Indonesia terkenal sebagai masyarakat dengan budaya yang konsumtif,
termasuk dalam pemakaian barang-barang elektronik, entah itu gadget,
ponsel, televisi model terbaru, komputer, laptop, dan sebagainya. Setiap
hari, pasti ribuan jenis barang elektronik diproduksi dan diimpor ke
negeri ini.
Tapi pernahkah terbayangkan, bagaimana nasib barang elektronik bekas
yang sudah tak dipakai. Sudah benarkah pengelolaan sampah elektronik
atau electronic waste atau e-waste di Indonesia? Sebab jika salah pengelolaan, e-waste yang banyak mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) akan memberi dampak negatif bagi manusia.
Pengajar Jurusan Teknik Mesin Universitas Janabadra, Yogyakarta,
Mochamad Syarasiro mengatakan, sampah elektronik harus dikelola secara
benar dengan pemisahan komponen yang benar-benar selektif. Alasannya,
ada beberapa zat berbahaya dalam komponen elektronika yang membutuhkan
penanganan secara khusus dan tak bisa dicampur dengan sampah lain.
"Yang pertama plastik, khususnya jenis PVC, karena di dalamnya mengandung unsur klorin yang kita semua tahu bahwa
itu
zat yang cukup berbahaya bagi kesehatan, dan sangat sulit sekali
terurai di dalam tanah, butuh waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk
mengurainya," ujarnya kepada "PR".
Yang kedua, menurut Syamsiro, timbal atau lead. Komponen ini pun sangat berbahaya. Seperti halnya dahulu di dalam bahan bakar bensin mengandung TEL (tetra ethyl lead) untuk menaikkan nilai oktan, di dalamnya terkandung kom-ponen timbal yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
"TV dan layar komputer tipe CRT yang menggunakan tabung itu
mengandung bahan timbal. Sekarang memang sudah beralih ke model LCD,
tetapi persoalan berubah ke kandungan merkuri yang juga berbahaya karena
tipe LCD ini banyak mengandung komponen merkuri. Tak hanya itu, dalam
barang elektronik juga terdapat komponen logam lain yang sangat
berbahaya seperti kadmium, beryllium, ataupun komponen lainnya seperti
BFR (brominated flame retardant-red.)," tutur lelaki yang saat ini
sedang mengambil S-3 di Departemen Enviromental Science and Technology,
Tokyo Institute of Technology.
Kadmium digunakan untuk pelapisan logam, terutama baja, besi, dan
tembaga. Termasuk juga dalam pembuatan baterai dan plastik. Risiko dari
kadmium, jika terisap, bersifat iritatif. Dalam jangka waktu lama
menimbulkan efek keracunan, gangguan pada sistem organ dalam tubuh
manusia dan hewan.
Lalu zat berbahaya lainnya yakni arsenik yang digunakan dalam
industri elektronik, antara lain dalam pembuatan transistor, semi
konduktor, gelas, tekstil, keramik, lem hingga bahan peledak. Arsenik
ini berisiko menimbulkan gangguan metabolisme di dalam tubuh manusia dan
hewan, bisa mengakibatkan keracunan bahkan kematian.
Komponen-komponen tersebut, menu-rut Syamsiro, kalau hanya dibuang ke
tempat pembuangan akhir sampah (TPAS), akan mencemari lingkungan
sekitarnya dan membahayakan manusia. Oleh karena itu, sampah elektronik
ini harus diolah terlebih dahulu sehingga dapat meminimalisasi efek
negatif dari zat-zat beracun dan berbahaya tersebut.
"Bahkan dengan metode recycling atau daur ulang, kita bisa
mendapatkan kembali logam-logam tersebut untuk dibuat komponen baru.
Plastiknya bisa dikonversi menjadi bahan bakar cair setara bensin dan
solar. Kandungan klorin bisa diolah menjadi HCl untuk berbagai keperluan
industri," ungkapnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 yang dilansir
dari laman Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), produksi
elektronik dalam negeri untuk dua jenis barang saja, yakni televisi dan
komputer, jumlahnya cukup mencengangkan. Indonesia mampu memproduksi
televisi sebanyak 12.500.000 kg per tahun dan mengimpor televisi
sebanyak 6.687.082 kg per tahun.
Sementara untuk komputer, Indonesia mampu memproduksi 12.491.899.469
kg per tahun, dengan jumlah impor 35.344.733 kg per tahun. Sementara
itu, menurut data Gabungan Elektronika (Gabel) Indonesia, penjualan
barang elektronik pada Februari 2013 terlihat ada pertumbuhan sebesar 20
persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penjualan pada bulan Februari 2013 ini sebesar Rp2,4 triliun, meningkat
dari Februari tahun 2012 lalu sebesar Rp 2,07 triliun.
Syamsiro mengatakan, untuk mengatasi permasalahan e-waste ini harus
melibatkan semua pihak dan tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah, tapi juga menjadi tanggung jawab produsen, penjual, dan
masyarakat. (Sumber)
SOLUSINYA ?
Saat ini sudah banyak pihak yang bisa diajak bekerja sama untuk mendaur ulang sampah-sampah elektronik rumah tangga, bahkan mereka berani untuk membelinya. salah satunya adalah http://tvrusak-jogja.blogspot.co.id/ dan juga http://beli-laptoprusak-jogja.blogspot.co.id/
Jadi, jika anda memiliki sampah elektronik di rumah anda segera hubungi saja mereka.