Untuk yg Malas Sekolah, Wajib Baca Novel & Nonton Film MARS (Inspirated by True Story)

Bulan Mei di Indonesia identik dengan bulan pendidikan karena di bulan inilah lahir bapak pendidikian Indonesia yg kemudian dijadikan sebagai hari pendidikan nasional yaitu setiap tanggal 2 mei. Berkaitan dengan pendidikan kali ini kami akan membagikan sebuah novel inspiratif tentang pendidikan yg novelnya telah pula di film kan yaitu Novel MARS.

Novel ini menceritakan tentang seorang gadis kecil bernama Sekar Palupi yang tinggal di Dusun Manggarsari, Gunungkidul. Kesehariannya adalah mengembala kambing milik tetangganya bersama temannya, Warjono. Mereka berdua juga sering bermain ke rumah Mbah Atmo, seorang kakek tua yang sudah mereka anggap kakek sendiri. Ibunya, Tupon, sangat ingin Palupi sekolah setinggi mungkin. Tidak seperti dirinya yang buta huruf dan bekerja sebagai penjual tempe keliling dan pemetik daun jati. Tapi, Palupi tidak tahu apa itu sekolah, apa yang dilakukan di sekolah.
            Suatu malam, Palupi dan Tupon melihat langit. Tupon menunjuk sebuah bintang yang bersinar paling terang dengan sinar kemerah-merahan. Bintang yang ditunjuk Tupon adalah Planet Mars, atau ia sebut Lintang Lanthip. Dari Lintang Lanthip itulah Tupon mengajarkan pada Palupi jika ingin pergi ke Mars maka ia harus bersekolah. Sejak saat itu, Palupi selalu melihat Planet Mars setiap senja.
            Tupon berusaha mencari uang agar Palupi bisa bersekolah. Akhirnya setelah sekian lama, uang yang dikumpulkan Tupon cukup untuk menyekolahkan Palupi. Betapa senangnya hati Tuppon bisa melihat putrinya sekolah. Beberapa minggu kemudian, Warjono berubah menjadi bocah yang sangat nakal, ia sering mencuri, merokok, berkelahi, dan bolos sekolah. Akibat kelakuannya, Warjono dikeluarkan dari sekolahnya, ia sering tidur di terminal karena ia kabur dari rumahnya. Tidak ada yang mau berdekatan dengan Warjono kecuali Palupi, karena orang-orang takut anak mereka terbawa kenakalan Warjono.
            Di sekolah, Palupi dikucilkan oleh teman-temannya, ia sering diejek anak jadah (anak yang lahir tanpa bapak yang sah). Padahal bapaknya Palupi meninggal karena tertimbun runtuhan batu saat bekerja di penambangngan batu kapur. Karena sering diejek, Palupi enggan kembali ke sekolah, tapi ia malah pergi ke rumah Mbah Atmo. Saat Palupi ke sekolah, ia langsung dimarahi oleh gurunya. Ketika dikelas, ia langsung diejek Retnowati. Awalnya Palupi tetap bungkam sampai Retno menghina ibunya, ia langsung mengambil pensil dan menghujamkannya ke pelipis Retno karena tidak terima ibunya dihina. Anak-anak menjerit melihat kejadian itu, sehingga mengundang guru untuk datang. Para guru membawa Retno ke UKS dan Palupi dibawa ke ruang guru. Di ruang guru, Palupi mendapat amukan dari para guru. Esoknya, Tupon dipanggil ke sekolah dan Palupi dikeluarkan dari sekolah.
            Tupon tetap menyekolahkan Palupi di SD Muhammadiyah, sekolah swasta miskin yang jaraknya tujuh kilometer dari rumahnya. Sekolah baru Palupi walau fasilitasnya kalah jauh dari sekolah lamanya, tapi Palupi senang karena teman-temannya baik dan tidak mengejeknya.
            Suatu malam, Palupi tidak belajar karena pensilnya hilang. Akhirnya, Tupon keluar rumah menerobos hujan deras untuk membeli pensil di warung. Namun di setiap warung yang ia datangi, stok pensil selalu habis. Usaha Tupon akhirnya berhasil setelah mendatangi warung keempat di dusun sebelah.
            Suatu hari, Warjono ditangkap dan akan dikirim ke kota. Mbah Atmo berusaha menahannya, tapi ia tetap tak bisa, bahkan Palupi menangis ketika Warjono dibawa pergi oleh mobil yang akan membawanya ke kota.
Sebelas tahun kemudian, Palupi dan Tupon pergi ke kota untuk mencari kost karena Palupi akan kuliah, ia mendapat beasiswa kuliah di Jogja. Saat sedang istirahat di masjid, mereka menemukan dompet yang berisi banyak uang. Mereka lalu menghampiri ustad yang ada di masjid itu, lalu mereka bertiga mengembalikan dompet itu yang beruntungnya ada sebuah SIM. Ternyata pemilik dompet itu adalah istri Ali, seorang ustad yang pernah diusir dari Dusun Maggarsari karena dituduh membawa ajaran yang tidak baik. Ali menawarkan agar Palupi tinggal dirumahnya saja.
            Suatu malam, Palupi bersama temannya, Prastiwi selesai berjualan. Prastiwi adalah pedagang angkringan, dan Palupi membantunya hingga pukul dua dini hari. Palupi menolak menginap di rumah Prastiwi karena ia memiliki tugas yang harus ia kerjakan. Saat berjalan di gang yang sepi, ada berandalan yang menahannya, beruntung Palupi di tolong oleh seseorang yang ternyata adalah Warjono.
            Setelah sekian lama berjuang, akhirnya Palupi lulus juga, ia telah menjadi sarjana. Namun, saat Palupi pulang ke Gunungkidul, ternyata Tupon telah meninggal dunia. Palupi sangat sedih. Namun ia juga sangat bangga pada Tupon. Ketika ia ditanya apa yang menginspirasinya, ia pasti menjawab “Ibu”. Berkat Tupon, Palupi bisa di wisuda dan mendapat beasiswa pascasarjana di Oxford University. Ia juga menjadi lulusan terbaik di Oxford University, ia membuktikan bahwa orang berkulit hitam dan memakai kerudung juga bisa sama dengan orang berkulit putih.

