Kisah Malala Yousafzai, Sang Muslimah Pemberani Simbol Kartini Dunia Masa Kini

Di hati jutaan warga dunia dan berita-berita utama media massa internasional, Malala Yousafzai (16) adalah unggulan peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2013.

Gadis yang berani menantang Taliban sejak usia 11 tahun dan terus diancam untuk dibunuh itu telah menjadi tokoh global hak-hak anak perempuan atas pendidikan sekaligus simbol perlawanan terhadap pembodohan, kemiskinan, dan terorisme.


Andai Hadiah Nobel Perdamaian 2013 diberikan kepadanya, ia akan menjadi penerima Hadiah Nobel termuda dari semua kategori penghargaan prestisius itu.

Namun, dalam wawancara dengan Christiane Amanpour dari CNN, Minggu (6/10/2013), Malala mengatakan, terlalu pagi kalau hadiah itu diberikan kepadanya. Ia merasa belum banyak berbuat.

”Masih banyak pihak yang lebih pantas menerimanya,” ujar Malala seperti dikutip kantor berita AFP (9/10/2013).

Malala mengatakan, Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) lebih layak menerima Hadiah Nobel Perdamaian 2013. Melalui akun Twitter atas nama Malala Fund, ia langsung memberikan ucapan selamat kepada OPCW atas ”kerja luar biasa untuk kemanusiaan”. Ia juga mengaku merasa terhormat sudah dinominasikan.

Sejumlah penghargaan

 

Malala Yousafzai (ملاله یوسفزۍ}} Malālah Yūsafzay,  (12 Juli, 1997) lahir dari keluarga bersuku Pusthun dan menganut Islam Sunni. Namanya diambil dari penyair dan pejuang wanita suku Pusthun, Malalai dari Maiwan. Ia dibesarkan di Mingora, bersama dua adik laki-laki dan dua ayam peliharaan. Keberaniannya dalam menulis berkat bimbingan ayahnya yang juga penyair, pemilik sekolah, sekaligus aktivis pendidikan. Ayahnya menjalankan beberapa sekolah yang dinamai Khushal Public School. Meskipun Malala mengaku ingin jadi dokter, Ayahnya mendorongnya untuk menjadi politisi.
Ia mulai berbicara di depan publik untuk memperjuangkan hak atas pendidikan pada tahun 2008. "Berani-beraninya Taliban merampas hak saya atas pendidikan!" adalah seruan pertamanya di depan televisi dan radio

Keputusan Komite Nobel Norwegia yang akhirnya untuk tak memberikan hadiah itu kepada Malala tetap mengecewakan banyak pihak, kecuali Taliban, yang terus berusaha memburu dan membunuh Malala. Juru bicara Taliban, Shahidullah Shahid, memuji komite dan menyatakan keputusan itu sebagai ”berita yang sangat baik” (NBC News, 11/10/2013).

Ketika dukungan kepada Malala sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2013 menguat, pihak Taliban kembali menyebar ancaman terhadap sulung dari tiga bersaudara itu.

”Kalau Malala terus menyebarkan propaganda negatif melawan Taliban dan mengikuti ideologi sekuler, pejuang Taliban akan menanti kesempatan berikut untuk membidiknya,” ujar Shahid.

Namun, Malala kini telah menjadi ”putri milik dunia”, istilah yang diciptakan sang ayah, Ziauddin Yousafzai, saat usia Malala masih dini. Sejak penembakan brutal (9/10/2012) dan pemulihan yang menakjubkan tiga bulan kemudian, Malala telah menerima sejumlah penghargaan perdamaian.

Sebelum menerima Sakharov Prize, penghargaan tertinggi bidang hak asasi manusia dan kebebasan berpikir dari Uni Eropa (10/10/2013), ia menerima Reach All Women (RAW) in War, Anna Politkovskaya Award 2013 (4/10/23013), juga Hadiah Perdamaian Anak Internasional 2013 (9/9/2013). Bulan Mei, The Oklahoma City Memorial & Museum di AS menganugerahkan Reflections of Hope Award 2013 kepada Malala dan ayahnya atas keuletan mereka mendukung hak perempuan atas pendidikan.

