Waspadalah Bahaya Nikmat Istidraj dg 5 Tahapannya

"Maka tatkala mereka melupakan (mengabaikan) peringatan (agama) yang disampaikan kepada mereka, Kami (Allah) bukakan segala pintu untuk mereka, sampai mereka gembira dengan apa yang diberi itu, baru Kami melakukan siksaan kepada mereka dengan sekonyong-konyong, maka saat itu mereka berputus asa (panik)." (QS. Al-An'am VI: 44).

Menurut Imam Ahmad (Hambali), dalam suatu hadist yang berasal dari Uqbah bin Amir, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya:
"Apabila engkau melihat seorang hamba diberi Allah apa yang diingininya dari dunia ini, pada saat ia selalu mendurhakaiNya, maka sesungguhnya yang demikian itu adalah istidraj."


Kemudian Nabi Muhammad SAW membacakan ayat (Al-An'am 44) itu.
Dalam hadist ini jelas sekali bahwa seorang hamba (manusia) yang dibukakan Allah pintu dunia padanya dalam berbagai bentuk dan keadaan, sedang dia selalu bersikap durhaka kepada Allah, berupa tidak mengindahkan syariat Allah, tidak mengerjakan perintah dan tidak menjauhi larangan, maka orang itu berada dalam istidraj dan dia akan menghadapi 5 fase dalam hidupnya menurut kandungan ayat 44 surat Al-An'am itu.
Oleh karena dalam kehidupan modern ini banyak sekali hal itu terjadi maka baiklah kita gali dan selidiki masalah ini untuk menjadi pegangan hidup dan semoga kita terjauh dari bahayanya.

Apakah istidraj itu?
Perkataan istidraj itu ditemukan dalam Al-Quran yaitu tepatnya dalam surat Al-A'raf ayat 182 yang artinya:
"Mereka yang tidak membenarkan ayat-ayat Kami, nanti Kami lakukan istidraj terhadap mereka dari pihak yang mereka tidak mengetahui." (QS. Al-A'raf VII: 182).
Perkataan istidraj itu menjadi pembahasan mendalam oleh para ulama tauhid, tafsir, tashauf dan sebagainya sehingga menimbulkan berbagai ta'rif dan definisi.
Istidraj itu ialah seseorang yang diperkenankan Allah keperluannya dari waktu ke waktu sampai akhir hayatnya untuk nanti digali dengan bala dan azab di dunia. Seorang yang jauh dari rahmat Allah dan dekat dengan azab secara berangsur-angsur, atau sedikit demi sedikit. Demikian yang dikemukakan Al-Jurjani dari berbagai pendapat.
Raghib Ashfahani ahli bahasa Al-Quran dalam membahas kata dalam ayat itu mengemukakan beberapa pendapat orang pula, dalam bentuk: Kami (Allah) akan lipat mereka sebagai halnya melipat kitab. Pun Kami akan siksa mereka setingkat demi setingkat, demikian berupa merendahkan mereka dalam sesuatu sedikit demi sedikit, bagaikan tangga dalam naik dan turun.
Ahli tafsir yang terkenal Ibnu Katsir lebih maju lagi dengan menggambarkan bentuk kehidupan orang yang istidraj itu akan berlaku padanya, yaitu Allah bukakan berbagai-bagai pintu rejeki dan berbagai sumber penghidupan (kedudukan, jabatan, kehormatan) sampai mereka terperdaya olehnya dan beranggapan bahwa diri mereka di atas segala-galanya." (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3 hal 258).
Sampai di sini kiranya sudah cukuplah bila dipahami bahwa seorang yang membawakan hidupnya dalam kedurhakaan, terjauh dari taufik dan hidayah Allah, bergelimang dengan maksiat dan munkarat, berani membangkang terhadap syariat Allah, baik dengan ilmu dan sikap hidupnya mentorpedir peraturan-peraturan Allah, maka orang itu berada istidraj.
Allah membiarkan saja dahulu dan membukakan pintu rejeki, kesenangan, kedudukan, kemewahan, dan keangkuhan, lalu mengira bahwa dunia ini berada di tangannya, dapat ia berbuat sesuka hatinya. Ketentuan azab datang dari Allah pada saat mereka sampai taraf gembira ria. Alangkah banyaknya sebagian dari kita yang telah bercermin dan melihat kehidupan insani dalam dunia modern ini yang dihinggapi istidraj, lalu mereka terperdaya benar-benar olehnya. Sungguh mengerikan sekali, kita melihat kejatuhan mereka dari puncak kemegahan, kesenangan dan keangkuhan, dan jatuh dari sesuatu yang menyenangkan lebih pahit dari penderitaan biasa. Namun demikian, masih banyak manusia yang tidak sadar dan insaf, betapa ilustrasi hidup ini sudah demikian jelasnya. Yang menyedihkan pula ialah kalau dari pihak orang yang beriman yang taat ikut terpukau oleh kilauan gemerlap dunia yang dimiliki oleh orang yang terkena istidraj, karena tidak pandai melihat soal dengan bashirah yang tajam.

