Masihkah Tersisa Identitasmu Di Tengah Kehidupan Modern ?

Selama bertahun-tahun hingga masa-masa kuliah, saya sempat dibanjiri oleh bisikan keberadaan saya yang seolah tidak ada gunanya sehingga yang bisa saya lakukan hanya berulang kali mengingat firman Allah : Robbanaa maa kholaqta haa dza baatila, “ Tuhanku sungguh tidak Kau ciptakan ini semua dengan sia-sia”, Subhanaka faqinaa adzabannar “Maha suci Engkau maka lindungilah kami dari siksa api neraka”.

Kehidupan modern seringkali membawa manusia-manusia di dalamnya ke dalam sebuah arus besar, tuntutan gaya hidup, yang jika tidak disadari akan membawa kita larut serta dalam suatu tatanan norma yang seolah-olah menjadi bagian dari hidup yang tidak dapat dihindari. Misalnya jika sebagian besar orang di kantor mulai membawa Blackberry, maka kita tanpa pikir panjang lagi juga merasa perlu membawa BB juga. 

 
Dalam arus yang begitu besar ini, masyarakat cenderung menentukan tolak ukur keberhasilan kehidupan seseorang berdasarkan kriteria material yang kasat mata, sesuatu yang eksternal, yang dapat dipegang, dilihat, meskipun tidak akan lama umurnya ketika dinikmati.

Di saat kita sedang sibuk mengidentikkan diri dengan kesuksesan berdasarkan tolak ukur eksternal (sesuatu di luar diri kita), kita justru lupa melihat ke ‘dalam’ dan menegaskan identitas kita yang sebenarnya. krisis identitas merupakan salah satu dampak dari kehidupan modern dengan tolak ukur keberhasilannya. Kita seringkali menjadi sibuk melihat orang lain dan berharap orang lain tersebut adalah diri kita.

Begitu banyak dari kita yang bahkan tidak pernah tahu apa yang sebenarnya kita inginkan dalam hidup ini. kita hanya menjalani hidup setengah-setengah karena kita tidak pernah benar-benar menemukan peran kita dalam hidup ini. Saya yakin kebahagiaan berjalan seiring dengan pemahaman kita atas diri kita sendiri, pemenuhan panggilan hidup dan aktualisasi diri pada jalannya. Semua itu yang akan mengantarkan seseorang menemukan kebermaknaan hidupnya. Tidakkah di akhir hidup kita, kita ingin menghembuskan nafas terakhir dalam senyuman karena menyadari bahwa tugas kita dalam kehidupan ini telah terpenuhi dengan baik ? Itulah kenapa saya seringkali memfokuskan pembicaraan saya pada proses penemuan diri. Karena saya percaya identitas diri merupakan fondasi yang akan menjadi pijakan kita dalam membangun kehidupan yang penuh berkah dan akhir yang membahagiakan.

Beberapa orang bijak sepakat bahwa sebagian besar orang meninggal pada usia 20 dan dikuburkan pada usia 80 tahun. Hal ini merupakan cerminan dari kegagalan pribadi menemukan identitas dan panggilan hidupnya. Berapa banyak orang yang mengeluh dengan pekerjaan yang harus mereka jalani, namun mereka tetap saja terjebak di dalamnya selama 8 jam per hari dan minimal lima hari dalam seminggu. Manakala kita tidak pernah berusaha bersungguh-sungguh menemukan tugas kita, maka kita hanya hidup dengan menjalankan tugas orang lain. Kita tidak pernah benar-benar hidup, namun hanya sekedar menjalaninya. Akibatnya hidup kita menjadi tidak efektif. Kita bekerja keras, merasa kelelahan dan tidak bahagia. Kita merasa menjadi korban dari kehidupan tanpa pernah menyadari bahwa kita memiliki kekuatan untuk ikut memahat takdir kita sendiri. Mengabaikan kebenaran ini berarti kita memang menge-set diri kita untuk menjadi korban dari kehidupan. Kadang-kadang, mereka yang mengetahui bahwa diri mereka dekat dengan ajal justru mengetahui bagaimana caranya hidup. Menurut Alvah Simon, Kematian hanyalah salah satu cara untuk kehilangan hidup Anda.

