Mementum Transformasi di Awal Tahun

Kita saat ini berada di penghujung pergantian tahun 1431 Hijriyah dan memasuki Tahun Baru 1432 Hijriyah. Sebagaimana diketahui umat Islam menghitung permulaan tahun kalender internasional dari peristiwa sejarah yang memiliki nilai penting sebagai tolok ukur kebangkitan umat hingga akhir zaman. Peristiwa bersejarah itu ialah hijrah yang dilakukan Rasululah SAW bersama para sahabat dari Mekkah ke Yastrib (Madinah).

Perlu dipahami bahwa hijrah Rasulullah dan para sahabat ke Madinah pada waktu itu sama sekali bukan karena keinginan untuk sengaja meninggalkan tanah airnya, akan tetapi karena perintah dari Allah SWT sebagai bagian dari strategi dakwah dan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan ajaran-Nya. Setelah hijrah terbentuklah masyarakat Madinah yang penuh dengan kedamaian, ketenangan, persamaan, kesejahteraan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Peristiwa hijrah yang monumental telah berlangsung 14 abad yang lampau dan tidak akan terulang lagi. Namun hikmah dan nilai-nilainya tetap abadi sampai sekarang dan hingga akhir zaman. Hikmah terpenting dari momentum Tahun Baru Hijriyah, ialah memperbarui tekad, semangat dan upaya untuk melakukan perbaikan dan peningkatan dalam berbagai bidang kehidupan.

Perintah untuk melakukan hijrah dalam arti berpindah secara fisik demi untuk menyelamatkan masa depan Islam yang sedang terancam sudah tidak ada lagi setelah pembebasan kota suci Mekkah. Tetapi hijrah dalam pengertian maknawi, seperti hijrah dari sifat malas dan putus asa kepada ketekunan berusaha, hijrah dari perilaku curang dan korup kepada perilaku adil dan jujur, hijrah dari kemaksiatan kepada ketakwaan, serta hijrah dari perangkap kemiskinan yang mendekatkan kepada kekufuran menuju kehidupan yang layak dan bermartabat, tetap relevan sepanjang masa. Berbagai peristiwa dan kondisi memprihatinkan yang bagai benang kusut terjadi dalam kehidupan bangsa kita pada saat ini, hanya dapat diatasi dengan mengimplementasikan ajaran dan nilai-nilai hijrah.


Ketika Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah, masih ada sejumlah sahabat yang tetap bertahan di Makkah. Mereka tak mau meninggalkan Makkah dengan berbagai alasan. Namun, selama bertahan di Makkah, umumnya mereka merasa tertindas sehingga diliputi rasa duka.

Alquran melukiskan mereka sebagai orang-orang yang menganiaya diri sendiri. Ketika mereka wafat dalam kondisi luka karena teraniaya, Malaikat pun bertanya, “Bagaimana keadaan kalian menjadi seperti ini?''  “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri Makkah,” jawab mereka. Alquran kemudian merekam peringatan Malaikat berikutnya, “Bukankah bumi Allah itu luas, maka berhijrahlah di bumi itu?” (QS Annisa [4]: 97).

Secara historis, ayat tersebut di atas termasuk kategori ayat Madaniyah. Pesan Alquran ini turun kira-kira setelah tatanan masyarakat Madinah tertata rapi, tumbuh penuh harmoni dalam nuansa multikultural sebagai wujud perpaduan kebudayaan antara Anshar dan Muhajirin.

Melalui firman-Nya ini, Allah seakan-akan tengah mengamini tindakan Rasulullah dalam berhijrah, meskipun sempat beberapa kali gagal. Hijrah memang tidak sederhana. Ia tidak hanya melibatkan tindakan fisik, tetapi juga menggambarkan kekuatan psikologis yang mendasari ketulusan berikhtiar untuk mewujudkan kehendak Allah.

Hijrah dilakukan bukan semata-mata untuk memperoleh kesenangan duniawi ataupun kesejahteraan material, melainkan juga kesempurnaan pengabdian untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang lebih mampu menjamin tegaknya hak-hak individu.

Oleh karena itu, hijrah menjadi solusi manusiawi sebagai wujud pengakuan atas segala keterbatasan manusia dalam memperoleh semua haknya sekaligus pernyataan sikap teologis untuk membuktikan segala Kemahamurahan Allah bagi manusia. Bahkan, Allah sendiri menegur dengan tegas orang-orang yang memaksakan kehendaknya untuk tetap bertahan dalam ketidakberdayaan, memaksakan bertahan dalam ketidaknyamanan ataupun ketidaksejahteraan.

Dalam situasi Indonesia yang tengah diliputi berbagai duka saat ini, kita tidak bisa tetap “menikmati” penderitaan hanya karena alasan sabar dan tawakal. Kita juga tidak bisa terus-menerus membiarkan ketidakadilan melilit kehidupan. Saatnya kita berhijrah untuk melakukan perubahan sekaligus mengingatkan siapa pun yang dipandang menjadi sumber kesemrawutan.

Berhijrahlah dengan meminta semua pihak tulus mengakui kekhilafan, mencairkan egoisme politik yang hanya akan menyengsarakan kehidupan, dan membangun komitmen kebangsaan yang lebih jujur serta demokratis dengan melepaskan kepentingan pribadi ataupun golongan.

Alquran mengingatkan, Allah membenci orang-orang yang membiarkan diri bertahan di tengah kesemrawutan sosial, politik, dan ekonomi. “Kecuali mereka, baik laki-laki, perempuan, maunpun anak-anak, yang tertindas karena tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk berhijrah.” (QS Annisa [4]: 98).

Karena itulah pesan hijrah bernilai abadi karena setiap Muslim dituntut untuk mengupayakan kehidupan diri dan masyarakat di sekitarnya menjadi lebih baik dalam pergantian hari dan tahun. Sabda Rasulullah SAW menyatakan, `'Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.'' Dalam Alquran diungkapkan keterkaitan antara hijrah dengan turunnya rahmat Allah.

Firman Allah SWT dalam Alquran, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman,orang-orang yang berhijrah, dan berjuang di jalan Allah, merekalah (orang-orang yang) mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al Baqarah [2]: 218) Sudah menjadi sunnatullah bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka sendiri tidak berusaha mengubah dirinya.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (ar-Ra'd [13]:11) Oleh karena itu, menyambut pergantian tahun Hijriyah perlu disertai dengan kesadaran yang kuat untuk melakukan upaya-upaya konkret dalam membangun kualitas umat dalam berbagai bidang, termasuk upaya menanggulangi kemiskinan. Esensi hijrah adalah perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan positif, menyingkirkan segala keburukan dan kerusakan serta menghadirkan kemaslahatan dalam kehidupan umat dan bangsa. 
Sumber: http://www.republika.co.id/
Blog MAKE MONEY, click here please!