Siswadi, pemilik Bimbingan Belajar Solusi, ternyata sudah hidup di
jalanan sejak usia 8 tahun. Ia pernah mengamen di Semarang dan di
terminal Pulo Gadung, Jakarta. Dari hasil mengamen, ia bisa
menyelesaikan sekolah hingga SMU. Kini, ia sudah memiliki 45 cabang
bimbel di Jabodetabek dengan omzet Rp 400 juta per bulan.
Salah
satu cita-cita setiap orang tua adalah memberikan pendidikan yang
terbaik bagi buah hati mereka. Karena itu, para orang tua rela merogoh
kocek lebih dalam agar anaknya memperoleh pelajaran tambahan di luar
sekolah lewat bimbingan belajar (bimbel).
Siswadi melihat perilaku
para orang tua itu sebagai peluang bisnis. Ia mendirikan usaha
bimbingan belajar (bimbel) bernama Solusi di Matraman, Jakarta, pada
tahun 2008 silam.
Saat ini, bimbel Solusi terus berkembang dan
memiliki 45 cabang yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Dari seluruh
cabangnya tersebut, Siswadi mampu meraih omzet hingga Rp 400 juta per
bulan.
Memiliki usaha bimbel yang sukses belum membuat Siswadi
puas. Keuntungan bisnis bimbel ia putar di bisnis restoran. Kini,
Siswadi sudah mempunyai tujuh restoran dengan laba bersih Rp 49 juta per
bulan.
Namun, semua kesuksesan itu bukan jatuh dari langit.
Bisnis bimbel dan restoran Siswadi juga bukan bisnis warisan, lo.
Laki-laki kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah, ini membutuhkan waktu
panjang untuk membangun bisnis bimbel dan restoran.
Siswadi lahir
dan besar dari keluarga yang serbakekurangan. Tapi, Siswadi yang
ditinggal pergi begitu saja oleh ayahnya pada usia lima tahun itu
memiliki semangat besar untuk mengubah nasib.
Sewaktu duduk di
kelas III SD, Siswadi sempat berusaha mencari ayahnya ke Semarang.
Karena tidak punya kerabat, Siswadi telantar dan menjadi pengamen untuk
mendapatkan sesuap nasi di kota itu.
Sembari mengamen, Siswadi
tetap mencari kabar tentang sang ayah. Tapi, akhirnya, ia menyerah dan
kembali ke Purwodadi. Setelah beberapa lama di rumah, Siswadi memutuskan
untuk merantau ke Jakarta dengan naik kereta api. "Karena tak mempunyai
tiket, saya diturunkan di sawah," kenang Siswadi.
Tidak patah
arang, Siswadi berjalan kaki menyusuri sawah hingga bertemu dengan
terminal bus. Dengan modal mengamen, Siswadi sampai di terminal Pulo
Gadung, Jakarta. "Agar tetap hidup, saya mengamen di terminal itu,"
jelas Siswadi.
Hidup di jalanan membuat Siswadi berkenalan dengan
banyak orang. Ia bahkan pernah ikut demonstrasi di tahun 1998 demi
mendapatkan sebungkus nasi. Karena sering demonstrasi, Siswadi terdampar
di markas kelompok mahasiswa proreformasi bernama Forum Kota (Forkot).
Siswadi
pun akhirnya menetap di markas Forkot itu sembari ikut sekolah kejar
Paket A, setara dengan SD. Setelah lulus, Siswadi meninggalkan Forkot
dan melanjutkan sekolah ke SMP.
Karena tidak punya tumpuan,
Siswadi kembali mengamen untuk mencari sesuap nasi dan juga biaya
sekolah. Bahkan terkadang, ia meminta uang secara paksa kepada murid
lain. "Untungnya kepala sekolah berbaik hati dan membebaskan saya dari
SPP," kata dia.
Ketika ia duduk di bangku SMU, Siswadi juga
bekerja keras di sebuah persewaan game untuk membiayai sekolah. Selain
itu, ia aktif di kegiatan nasyid SMU, bahkan sempat menjadi juara
antar-SMU. "Sejak itu, saya mulai tenang dan tidak nakal," ungkap
Siswadi.
Lulus SMU, Siswadi sempat kuliah di Universitas
Bhayangkara. Tapi, kemudian, ia memutuskan bekerja sebagai tenaga
marketing di sebuah lembaga bimbel. Di tempat bimbel itulah Siswadi
belajar seluk-beluk usaha bimbel. Berbekal pengalaman itu, ia mengajak
teman-temannya membuka bimbel sendiri pada 2008.
Dengan
memanfaatkan rumah salah seorang temannya, Siswadi mengeluarkan kocek Rp
300.000 untuk perlengkapan bimbel. "Saya dapat murid 95 siswa saat
itu," kata Siswadi.
Dua siswa dari seluruh siswa didikannya itu
lolos seleksi program pertukaran pelajar Indonesia-Jerman. Setelah
itulah, bimbel Solusi diincar banyak siswa. Apalagi dari sisi bayaran,
bimbel Solusi menawarkan paket hemat yang terjangkau bagi kalangan
bawah.