Ingat, bahwa ketika saya berbicara tentang kehidupan yang sesuai dengan panggilan kita, itu tidak selalu berarti menjadi orang kaya. Anda kaya saat ini belum tentu Anda sedang menjalani panggilan hidup Anda. Namun yang jelas, salah satu ciri hidup yang dijalani sesuai panggilannya akan berkelimpahan dengan kebahagiaan. Kebahagiaan yang selalu kita cari selama ini. Dan memang ketika kita penuh kebahagiaan, totalitas, dan gairah dalam menjalani hidup biasanya kita akan memancarkan dan menarik banyak energi positif dari sekeliling kita, sehingga jalan rezeki pun inysaAllah menjadi lebih mudah.
Alam semesta tak kunjung henti mengirimkan sinyal-sinyal yang menjadi pertanda kemana hidup kita seharusnya dibawa. Kita yang pada akhirnya memilih hendak memperhatikan pesan tersebut atau mengabaikannya begitu saja. Yang jelas, setiap keputusan yang kita ambil di masa lalu berkaitan dengan pertanda yang dikirmkan semesta kepada kita, yang pada akhirnya menentukan dimana diri kita berdiri, bersama siapa, dan apa yang sedang kita lakukan saat ini.

Pesan-pesan semesta dapat diibaratkan bintang di langit, yang tetap ada meskipun kita tidak mampu melihatnya karena tersilaukan oleh cahaya matahari di siang hari, dan di malam hari kita pun tidak akan menyadari kehadirannya jika kita tidak menyengaja mendongakkan kepala kita ke atas. Kebahagiaan saat melakukan pekerjaan tertentu, waktu yang menghilang ketika melakukan sesuatu, kemudahan dalam menyelesaikaannya, kelancaran dalam menerangkan sebuah fenomena, dan kreativitas yang muncul di luar jangkauan merupakan beberapa bentuk pertanda mengenai identitas diri dan apa tugas kita dalam hidup ini.
Ketika kita memilih untuk memperhatikan pertanda-pertanda yang dikirimkan kepada kita atau mengabaikannya, sebenarnya hidup kitalah yang menjadi taruhannya. Terkadang kita mengabaikan pertanda yang dikirimkan kepada kita karena terpengaruh oleh pikiran dan emosi.

Buah pikiran dan emosi seringkali merupakan hasil bentukan dari pengalaman eksternal yang kita alami. Seseorang yang terbiasa hidup di kota yang begitu dinamis, dengan masyarakat yang sebagian besar meletakkan tolak ukur keberhasilan pada materi yang tampak, bisa jadi akan memilih mengabaikan potensi spiritualitas di dalam dirinya dan memilih jalan hidup yang menurutnya lebih praktis serta mencerminkan nilai-nilai keberhasilan yang dianut oleh masyarakat di sekitarnya.

Kita bisa tetap menjalani hidup di kota besar, di tengah terjangan arus hedonisme, ide ,dan gaya hidup yang berkembang, bahkan tidak salah pula jika kita menjalani life style nya, hanya saja jalanilah semuanya dalam ‘kondisi sadar’. Jangan hanya sekedar terbawa oleh arus, tapi tetaplah ‘sadar’. Sadar berarti kita tahu mengapa kita memilih melakukan hal tersebut dan kita dapat pula keluar dari arus sewaktu-waktu kapanpun kita menginginkannya. Sadar berarti kita dapat hidup bersama banyak orang tanpa kehilangan identitas diri kita.
Semoga bermanfaat ^_^

ditulis oleh: Tyo
sumber: http://wahyubramastyo.blogdetik.com/2010/08/03/masihkah-tersisa-identitasmu-di-tengah-kehidupan-modern/