Ziauddin pun ditunjuk sebagai penasihat pendidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tanggal lahir Malala, 12 Juli, ditetapkan sebagai Hari Malala oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Namun, Malala yang tampil mengesankan di depan Forum Majelis Kaum Muda di Markas Besar PBB, New York, saat itu, menjelaskan, ”Hari Malala bukanlah hariku. Hari ini adalah milik setiap perempuan, setiap anak laki-laki, dan setiap anak perempuan yang berani menyuarakan hak-hak mereka.”

The Malala Fund didirikan atas nama Malala dan keluarganya, dipersembahkan untuk pendidikan dan pemberdayaan anak perempuan di Pakistan dan di seluruh dunia. Di Lembah Swat, daerah paling konservatif di bagian barat laut Pakistan, 50 persen anak perempuan tidak sekolah. Kata Malala, satu dari 10 anak di dunia yang tidak bersekolah ada di Pakistan.

Terus diancam

Pihak Taliban juga mengancam akan membunuh penjual buku I Am Malala di Pakistan. Dalam buku itu (terbit Oktober 2013), Malala menulis, ”Aku berharap orang di seluruh dunia tahu bahwa banyak anak sulit mendapat akses pada pendidikan. Aku bercerita tentang diriku, yang juga merupakan kisah 61 juta anak di dunia yang tak punya akses pada pendidikan. Aku ingin menjadi bagian dari kampanye hak anak perempuan dan laki-laki untuk bersekolah. Itu adalah hak dasar mereka.”

Malala menjadi sasaran pembunuhan setelah terungkap identitasnya sebagai penulis blog untuk BBC Bahasa Urdu tahun 2009. Ia menulis dengan nama samaran Gul Makai atau Bunga Jagung.

Di blog itu ia menentang seluruh larangan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan serta melakukan advokasi terbuka bagi pendidikan anak perempuan. Kepada CNN tahun 2011 ia menyatakan, ”Aku punya hak atas pendidikan, hak bermain, menyanyi dan menari, pergi ke pasar, aku punya hak bicara dan berpendapat. Aku tak mau masa depanku hanya duduk di ruangan, dikurung empat dinding, memasak dan punya anak. Itu bukan kehidupan yang kuinginkan.”

Taliban membantah telah membidik Malala karena mempromosikan pendidikan bagi anak perempuan. ”Taliban tak menentang pendidikan anak perempuan kalau sesuai syariat Islam,” ujar Shahid.

PBB mencatat, Taliban telah menghancurkan 170 sekolah antara tahun 2007 dan 2009 sejak menguasai distrik di utara Pakistan, yang semula dikenal sebagai wilayah paling kreatif dan bebas. Tahun 2009, Taliban melarang anak perempuan di Lembah Swat bersekolah.


Ancaman nyata

Meski penembakan Malala menebar protes, senator dan pemimpin Partai Islam Jamaah Islamiyah di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, Ibrahim Khan, mengatakan, ”Dia sekarang digunakan Barat untuk memotret citra Pakistan yang kejam dan anti perempuan.”

Namun, bahaya yang mengancam guru dan murid di Pakistan sangat nyata. CNN (18/7/2013) melaporkan, seorang perempuan guru ditembak di depan anak laki-laki ketika ia sedang mengendarai mobilnya ke sekolah perempuan, awal musim panas lalu. Bulan Maret, seorang kepala sekolah dibunuh dan murid-muridnya terluka saat sebuah bom dilempar ke halaman sekolah perempuan di Karachi.

Pada Januari, lima guru dibunuh di dekat kota Swabi di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa. Juni lalu, bom bunuh diri meledakkan satu bus berisi 40 anak perempuan dalam perjalanan menuju kampus di Quetta, menewaskan 14 di antaranya.

