Kita tidak
bisa menutup mata mengenai banyaknya kegagalan yang terjadi di tengah
kita. Mulai dari kekalahan dalam olahraga sepak bola, bulutangkis,
sampai kinerja lembaga yang hasil kerjanya belum kunjung bisa dibuktikan
kesuksesannya. Ada juga kegagalan yang menyebabkan tidak hanya kerugian
finansial yang besar, tapi juga hilangnya nyawa, seperti jembatan
ambruk. Hal yang lebih berbahaya lagi malah bila dampak kegagalan sampai
tidak bisa dihitung kerugiannya secara finansial, tapi kerusakannya
begitu nyata, seperti suburnya korupsi sampai ke generasi yang lebih
muda, ataupun lunturnya pendidikan moral dan budi pekerti.
Dengan
gencarnya media sosial sekarang ini, caci-maki bila kegagalan terjadi
seringkali membuat kita merinding. Terlepas dari besar-kecilnya kerugian
yang ditimbulkan, komentar-komentar yang “sadis” segera saja menohok
pelaku yang pada kenyataannya memang berbuat salah atau bodoh. Di
perusahaan, bahkan dalam keluarga pun hal ini terjadi. Ada orangtua yang
langsung menghukum anak yang mendapat angka buruk di ujian, ulangan,
atau pe-ernya. Ada juga atasan yang segera mengganjar kesalahan atau
kelalaian dengan cercaan, sehingga pelaku seolah-olah tidak diberi
nafas, baik untuk memberi keterangan atau membela diri.
Beratnya
hukuman terhadap kegagalan menyebabkan kegagalan bisa dianggap sesuatu
yang alergik, tidak boleh terjadi, bahkan tidak boleh ada. Tak heran
bila kita melihat tumbuh suburnya sikap defensif. Begitu ada gejala ke
arah kegagalan, individu sudah pasang kuda-kuda, siap dengan telunjuknya
untuk menuding orang lain. Bisa juga, ia memutar otak untuk berteori
panjang lebar, mengeluarkan segala jurus analisa, yang penting, dirinya
terlepas dari sorotan, apalagi tanggung jawab untuk menanggung
akibatnya.
Kebiasaan untuk menghindari kegagalan ini selain
menimbulkan stres, juga menghilangkan separuh kesempatan untuk belajar.
Padahal kalau dipikir-pikir, mungkinkah kita belajar dari kesuksesan
saja? Bila kita sedang mengalami sebuah sukses besar, bukankah kita
cenderung tidak belajar dari situasi tersebut? Kita jarang sekali
menganalisa “mengapa sukses ini terjadi?“, “Faktor apa yang dominan?“,
“Apa tindakan kita ambil sehingga kesuksesan bisa berulang?”, atau,
"Apakah ini hanya keberuntungan saja?" Sementara, bila kegagalan
terjadi, dari orang awam sampai ahlinya, akan mengerahkan seluruh tenaga
untuk menganalisa penyebabnya. Individu yang bijak akan langsung
memikirkan solusi dan tindakan perbaikan. Jadi, mengapa kita begitu
takut gagal?
Dekati kegagalan
Pesta-pesta
kesuksesan di perusahaan sudah lazim kita alami. Sebaliknya, pernahkah
kita menelaah bagaimana perusahaan menyikapi kegagalan? Microsoft,
perusahaan yang supersukses, kerap “merayakan” kegagalan, bahkan
menyebut beberapa kegagalannya sebagai “glorious failures”. Mereka sangat jelas memahami sumber kegagalannya dan menjadikan kegagalan sebagai batu loncatan untuk melakukan “breakthrough”.
Sebenarnya, bahkan di parlemen sendiri kita lihat ada acara “hearing”
atau “dengar pendapat” yang dimaksudkan untuk “mendengar” apa,
bagaimana, mengapa suatu kejadian terjadi, dan apa solusinya. Jadi,
slogan "belajar dari kegagalan" benar-benar harus kita pelajari kembali.
Istilah “success by failure” memang ada dan merupakan kenyataan.
Sebuah perusahaan, bahkan berani membuat “hall of failure” dan bukan “hall of fame”
seperti biasanya. Latar belakang pemikiran perusahaan tersebut sangat
jelas. Perusahaan mengupayakan agar para karyawan meyakini bahwa
kegagalan adalah bagian dari upaya perusahaan yang menginginkan karyawan
mau mengambil risiko dan tidak dihantui ketakutan akan kegagalan.
Perusahaan tersebut bahkan menginstruksikan untuk mencantumkan cerita
kegagalan dan apa yang dipelajari dari kegagalan tersebut, dilengkapi
dengan tandatangan yang bersangkutan. Ada individu yang menulis di “hall of failure” dengan mengatakan bahwa setelah 7 tahun berusaha, ia berhenti belajar bermain biola. “Lesson learned” yang ia sampaikan adalah “Saya tidak akan peduli dengan pendapat orang bahwa saya tidak bisa main musik”.
Pernyataan
ini, meskipun nampaknya tidak relevan dengan proses bisnis perusahaan,
sebenarnya menanamkan keberanian pada mental individu untuk siap
menghadapi kesulitan dalam situasi apapun. Pimpinan perusahaan bahkan
mengatakan “We don't just encourage risk taking at our offices: we demand failure”.
Kemajuan, inovasi, dan sukses memang sesungguhnya lebih mudah
dipelajari dari kesalahan-kesalahan di sana-sini. Hal seperti ini
bermanfaat bila saja pendekatan kita terhadap kesalahan memang positif,
mendalam, dan ditekuni.
Budaya "strongly - weak!"
Mengembangkan budaya yang sadar akan kelemahan dan menjadikan "lesson learnt"
sebagai kekuatan, bisa jelas kita lihat pada olahragawan. Jarang sekali
juara-juara olah raga tidak mempelajari kelemahannya. Individu-
individu yang demikian, tumbuh menjadi orang yang lebih membumi, kritis,
fair, dan jujur, serta bisa memandang bahwa realitas itu
menyakitkan, namun penyembuhannya akan membawa ke kesuksesan. Kegagalan
seharusnya tidak menjadi sesuatu yang kita ratapi, namun jalan bagi kita
untuk juga memahami di mana letak kekuatan kita, serta bagaimana
kegagalan bisa menjadi momentum untuk membawa perbaikan.
Dalam
suatu masyarakat, di mana keragaman individu tidak mudah dikontrol, kita
memang perlu pemimpin yang mencontohkan sikap belajar dari kegagalan,
bahkan membawa kegagalan sebagai sarana untuk mengembangkan "trust".
Kita bisa belajar dari pemimpin negara Jepang dan Cina ketika
menghadapi bencana. Rakyat langsung mempunyai respek tinggi terhadapi
cara pimpinan menghadapi krisis. Saat menghadapi wawancara, kegagalan
yang pernah kita alami pun sebetulnya tidak melulu harus disembunyikan.
Bila kita bisa membahas bagaimana sikap dan “action” kita untuk "bouncing back", hal ini malah bisa menjadi nilai tambah kita.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas.com
Informasi Laptop, Komputer, Virus, Jual-Beli Bekas, click here!