Sekali waktu di tahun 2001, Rusdi (38) didera persoalan kesulitan keuangan. Anak pertamanya lahir tidak normal. Calon bayinya terlilit tali pusar hingga kekurangan oksigen. Anaknya lahir dengan selamat.
Namun kebahagiaan itu langsung sirna ketika dokter mengatakan bahwa bayinya perlu dirawat di rumah sakit, paling tidak selama 9 hari. Biayanya sekitar Rp 4 juta. Tidak sampai di situ saja, setelah keluar dari rumah sakit, Rusdi minimal harus mengeluarkan dana Rp 500 ribu per bulan untuk biaya perawatannya.
Rusdi panik. Dia hanya pegawai biasa di sebuah perusahan pengadaan barang dan peralatan kantor dengan gaji Rp 500 per bulan. Rusdi mengutang sana-sini. Uang Rp 4 juta akhirnya terkumpul, tapi setelah anaknya keluar dari rumah sakit, bebannya semakin berat. Dia harus mencicil utang dan biaya perawatan lanjutan. Cincin pernikahannya pun terpaksa dijual.
Kenangan tahun 2001 itu menginspirasi Rusdi. Dia merasa, dirinya tak mungkin sanggup melunasi utang kalau masih jadi karyawan kantoran. "Dari situ saya berniat membangun usaha sendiri," ujarnya.
Rusdi mengundurkan diri dari kantor. Dia belajar membuat kue brownies kering yang bisa tahan sepekan. Rusmiati (38) sang istri yang mengajarkannya. Rusdi menyewa semua perabotan pembuatan cokelat manis itu dari temannya. Modal pun seadanya.
"Begitu kue jadi, pertama kali saya tawarkan ke teman kantor. Harganya Rp 500 per biji. Ternyata mereka bilang enak. Saya mikir, berarti tetangga di rumah juga pasti bilang enak," ucapnya penuh percaya diri. Dugaan Rusdi meleset. Para tetangga yang beberapa kali mencicipi mengaku kurang menikmati kuenya. Sebab dari hari ke hari rasanya berubah-ubah. Kadang terlalu manis, kadang kurang manis. Rusdi dan Rusmiati tak putus asa. Setahun kemudian, barulah kerja keras mereka membuahkan hasil.
Di awal produksi, dalam sehari Rusdi membuat 100 kue brownies dibantu seorang karyawan. Rusdi dan istrinya turun langsung untuk memasarkan. Lambat laun, seiring meningkatnya permintaan pasar, Rusdi meningkatkan produksinya. Jumlah karyawan dan sales-nya ikut meningkat. Pria lulusan SMA itu malah berani menerapkan sistem cash and carry. "Maklum, modalnya terbatas," Rusdi beralasan.
Diakui Rusdi, untuk mengembangkan usahanya diperlukan modal besar. Beruntung, saat dia menghadapi permodalan, Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa hadir dengan program pemberdayaan ekonomi. "Usaha saya yang mulai kembang kempis jadi bangkit lagi," ujarnya.
Dari keuntungan usahanya-Jilan Cake--Rusdi sudah bisa melunasi utangnya. Peralatan sewa yang dipinjam sudah dikembalikan. Dia telah sanggup membeli peralatan sendiri, antara lain 1 mixer mesin, 2 pemanggang, puluhan loyang, dan ratusan toples.
Sekarang Rusdi mampu memproduksi 3.500 brownies per hari. Keuntungan bersih Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu per hari. Jumlah karyawan 11 orang; 6 bagian produksi dan 5 sales. "Ketiga anak saya; Nadia, Firdaus, dan Jilan, juga dapat bersekolah. Kalau saya masih jadi karyawan, belum tentu bisa seperti ini," ucap pria yang tinggal di Warakas IV Gang 6 RT 09/08, Jakarta Utara.
sumber: http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/10/05/21/116580-jalan-berliku-keluarga-kurang-mampu-melepas-jerat-utang