Lima Fase.
Dalam surat Al-An'am ayat 44 di atas yang disebutkan Rasulullah, jelas ada 5 fase yang akan dihadapi orang yang tidak mengindahkan agama Islam ini sebagai janji Allah yang selalu akan berlaku dan tidak akan berubah-ubah sepanjang zaman.
1. Falamma nasuu, tatkala mereka melupakan peringatan-peringatan agama. Dalam membahas kata nasuu, Raghib Asfahani memperingatkan bahwa melupakan itu timbul ada kalanya disebabkan oleh hati yang lemah, kelalaian dan disengaja (kesengajaan). Dengan ini maka melupakan itu bukan artinya tidak ingat atau tidak sadar, tetapi juga dalam bentuk kesengajaan, mungkin oleh karena dianggap ajaran Islam itu tidak modern, tidak akan membawa kemajuan, dan sebagainya. Dianggapnya memberatkan saja dan mempersempit, seperti berat mengeluarkan zakat, berpuasa, larangan terhadap judi, khamer (minuman keras), zalim, pergaulan bebas muda-mudi, dan sebagainya, dalam bentuk: tidak mengindahkan Islam.
2. Fatahna alaihim abwaba kulli syai', Kami bukakan kepada mereka pintu segala sesuatu, entah pintu curang, khianat, zalim, sombong, ataukah pintu mabuk kemegahan, kecantikan, kekuasaan, dan sebagainya. Allah membukakan, malah membiarkan saja apa yang diperbuat oleh hambanya itu tanpa ada sesuatu teguran ghaib atau sejenisnya. Maka terperdayalah mereka dengan uluran waktu yang demikian dan mengira dunia ini berada di tangan mereka. Kalau sudah demikian, mata dan hati akan tertutup dari melihat Nur Ilahi, cahaya yang hak dan malah akan membencinya dengan sepenuh daya dan kemampuan. Kalau sudah demikian, apa lagi?
3. Hatta idza farihuu bima utuu, sampai mereka gembira mendapatkan apa yang sesuai dengan nafsu dan keinginannya. Apa maunya mereka itu maka Allah akan mengulurkan segala sesuatunya sehingga mereka tambah terperdaya dan hanyut ke hilir, mendekati titik kehancuran dan keruntuhannya. Kegembiraan yang luar biasa itu adalah puncak yang telah dicapainya, tetapi dia merupakan pula pemberitahuan Ilahi akan adanya bahaya yang akan terjadi. Tidaklah gembira sekedar gembira, tetapi gembira yang sangat berbahaya sekali, bahaya yang akan merenggut segala sesuatunya. Apa yang akan terjadi sesudah itu?
4. Akhadznahum baghtatan, Kami akan bertindak (memberi azab) dengan sekonyong-konyong, bukan di akhirat yang masih jauh, tetapi di dunia ini di tengah-tengah mata orang banyak, di atas hamparan kesenangan yang sekian lama memperdayakannya. Baghtatan, datangnya siksaan atau tindakan Allah itu sekonyong-konyong tanpa dapat diduga lebih dahulu. Dan memang orang yang telah mabuk dalam sesuatu tentu tidak akan mengkhayalkan di ruangan matanya akan ada akibat buruk, bencana besar dan bahaya yang dahsyat. Akhirnya, bagaimana?
5. Fa idza hum mublisun, akhirnya mereka dengan direnggutkan dari segala yang ada itu menjadi mublisun, prihatin yang sangat, panik berantakan, melihat gelap masa depannya, putus asa, dan mungkin juga ada sedikit penyesalan. Tetapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, palu godam Ilahi sudah berlaku. Tinggallah mereka menjalani akhir proses istidraj yang licin jalannya itu.
Bukan saja sakit dan perihnya akibat yang ditimpakan Allah, tetapi juga cemooh, sinis, dan ejekan orang banyak, karena dia jatuh di tengah manusia ramai dan disoroti oleh tatapan mata orang banyak. Melihat kepada orang banyak, hanay akan terlihat mereka memalingkan muka. Menengadahkan muka ke langit (pada Allah) dia baru menerima kutukan dan laknat, dengan suara halus, "RASAKAN!"

