Apakah Anda atau si Dia Termasuk Egois?

ANDA tahu apa yang Anda inginkan dan bagaimana mendapatkannya. Tapi dalam cinta, keinginan Anda tak bisa sepenuhnya terpenuhi. Kompromi menjadi kunci kelanggengan hubungan.

Wanita masa kini lebih tegas dalam hubungan asmara mereka, bukan pribadi yang nrimo tanpa diberi penjelasan. Mereka memandang, dalam kemitraan sehat dibutuhkan kontribusi seimbang antara dirinya dan pasangan.
Sayangnya, mind set tersebut kadang menimbulkan pemikiran perhitungan akuntasi; satu untuk aku satu untuk kamu, yang pada akhirnya menimbulkan kebencian dan keruntuhan hubungan.

"Sikap mementingkan ‘aku’ bukanlah sikap yang akan membuat masing-masing pihak jadi pemenang permainan (hubungan)," kata psikolog Jane Greer, sekaligus penulis What About Me? Stop Selfishness from Ruining Your Relationship. "Ini sedikit bukti dari keegoisan, yang bisa terjadi pada masing-masing pihak. Dan, tidak akan ada yang bisa lebih cepat merusak hubungan selain sikap egois.”

Greer menegaskan pentingnya menjaga nilai dan mulai mencari cara untuk berkompromi. Berikut, pemaparannya soal sinyal merah sikap egois bagi hubungan, seperti diulas Marie Claire.

Mengapa sikap egois bisa meruntuhkan pondasi hubungan?

Setiap orang berpikir bahwa mereka benar, dan mereka bersikeras untuk mempertahankan nilai diri sekaligus memastikan terpenuhinya kebutuhan. Jadi, ketika seseorang memasuki hubungan, interaksi semacam ini sering diartikan sebagai sikap agresif dan oposisi (perlawanan).

Dinamika ini telah menjadi semakin intens karena kondisi budaya yang semakin bergeser (modern) di mana setiap orang ingin kebutuhan dan kepuasannya terpenuhi secara instan. Setiap orang sepertinya telah menjadi emosional.

Namun, bagaimana bisa terpenuhi kebutuhan diri tanpa kedua pihak merasa seolah-olah mereka kehilangan kompromi diri?

Mulailah dengan tidak menyetir perilaku dan kepribadian pasangan. Sikap demikian mengundang kecemasan dan kegelisahannya. Lakukan kompromi. Kerelaan untuk mencoba menyenangkan pasangan menjadi kunci kelanggengan hubungan.

Bagaimana jika hanya satu pihak yang bersedia mencoba untuk menyenangkan sedangkan pihak lain sebaliknya?

Pada kebanyakan hubungan, selalu ada satu orang yang sedikit lebih dominan daripada yang lain. Tidak ada dua orang yang menjadi dominan pada waktu yang sama. Tentu sulit, Anda takut bahwa jika Anda menegaskan diri, pasangan akan marah. Tetapi, jika Anda tidak bersikap tegas, Anda akan sengsara dan terjebak.

Intinya, Anda harus saling bicara soal kebenaran dan bernegosiasi. Tujuannya adalah menemukan jalan tengah, untuk menyenangkan pasangan, dan pada gilirannya, Anda juga merasa senang. Mendominasi lebih kepada mengawali ajakan untuk saling bicara, bukan memaksakan keinginan diri.

Jika sikap egois merusak hubungan, haruskah satu pihak yang sangat egois mengurangi keegoisannya sedangkan pihak lain yang kurang egois meningkatkan keegoisannya?

Anda berdua ingin mengembangkan hubungan di mana masing-masing memiliki hak untuk mendapatkan keinginan dan menyayangi tanpa merasa bersalah atau menilai diri buruk. Hal tersebutlah yang akan segera memancing kembali sikap egois masing-masing.

Bagaimana jika kita termasuk yang dominan? Bagaimana jika kita menjadi egois karena sudah mendapatkan keinginan?

Hampir setiap orang egois berpikir bahwa orang lain egois karena mereka tidak memberikan apa yang ia butuhkan. Namun, tujuan saya bukan untuk menunjukkan seberapa egoisnya Anda. Saya ingin menunjukkan kepada Anda bagaimana pasangan merasa tidak bahagia akibat sikap egois Anda.

Jika tujuan Anda adalah untuk menyenangkan pasangan, maka Anda akan harus mengubah sikap tersebut. Biasanya, akan ada motivasi untuk menegosiasikan kembali nilai diri karena tidak menyenangkan untuk berada dalam hubungan yang menyengsarakan perasaan.
Sumber

Temukan Kebahagiaan Sejati DISINI