Hidup Seperti Bekerja Sendiri

Dua teman dekat saya yang berbeda tempat kerja mengeluh, ”Seperti benar-benar sendiri, merasa tidak ada yang mengerti di tempat kerja.” Mereka merasa ”tidak lagi punya rumah”, ”kosong dan tidak bersambung dengan komunitas di lingkungan kerja”. Yang satu merasa tidak dihargai keahliannya, satunya merasa dikhianati oleh lingkaran terdekatnya sendiri.

Visi hidup

Keduanya memiliki pandangan sosial yang kuat mengenai hidup, yakni bahwa hidup harus diisi dengan memperjuangkan hal-hal yang baik bagi masyarakat.
Hal-hal baik itu, antara lain, keadilan, penghormatan terhadap perbedaan, kejujuran, integritas, penghapusan kemiskinan, manajemen yang bersih, dan lain sebagainya.

Meski uang penting, mereka yakin uang bukanlah hal terpenting dan akan datang sendiri apabila kita bekerja dengan baik. ”Nama diri” juga bukan tujuan utama, melainkan hasil sampingan apabila kita memiliki integritas.

Kebanyakan orang ingin cari aman dalam bekerja, memaksimalkan manfaat bagi diri (uang, nama, gelar, jabatan, kekuasaan) dengan barter biaya seminimal mungkin. Sementara yang punya passion dan visi sosial besar akan sepenuh hati bekerja mengejar mimpi-mimpinya tentang ”kehidupan yang baik bagi sebanyak mungkin orang”.

Ia bekerja lembur di kantor atau di rumah, (kadang atau sering) mengeluarkan biaya sendiri untuk merealisasi mimpinya, juga rela tertinggal disalip teman-temannya yang bekerja untuk mencari uang, posisi, dan gelar. Semua orang pernah merasa kesepian dan ”sungguh-sungguh sendiri” di tengah hiruk pikuk mondar-mandir kehadiran orang lain, tetapi mereka yang punya visi kuat mengenai misi atau amanah hidup mungkin akan lebih sering merasa kesepian.

Lelah

Bagaimanapun, tidak ada super human. Melihat pihak lain yang tidak di lingkaran terdalam kita sendiri melakukan kecurangan dan politik perkoncoan memang memuakkan, tetapi kita masih dapat menetralisasi perasaan agar tidak mengganggu pekerjaan kita sendiri.

Menjadi lebih sulit ketika kita berulang melihat orang-orang di lingkaran terdalam kita sendiri tidak memiliki integritas dan kompetensi, tetapi melaju cepat kariernya, teman atau atasan bertindak tidak jujur, atau menggunakan uang lembaga untuk kepentingan pribadi. Apalagi ketika teman-teman yang kita sangka ”seperjuangan” ternyata berbicara dan bertindak berbeda, katanya mendukung tetapi ternyata bicara palsu atau memperalat saja.

Kita merasa heran, muak, marah, sedih, tak percaya, ditinggalkan, bahkan merasa dipermalukan dan dikhianati. Berbagai dampak penghayatan yang lebih luas tentang hidup juga dapat muncul, misalnya: kehilangan kepercayaan kepada orang lain, termasuk orang-orang dekat dan diri sendiri; merasa kehilangan tempat kerja sebagai ”rumah”, serta rasa tak berdaya yang intens yang menyebabkan munculnya kesedihan berkepanjangan, apatisme, atau hilangnya kejelasan mengenai arah hidup.

Menolong diri sendiri
Kadang kala menghayati kelelahan merupakan hal yang sangat manusiawi. Biasanya, rasa lelah akan menurun sejalan dengan waktu, dan kita dapat bekerja kembali dengan baik apabila mengendurkan laju kerja, mengambil jeda untuk beristirahat, sambil sekaligus me-recharge energi. Akan tetapi, apabila rasa lelah terasa berkepanjangan, ketidakjelasan arah hidup dihayati dalam waktu lama, rasa tidak percaya terus saja kuat menggayuti langkah kita, atau kita sangat sulit mengelola kemarahan, kita perlu mengambil prioritas untuk menolong diri sendiri.

Ada ketentuan yang selalu diumumkan saat pesawat mau tinggal landas, yakni bahwa dalam kondisi darurat masker udara harus dipakaikan terlebih dulu pada diri sendiri, baru kita bisa membantu orang lain. Bahkan, apabila di dekat kita ada anak dan kita sangat terdorong untuk menjaga keselamatannya, pertama-tama tetap kita harus memakaikan masker udara bagi diri sendiri dulu.
Bertindak tergesa-gesa atau bernafsu menolong orang lain, sementara kita sendiri dalam kondisi bahaya dan tak mampu menolong diri sendiri hanya menghasilkan kesia-siaan bagi semua.

Menyelamatkan diri sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, sesuai kebutuhan diri dan situasi. Apabila perasaan kita telah sedemikian buruknya, tidak ada salahnya mengambil jarak, mencari waktu istirahat, atau pergi dari lingkungan yang jadi sumber persoalan, entah sementara atau selamanya. Apabila tindakan frontal sulit dilakukan dan akan merugikan diri sendiri (misalnya: keluar dari tempat kerja), kita menurunkan komitmen kita sebelumnya, dan berdiplomasi mengenai alasannya, sambil memastikan bahwa tugas-tugas utama yang menjadi tanggung jawab kita tetap dapat diselesaikan.

Mempertahankan visi

Kehidupan ideal dan sempurna itu tidak ada. Yang penting ada kesadaran dan tanggung jawab pribadi untuk memilih yang (kita anggap) lebih baik di antara pilihan yang serba tidak sempurna. Kompromi menjadi hal tak terhindari. Misalnya, apabila yang harus kita prioritaskan saat ini adalah penghasilan yang mencukupi untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari dan keperluan pendidikan anak, kita mungkin sementara waktu bertahan menekuni pekerjaan yang gajinya lumayan meski lingkungannya tidak menyenangkan.

Kabar baiknya adalah bahwa hierarki kebutuhan Maslow, meski mengikuti prinsip umum, sesungguhnya bersifat subyektif juga. Apabila hidup sederhana, barangkali dengan penghasilan X (yang bagi orang lain tidak mencukupi), kita telah dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bahkan masih dapat menabung. Dengan kondisi demikian, kita dapat lebih cepat melangkah ke jenjang-jenjang hierarki kebutuhan berikutnya, sekaligus lebih cepat memprioritaskan visi hidup yang kita yakini sebagai amanah atau ”panggilan” kemanusiaan kita.

Pada akhirnya, berbuat baik itu tak dibatasi tempat dan waktunya, dapat dilakukan di mana dan kapan saja. Kita justru perlu meluaskan wawasan untuk menemukan dan saling menguatkan dengan orang-orang lain yang sevisi dengan kita, yang mungkin berada di lingkungan kerja yang tidak kita kenal sebelumnya.

Ditulis oleh: Kristi Poerwandari, PSIKOLOG
dikutip dr: http://health.kompas.com/read/2010/09/06/11130569/Seperti.Bekerja.Sendiri...

Klik di sini untuk info seputar Dunia Komputer