            “Dulu, ibuku rela berjalan jauh di malam gelap, di tengah hujan deras, melewati bukit-bukit terjal, demi membelikanku sebatang pensil dan buku tulis agar aku bisa mengerjakan PR yang akan dikumpulkan esok harinya. Ibu tak pernah sedikit pun mengeluh saat bersepeda tujuh kilometer untuk mengantarkanku sekolah. Ibu setiap pagi membuatkanku dadar telur dan nasi liwet yang lezat karena yakin menu itu bisa membuatku bertambah pandai. Dulu, ibuku tak pernah lupa meninggalkan senyum saat mengayuh sepeda jengkinya untuk menjajakan temp eke kampong-kampung atau menjual daun jati yang dipetik di hutan. Di musim kemarau, Ibu mengaku dirinya telah makan agar aku bisa tidur dengan kenyang karena hanya ada sedikit beras yang bisa dimasak. Jika senja, Ibu selalu mengajakku keluar untuk melihat Planet Mars atau disebut olehnya Lintang Lanthip. Jika kalian ingin tahu berapa harga yang pantas untuk seorang ibu, maka harga seorang ibu adalah surga.”

Novel MARS ditulis oleh Aisworo Ang yg mendadak menjadi perbincangan, setelah tersiar kabar di media bahwa karyanya akan diangkat ke layar lebar oleh rumah produksi besar Multi Buana Kreasindo. Film dari novel tersebut rencananya dibintangi para artis tersohor, seperti Kinaryosih, Acha Septriasa dan Jajang C Noor.
Banyak pihak penasaran, siapa sesungguhnya Aishworo yang sebelumnya sama sekali tak dikenal di jagat kepenulisan. Kiprah Aishworo Ang di dunia tulis-menulis novel dalam batas-batas tertentu mirip dengan Andrea Hirata, penulis Laskar Pelangi.
Kusworo atau Aish nama panggilan popupernya, sebelumnya tak pernah menulis cerpen maupun puisi. Ia tiba-tiba menulis tidak saja sebuah novel, melainkan tetralogi (4 novel bersambung) Janji Langit, Janji Langit 2, Janji Langit 3, Janji Langit 4  yang diterbitkan Hikam Pustaka.
Janji Langit mengisahkan perjuangan dua orang dalam mencari Tuhan. Novel Janji Langit dipuji, lantaran dinilai mampu menjadikan filsafat yang identik dengan kerumitan menjadi mudah dipahami, bahkan lucu.
Lelaki sederhana lulusan UMY jurusan Pendidikan Agama Islam ini, selain menjadi seorang penulis, sehari-hari juga sebagai seorang pengajar di SMK Muhammadiyah Tepus Gunungkidul. Sampai kini ia juga masih aktif sebagai tukang loper koran, pekerjaan yang sering kali dianggap remeh oleh mayoritas masyarakat. Ia masih menekuni pekerjaannya meloper koran itu, karena menurutnya merupakan pekerjaan yang menyenangkan.
“Jadi loper koran masih sampai saat ini, sudah 8 tahun. Kenapa masih bertahan sampai sekarang? Ya, karena pekerjaannya singkat, dan bermanfaat. Selain waktunya yang singkat, dengan loper dari jam lima hingga setengah tujuh pagi, saya mendapatkan banyak informasi dari membaca koran-koran  itu” tuturnya.
Setahun berselang, Aish kembali menulis novel dengan judul Mars yang diterbitkan Diva Press. Ia mengaku, untuk proses pembuatan novel Mars ini hanya membutuhkan waktu sekitar 4-5 bulan.  Novel itu menceritakan perjuangan seorang perempuan dusun yang lugu dan buta huruf bernama Tupon dalam menyekolahkan putrinya bernama Sekar Palupi.

Banyak inspirasi dan motivasi dari novel yang saat ini ditayangkan versi Filmnya di bioskop-bioskop Indonesia, untuk anak muda untuk tidak malas belajar/bersekolah dan bagi orang tua untuk tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan pendidikan anak.