Dalam waktu tiga tahun, bimbel Solusi berkembang menjadi 45
cabang dengan jumlah karyawan 500 orang. Setelah bimbel berjalan,
Siswadi menyempatkan diri meneruskan kuliah di universitas yang berbeda
Dengan segmen menengah ke bawah, bimbel Bintang Solusi Mandiri
berusaha menarik biaya belajar yang murah. meski murah, Siswadi tetap
memberikan standar yang tinggi untuk kurikulum dan pelajaran yang
diberikan. Karena itu, Solusi terus berkembang dan tak hanya diminati
kelas bawah saja.
Tekad untuk terus maju dan berhasil membuat
Siswadi tak pernah menyerah. Setelah menyerap pengalaman dan ilmu dari
pekerjaannya sebagai tenaga pemasaran di sebuah bimbingan belajar, ia
memutuskan untuk membuka usaha sendiri.
Dia lalu mengajak lima
orang temannya membuka bisnis bimbingan belajar (bimbel) di daerah
Matraman, Jakarta. Tekad Siswadi membentuk bimbel sendiri tak sekadar
untuk mencari penghasilan. Siswadi juga ingin membuktikan bahwa bimbel
itu hak semua murid dari semua status sosial.
Itulah sebabnya,
dalam mengelola bimbel, Siswadi berusaha menjangkau murid SD dan SMP
dari kalangan menengah bawah dengan menawarkan biaya murah.
Tapi
perjuangan itu memang tak mudah. Siswadi mengaku kesulitan dalam mencari
tempat usaha di saat awal mendirikan bimbel. Keterbatasan modal
membuatnya tidak bisa menyewa tempat strategis. Siswadi pun harus puas
bimbel dibuka di rumah kosong milik temannya di bilangan Matraman.
Ketika
awal buka, sebanyak 98 murid SD menjadi siswa pertama bimbel Solusi.
”Alhamdulillah semuanya lulus masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP),
bahkan dua di antaranya berhasil ikut pertukaran pelajar ke Jerman,”
kenangnya.
Dia banyak menggunakan insting dalam memilih pelajaran.
Dan ternyata insting Siswadi memang jitu. Sebab banyak siswa yang
mengatakan bahwa yang diajarkan di Solusi banyak yang keluar saat ujian.
"Yang menurut saya soalnya sulit dan kompleks kita ajarkan ke siswa,"
jelasnya.
Tapi itu dulu. Setelah bisnis kian membesar, Siswadi tak
mau lagi menggunakan insting untuk membantu belajar anak didiknya.
Solusi kini sudah punya tenaga kurikulum yang menyusun soal dan materi
pelajaran yang dia seleksi dengan ketat.
Alhasil, dengan kurikulum
yang tersusun baik dan banyaknya bukti kurikulum itu sukses, membuat
Solusi semakin terkenal. Jika pada awalnya Solusi mentargetkan anak
didik dari kalangan menengah ke bawah, saat ini siswa yang bergabung
juga banyak dari kalangan atas. "Tiga tahun lalu kami memang fokus anak
kurang mampu, sekarang kami juga menjangkau kalangan kelas atas," kata
Siswadi.
Walau sudah merambah segmen menengah atas, Siswadi tetap
mematok tarif murah Rp 500.000 per semester. "Itu menjadi daya tarik
tersendiri, sebab walaupun murah namun materi yang diajarkan
berkualitas," klaim Siswadi.
Dengan tarif yang terjangkau, siswa
juga akan mendapatkan modul belajar, buku pengembangan, serta tempat
belajar ber-AC. Siswa juga memperoleh training atau seminar motivasi
yang berlangsung di tengah atau akhir semester.
Siswadi menjamin bahwa kualitas pembelajaran di Solusi terstandar dengan baik. Dengan menerapkan konsep belajar team best learning plus setiap kelas hanya berisi 10 siswa. Modul pembelajaran yang diberikan juga ringkas dan mudah dimengerti.
Beragam
strategi itu juga menggiring Siswadi jadi penerima penghargaan
penyelenggara bimbel terbaik versi majalah bisnis nasional pada 2009
silam. Penghargaan itu didapatkan berkat peningkatan jumlah siswa yang
mencapai 100 persen tiap semester.
Agar bisnis bimbelnya terus
berkembang, Siswadi kemudian mewaralabakan Solusi. "Kami ingin
mengembangkan bimbel Solusi ke seluruh Indonesia," katanya.
Saat
ini bimbel Solusi telah memiliki 45 cabang dan mitra di seluruh
Indonesia dengan total murid sekitar 7.000 orang. Karyawan yang bekerja
di Solusi juga sudah mencapai 470 orang. Dengan jumlah cabang tersebut,
omzet yang diperoleh setiap bulan bisa mencapai Rp 400 juta.
Namun
demikian, sukses yang diraih Siswadi tidak menghilangkan kenangan saat
dia harus berjuang menjadi pengamen di jalanan. Sebagai wujud syukur
atas segala suksesnya sekarang ini, saat ini Siswadi memberikan kursus
gratis bagi anak yatim piatu. "Di balik kesuksesan pasti ada hak orang
lain," katanya.