Awal 2009, masyarakat dikejutkan oleh video dari Swat yang memperlihatkan Taliban menghukum cambuk seorang gadis 17 tahun atas tuduhan melakukan hubungan tak senonoh dengan laki-laki (The Gazette, 9/10).

”Kalau mereka dapat memburu gadis kecil seperti Malala, Taliban bisa memburu siapa pun,” ujar pemandu acara televisi, Hamid Mir (BBC News Magazine, 7/10/2013).

Dalam wawancara dengan Jon Stewart dalam The Daily Show BBC (10/10/2013), Malala mengatakan, ia sadar, dirinya menjadi target Taliban saat usianya 12 tahun. ”Namun, aku lebih khawatir tentang ayahku,” ujarnya.

Kalau Taliban menyerbu ke rumahnya, ”Aku akan mengatakan tentang pentingnya pendidikan. Aku juga menginginkan pendidikan untuk anak-anak kalian. Itu saja. Sekarang, lakukan yang hendak kalian lakukan.”

Jawaban itu membuat Stewart terpana dan untuk beberapa saat kehilangan kata-kata.... 


Pidato Malala di PBB

Sembilan bulan setelah seorang anggota Taliban menembakkan peluru ke kepalanya ketika sedang berada di bis karena menuntut pendidikan untuk anak perempuan di Lembah Swat di Pakistan, Malala Yousafzai mendapatkan sambutan bergemuruh berkali-kali ketika berbicara di hadapan Majelis Pemuda Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. 

Dia memberi pidato tersebut di hadapan hampir seribu pelajar dari seluruh dunia, dan pidatonya mendapat pujian. Malala Yousafzai mengatakan serangan atas dirinya tidak mengubah semangatnya untuk membela pendidikan bagi anak perempuan. berikut beberapa penggalan pidatonya :

"Mari kita angkat buku dan pena kita, mereka adalah senjata yang terkuat," katanya.
"Satu orang anak, satu orang guru ... bisa mengubah dunia."

Dengan mengenakan jilbab berwarna merah muda dan syal yang dimiliki oleh pemimpin Pakistan yang terbunuh, Benazir Bhutto, Malala mengatakan dia tidak ingin melakukan tindakan balas dendam atas lelaki yang menembaknya.

"Saya ingin pendidikan bagi anak laki-laki dan perempuan para anggota Taliban dan teroris dan ekstremis," katanya.
"Pendidikan adalah satu-satunya solusi.
"Mereka menembak teman-teman saya juga. Mereka kira peluru akan membungkam kita. Tapi mereka gagal dan dari kebungkaman, kini muncul ribuan suara.
"Para teroris berpikir mereka bisa mengubah tujuan dan ambisi saya, tapi tidak ada yang berubah dalam hidup saya kecuali ini: kelemahan, rasa takut dan rasa putus asa telah mati.
"Saya tidak membenci anggota Taliban yang menembak saya. Bahkan kalau ada senjata di tangan saya dan dia ada di hadapan saya sekarang, saya tidak akan menembaknya."

Pendidikan Global

Malala Yousafzai memberikan sebuah petisi yang telah ditanda tangani oleh empat juta orang untuk mendukung 57 juta anak-anak di seluruh dunia yang tidak bisa bersekolah kepada sekjen PBB, Ban Ki-moon.
Petisi tersebut memyerukan pemimpin dunia untuk mendanai guru-guru, buku dan sekolah selain mengakhiri perburuhan anak, pernikahan terlalu muda dan penyelundupan anak.
Ban Ki-moon mengatakan PBB memiliki komitmen untuk memberikan kesempatan bersekolah bagi semua anak-anak pada akhir 2015. 
"Tidak boleh ada lagi guru yang takut untuk mengajar dan anak-anak takut belajar. Bersama, kita akan mengubah ini."

SUMBER