Kisah masa lalu.
Seorang petani desa jaman dahulu ingin memiliki emas dengan melanggar prinsip syariat Islam, yaitu menjual susu sapi yang dicampur air. Usahanya itu berhasil tanpa mendapat teguran Ilahi sampai ia mengira bahwa kerjanya itu berjalan lancar dan menggembirakan. Maka dengan emas yang didapatnya itu dia menjadi gembira luar biasa, ia sudah sampai pada tahap: farihu bima utu. Dengan emas yang menjadi kegembiraannya itu maka ia pergi berlayar untuk keperluan pribadinya, menumpang kapal yang diatasnya itu banyak penumpang lainnya. Ia menumpang di atas dek kapal sedang didepannya itu ada seekor monyet yang diikat dengan rantai. Kalau orang lagi bangun maka si petani ini pura-pura tidur dan bila orang tidur, ia bangun dengan melihat emas yang didapatnya dari hasil menipu itu. Hal ini selalu diperhatikan monyet itu sehingga pada satu kali si monyet itu tanpa diduga-duga, leapas dari ikatannya dan segera mengambil emas orang itu selagi ia tidur. waktu monyet mengambil emas itu, maka si petani terbangun lalu mengejar si monyet, tetapi monyet itu mempermainkannya, apalagi dia pandai memanjat dan melompat. Orang itu bagaikan gila dibuatnya. Tak lama kemudian monyet itu melemparkan emas itu ke dalam laut, hingga petani itu bagaikan disambar petir, karena emas kesayangannya lenyap. Itulah saat berlaku akhaznahum baghtatan, Allah bertindak lagi, dengan terlepasnya monyet itu tanpa diduga-duga dan petani menjadi mublisun, panik berantakan. Demikianlah kisah ini diceritakan oleh ulama besar Ibnu Qayim.

Kalau sudah demikian adanya maka bagi kita yang telah membiasakan hidup dalam ketaatan akan selalu berpegang teguh pada aturan Allah (dengan penuh tawakal), sesuai dengan janji Allah:
"Dan bahwa jikalau mereka tetap istiqamah dalam hidupnya, niscaya Kami akan menuangi mereka air yang manis (rejeki yang lumayan). (QS. Jin LXXII: 16).
Semoga kita dan keturunan kita dijauhkan Allah dari bahaya istidraj yang kelihatan manis dan menggiurkan pada mulanya, namun pahit pada akhirnya. Apalagi bagi pejuang yang hak, jangan silau mata oleh kemegahan orang lain yang sedang dipermainkan gelombang badai istidraj tersebut. (Sumber)


AYITIBOX INDONESIA 'Kalau Situs Lain Sibuk Menjual, Disini Royal Membeli'