebihan, baik makanan, minuman, pakaian, peralatan rumah tangga, kendaraan, media elektronik, dan sebagainya.
Bahkan tabzir menurut Dr. Monzer Kahf, pakar ekonomi Islam Pakistan, tidak saja berarti berlebihan dalam mengkonsumsi barang saja, tetapi juga mempergunakan harta dengan cara yangsalah, seperti penguapan, perjudian, menyumbang untuk acara maksiat (keyboard maksiat), dan sebagainya.
Puasa dan petasan
Sehubungan dengan itu, umat Islam dilarang keras memproduksi dan mendistribusikan (menjual) dan mengkonsumsi petasan tersebut. Pihak berwajib harus mencegah dan melarang jual-beli petasan, agar tidak bisa dikonsumsi kaum muslimin. Karena dampaknya menimbulkan keresahan bagi masyarakat muslim terutama bagi yang menjalankan ibadah tarawih. Dan karena itu, penggunaan uang untuk membeli petasan tergolong kepada perilaku mubazzir yang di haramkan.
Puasa dan kejujuran
Kejujuran dalam bisnis merupakan perilaku terpuji dalam Islam, sehingga Nabi menempatkan pedagang yang jujur sejajar dengan para Nabi, syuhada dan orang-orang shalih. Ramadhan mestinya manjadi momentum paling ampuh untuk melatih kejujuran para pelaku ekonomi. Ibadah puasa berbeda dengan ibadah lain. Puasa adalah ibadah sirryah (rahasia), karma yang mengetahui apakah seseorang itu puasa atau tidak hanyalah dirinya sendiri dan Allah SWT. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Allah. Maka meskipun dia sendirian di dalam kamar, dia tidak akan minum, karena Allah selalu mengawasinya. Dengan demikian puasa sangat efektif melatih kejujuran. Bila kejujuran telah menjelma dalam diri orang yang berpuasa, maka dia tidak akan melakukan kebohongan, manipulasi dan perilaku yang berbau KKN lainnya dalam kegiatan ekonominya. Inilah yang dikehendaki ekonomi syariah.
Puasa dan perilaku ribawi
Sebagai orang yang beriman yang sedang melaksanakan puasa, berekonomi dengan system syariah adalah suatu keharusan, apalagi orang yang kualitas puasanya pada tingkatan khawash atau khaaswhul khawas. Alangkah anehnya, bila kita berpuasa secara sungguh-sungguh, tapi riba (bunga) kita amalkan dalam praktek ekonomi kita. Puasa kta lakukan secara Islam, tapi dalam masalah ekonomi kita amalkan sistem riba yang diimport dari sistem kapitalis yang telah merusak tatanan ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
Hukum bunga bank saat ini sudah jelas tidak sesuai dengan syariah Islam. Seluruh pakar ekonomi syariah di dunia saat ini telah sepakat dan ijma tentang keharaman bunga bank. Kesepakatan itu malah telah menjadi Ijma’ ulama sedunia. Dulu sebelum bank syariah lahir di dunia ini, masih ada ulama yang memperbolehkan bunga bank dengan alasan darurat. Dengan hadirnya bank syariah tanpa bunga, maka segelintir pendapat yang membolehkannya menjadi batal. Karena itu saat ini tidak ada satupun ulama pakar ekonomi Islam membolehkan bunga tersebut, kecuali ustadz yang tak faham ekonomi syariah atau ketinggalan informasi keilmuan tentang Islamic economic and finance serta perkembangan spektakuler perbankan syariah tanpa bunga.
Maka, melalui puasa yang kita laksanakan ini, menjadi keharusan bagi kita untuk secara bertahan mengamalkan sistem ekonomi syariah. Salah satu cara paling mudah adalah mengalihkan tabungan dan deposito dari bank ribawi ke bank syariah yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ONH dan dana kaum muslimin lainnya, seharusnya dikelola umat Islam sendiri secara syariah. Dengan demikian barulah tujuan puasa membentuk manusia takwa dapat terwujud.
Orang yang bertakwa tidak mau memakan riba yang diharamkan dan dikutuk Allah SWT. Bagi orang yang telah terlanjur bekerja di bank ribawi tersebut, banyaklah minta ampun di bulan Ramadhan dan berdoalah kiranya bank tempat dia bekerja berubah menjadi bank syariah atau membuka cabang syariah, seperti yang dilakukan Bank Mandiri, BNI 46, BTN, Bank Susila Bakti,.
Keniscayaan berekonomi secara syariah ini, lantaran penerapannya mempunyai manfaat yang besar, baik bagi pengamalnya, maupun jamaah kaum muslimin secara keseluruhan.
1. Menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi syariah adalah upaya untuk menjadi pemeluk Islam secara kaffah.
2. Menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi syariah mendapatkan dua keuntungan, duniawi berupa bagi hasil, keuntungan akhirat pahala ibadah melalui ekonomi dan terhindar dari dosa riba. Bagi nasabah yang memiliki modal (aghniyak), menanam saham di Lembaga Keuangan Islam, tidaklah berkembang secara ekonomis, sebagaimana dalam sistem ekonomi konvensional.
3. Menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi syairah berarti melepaskan diri dari mainstream riba yang diharamkan dan terbebas dari segala unsur syubhat.
4. Memajukan ekonomi syariah lewat bank syariah, MLM Syariah, Ahad-Net International, BMT (Balai Usaha Mandiri Terpadu-Baitul Maal Wat Tamwil), BPRS, dan Asuransi Takaful, berarti umat Islam berupaya memajukan ekonomi umat Islam sekian lama terpuruk. Menabung di bank syariah dan membeli produk-produk muslim, berarti kita berupaya mengentaskan kualitas ekonomi kerakyatan.
5. Pemberdayaan dan peningkatan ekonomi umat berimplikasi terhadap kemajuan umat Islam di segala bidang, seperti pendidikan atau SDM, sebab kondisi ekonomi yang tinggi mempengaruhi tingkat pendidikan sehingga melahirkan sumber daya manusia berkualitas.
Penutup
Konsekuensi etis dari ibadah puasa memang menjadi urusan Tuhan, tetapi konsekuensi moralnya menjadi tanggung jawab kita dalam interelasinya sebagai anggota masyarakat. Di bidang sosial-ekonomi, ibadah puasa harus menjadikan pelakunya mampu melihat dan tergerak memberantas kemiskinan dan membantu rakyat kecil. Apalagi, menurut riset terakhir, data kemiskinan bangsa ini yang kemarin sempat dimanipulasi, kian meningkat. Artinya, tanpa kesadaran itu, ibadah puasa hanya akan berubah menjadi amalan tiada arti. Pola konsumsi yang suka berlebih-lebihan, tidak jujur dalam bisnis, mempraktekkan bunga bank, maka puasanya hanya pada tingkatan paling rendah dan belum mencapai derajat khawash sedikitpun, sehingga jauh dari derajat takwa
sumber:http://www.mail-archive.com/fossei@yahoogroups.com/msg03803.html
Klik di sini untuk info seputar Dunia Komputer