Semakin majunya pendidikan perempuan di Indonesia menyebabkan meningkatnya jumlah dan kualitas kaum pekerja perempuan. Bahkan tidak sedikit perempuan yang memiliki karir melampaui karir pria dan berada pada jajaran manajemen level atas.
Ada anggapan bahwa perempuan yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri menyebabkan mereka tidak lagi bergantung pada pasangannya (jika mereka sudah menikah). Ada juga anggapan lain, bahwa karena antara suami istri masing-masing memiliki penghasilan sendiri, pengelolaan uang tidak lagi dilakukan oleh perempuan atau istri, melainkan oleh masing-masing.
Apakah meningkatnya peran perempuan pada dunia kerja di luar rumah menjadikan mereka sangat setara, sehingga peran sebagai pengelola keuangan keluarga tidak lagi ada di tangannya? Pertanyaan ini tentu tidak ditujukan pada perempuan lajang pekerja yang pasti mengelola keuangannya sendiri. Bagi yang sudah menikah ternyata sebagian masih mengatur keuangan sendiri-sendiri, dan sebagian lagi mengambil peran sebagai menteri keuangan keluarga. Bahkan di kalangan perempuan pekerja yang menikah ada satu ungkapan ‘uangmu uangku, uangku ya uangku sendiri’. Ungkapan ini tidak bermaksud mengatakan perempuan itu materialistis, tetapi seakan mempertegas posisi perempuan bahwa otoritas keuangan keluarga itu ada di tangan perempuan.
Hasil riset yang dilakukan terhadap 1.300 perempuan dari rentang kelas sosial ekonomi A hingga D menunjukan bahwa mayoritas (84,2 persen) perempuan mengelola penghasilan suami atau pasangan. Alasan yang dikemukakan antara lain adalah untuk mengatur pengeluaran keluarga, dan karena keuangan keluarga memang seharusnya dikelola oleh perempuan. Ini membuktikan, di kalangan perempuan keyakinan bahwa keuangan keluarga memang seharusnya dipegang oleh perempuan masih kuat.
Peran domestik perempuan sebagai pengelola keuangan keluarga tampaknya belum mengalami banyak pergeseran. Perubahan hanya terjadi pada penambahan fungsi saja, yaitu dari ‘pemegang’ keuangan menjadi ‘pengelola’ keuangan. Fungsi kontrol perempuan terhadap keluarga juga tampak melalui alasan respondenperempuan ini, bahwa dengan memegang penghasilan pasangan maka mereka akan punya sedikit kendali terhadap pasangannya. Dengan demikian harapan mereka ini bisa meminimalkan kondisi-kondisi yang dapat membuat hubungan antar suami-istri tidak nyaman.
Persoalan kendali ini tidak hanya monopoli perempuan pekerja. Pada perempuan yang menyandang status ibu rumah tangga, kendali terhadap keuangan keluarga ternyata juga merefleksikan kendali mereka terhadap pasangan. “Pengeluaran suami lebih terkontrol dan diketahui kemana perginya ‘uang jajan’ mereka,” demikian ungkap seorang responden ibu rumah tangga.
Tampaknya persoalan kendali keuangan rumah tangga ini tidak banyak mengalami perubahan pada sebagian besar perempuan di Indonesia. Meski demikian ada juga perempuan yang tidak mengelola keuangan pasangan karena anggapan bahwa ini harus diatur bersama. Bahkan ada responden yang mengaku tidak bisa mengatur keuangan sehingga malah memilih untuk tidak menggunakan “hak istimewa perempuan” ini.
Mayoritas sebagai penguasa keuangan keluarga dan keuangan pasangan, apakah lalu perempuan menjadi target utama untuk dibujuk melakukan pembelian dengan kuantitas yang lebih banyak? Hasil riset menunjukkan ternyata tidak semudah itu membuat perempuan berbelanja. Mayoritas responden mengatakan, faktor kebutuhan dan harga di samping kualitas adalah pertimbangan utama mereka dalam membelanjakan isi dompetnya.
Karena itu, para pemilik merek yang jeli terhadap selera dan kebutuhan perempuan di satu sisi dan daya beli di sisi lain, tidak hanya merayu lewat kemasan dan janji yang membujuk, tetapi memberikan bukti bahwa kualitas yang diberikan memang betul-betul bisa dipercaya oleh para perempuan.
Perempuan, terutama jika sudah menikah, membeli tidak lagi untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk anggota keluarganya. Karena itu kuantitas pembeliannya akan meningkat. Persetujuan pasangan bisa saja menjadi panduan bagi perempuan untuk membeli. Namun biasanya jika sudah berada di tangan perempuan keputusan tidak dapat diganggu-gugat. Maka dari itu, jangan pernah abaikan peran perempuan sebagai menteri ekonomi keluarga. Karena “surga di telapak kaki ibu, gaji ayah di dompet ibu juga“.
-------------------
Oleh Hermawan Kartajaya (Founder & CEO, MarkPlus, Inc)
Bersama Putu Ikawaisa Mahatrisni (Senior Research Executive, MarkPlus Insight)
Artikel ini ditulis berdasarkan analisa hasil riset sindikasi terhadap hampir 1300 responden perempuan di 8 kota besar di Indonesia, SES A-D, Usia 16-50 tahun, yang dilakukan bulan Mei - Juni 2010 oleh MarkPlus Insight berkerjasama dengan Komunitas Marketeers.
Tulisan 19 dari 100 dalam rangka MarkPlus Conference 2011 “Grow With the Next Marketing” Jakarta, 16 Desember 2010, yang juga didukung oleh Kompas.com dan www.the-marketeers.com
Sumber
Temukan Kebahagiaan Sejati DISINI