Merambah bisnis kuliner
Setelah
sukses membangun usaha bimbingan belajar (bimbel) Solusi Bintang
Mandiri, tidak membuat Siswadi berpuas diri. Mantan pengamen jalanan di
Terminal Pulo Gadung itu bahkan kian getol mencari peluang bisnis baru.
Bidang usaha baru yang dilirik Siswadi adalah bisnis kuliner.
Bersama
lima orang temannya, pada 2010 lalu, Siswadi membuka restoran dengan
modal Rp 50 juta. Pertama kali, ia membuka restoran itu di Ciputat,
Banten, tidak jauh dari kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Begitu dibuka, restoran tersebut ternyata
mampu menggaet banyak pelanggan yang kebanyakan berstatus mahasiswa.
Tidak hanya menjadi tempat makan saja, restoran Siswadi juga sering
menjadi tempat nongkrong mahasiswa.
Karena pasarnya mahasiswa,
Siswadi sengaja menyajikan menu murah seperti laiknya mengudap di warung
tegal (warteg). Dengan isi kantong Rp 5.000 saja, pelanggan sudah bisa
makan dengan kenyang. Namun, demi kenyamanan Siswadi menerapkan layanan
kelas restoran.
Tengok saja ruang restoran yang terkesan mewah
karena ber-AC dan dilengkapi dengan teve layar datar. Tak hanya itu,
restoran yang diberi nama Rest Door itu dilengkapi perangkat
audio yang tak henti bersenandung saat pelanggan melahap hidangan.
"Konsep ini memadukan warteg dengan restoran berbintang," kata Siswadi.
Perkawinan
warteg dengan restoran itu pun menjadi kunci sukses bisnis restoran
Siswadi. "Warteg punya keunggulan yaitu murah, ini penting untuk
diadopsi," kata Siswadi.
Tidak cukup setahun, Siswadi memutuskan
menambah cabang. Kali ini, ia melirik segmen lain selain mahasiswa. "Ada
peluang untuk karyawan perkantoran," kata Siswadi.
Untuk melayani
urusan perut para karyawan kantoran itu, Siswadi lantas membuka cabang
Rest Door di Jalan Gatot Subroto. Tak hanya itu, ia juga membuka enam
gerai lagi yang tersebar di Pamulang, Pondok Gede, dan di beberapa
tempat di wilayah Jabodetabek lainnya. "Total ada tujuh cabang yang saya
buka dalam setahun," kata Siswadi
Dewi Fortuna memang lagi
berpihak pada Siswadi. Pendapatan tujuh restoran itu sesuai dengan
harapan Siswadi. Walaupun keuntungan yang ia kutip relatif kecil,
Siswadi berharap perputaran uang dari banyaknya pelanggan. "Harga murah
serta tempat yang nyaman akan membuat orang kembali lagi makan ke tempat
kami," jelas Siswadi.
Dari setiap restoran, Siswadi bisa
mendulang omzet minimal Rp 2 juta per hari. Artinya, dalam sebulan tujuh
restoran itu bisa mendatangkan omzet hingga Rp 420 juta.
Setelah
usaha bimbel dan restoran menemukan jalan terang, Siswadi mengaku tidak
mau muluk-muluk. Tahun ini, ia hanya ingin fokus mengembangkan bisnis
yang ada. "Restoran ini baru setahun, kami kembangkan dulu" kata anak
ketiga dari empat bersaudara itu.
Dalam mengembangkan bisnis,
Siswadi memiliki satu niat yaitu membahagiakan sang ibu. Ia bilang,
perjalanan hidup yang ia alami selama ini tidak lepas dari motivasi yang
diberikan oleh sang Ibu. “Sumber semangat bisnis itu paling utama
adalah keluarga," kata Siswadi yang sedari kecil ditinggal pergi oleh
sang Ayah.
Selain sukses bikin usaha sendiri, pria yang berusia 27
tahun itu sukses menyelesaikan kuliah. Dengan meraih gelar sarjana, ia
juga bisa merealisasikan cita-cita keluarga. "Sebelumnya di keluarga
saya tidak ada satu pun yang bisa melanjutkan kuliah," tutur Siswadi.
Kebahagian
Siswadi juga tercukupi saat ia berhasil menemukan sang Ayah yang telah
meninggalkan dia sejak ia berusia lima tahun. Siswadi mendapat informasi
tentang keberadaan sang Ayah dari salah seorang tetangga di kampung
halaman. "Saya langsung mencari ke lokasi untuk membuktikan kebenaran
informasi itu," kata Siswadi.
Ternyata, ayah Siswadi menetap tidak
jauh dari desa. Saat ditemui Siswadi, sang ayah sudah uzur.
“Alhamdulillah, saya bisa menemukan beliau," kata Siswadi yang kini
bercita-cita ingin membahagiakan kedua orang tuanya itu. Sumber: Kompas.com
Informasi Laptop, Komputer, Virus, Jual-Beli Bekas, click here!