Novel ini menceritakan tentang seorang gadis kecil
bernama Sekar Palupi yang tinggal di Dusun Manggarsari, Gunungkidul.
Kesehariannya adalah mengembala kambing milik tetangganya bersama temannya,
Warjono. Mereka berdua juga sering bermain ke rumah Mbah Atmo, seorang kakek
tua yang sudah mereka anggap kakek sendiri. Ibunya, Tupon, sangat ingin Palupi
sekolah setinggi mungkin. Tidak seperti dirinya yang buta huruf dan bekerja
sebagai penjual tempe keliling dan pemetik daun jati. Tapi, Palupi tidak tahu
apa itu sekolah, apa yang dilakukan di sekolah.
Suatu malam, Palupi dan Tupon melihat langit. Tupon
menunjuk sebuah bintang yang bersinar paling terang dengan sinar
kemerah-merahan. Bintang yang ditunjuk Tupon adalah Planet Mars, atau ia sebut
Lintang Lanthip. Dari Lintang Lanthip itulah Tupon mengajarkan pada Palupi jika
ingin pergi ke Mars maka ia harus bersekolah. Sejak saat itu, Palupi selalu melihat
Planet Mars setiap senja.
Tupon berusaha mencari uang agar Palupi bisa bersekolah.
Akhirnya setelah sekian lama, uang yang dikumpulkan Tupon cukup untuk
menyekolahkan Palupi. Betapa senangnya hati Tuppon bisa melihat putrinya
sekolah. Beberapa minggu kemudian, Warjono berubah menjadi bocah yang sangat
nakal, ia sering mencuri, merokok, berkelahi, dan bolos sekolah. Akibat
kelakuannya, Warjono dikeluarkan dari sekolahnya, ia sering tidur di terminal
karena ia kabur dari rumahnya. Tidak ada yang mau berdekatan dengan Warjono
kecuali Palupi, karena orang-orang takut anak mereka terbawa kenakalan Warjono.
Di sekolah, Palupi dikucilkan oleh teman-temannya, ia
sering diejek anak jadah (anak yang lahir tanpa bapak yang sah). Padahal
bapaknya Palupi meninggal karena tertimbun runtuhan batu saat bekerja di
penambangngan batu kapur. Karena sering diejek, Palupi enggan kembali ke
sekolah, tapi ia malah pergi ke rumah Mbah Atmo. Saat Palupi ke sekolah, ia
langsung dimarahi oleh gurunya. Ketika dikelas, ia langsung diejek Retnowati.
Awalnya Palupi tetap bungkam sampai Retno menghina ibunya, ia langsung
mengambil pensil dan menghujamkannya ke pelipis Retno karena tidak terima
ibunya dihina. Anak-anak menjerit melihat kejadian itu, sehingga mengundang
guru untuk datang. Para guru membawa Retno ke UKS dan Palupi dibawa ke ruang
guru. Di ruang guru, Palupi mendapat amukan dari para guru. Esoknya, Tupon
dipanggil ke sekolah dan Palupi dikeluarkan dari sekolah.
Tupon tetap menyekolahkan Palupi di SD Muhammadiyah,
sekolah swasta miskin yang jaraknya tujuh kilometer dari rumahnya. Sekolah baru
Palupi walau fasilitasnya kalah jauh dari sekolah lamanya, tapi Palupi senang
karena teman-temannya baik dan tidak mengejeknya.
Suatu malam, Palupi tidak belajar karena pensilnya hilang.
Akhirnya, Tupon keluar rumah menerobos hujan deras untuk membeli pensil di
warung. Namun di setiap warung yang ia datangi, stok pensil selalu habis. Usaha
Tupon akhirnya berhasil setelah mendatangi warung keempat di dusun sebelah.
Suatu hari, Warjono ditangkap dan akan dikirim ke kota.
Mbah Atmo berusaha menahannya, tapi ia tetap tak bisa, bahkan Palupi menangis
ketika Warjono dibawa pergi oleh mobil yang akan membawanya ke kota.
Sebelas tahun kemudian,
Palupi dan Tupon pergi ke kota untuk mencari kost karena Palupi akan kuliah, ia
mendapat beasiswa kuliah di Jogja. Saat sedang istirahat di masjid, mereka
menemukan dompet yang berisi banyak uang. Mereka lalu menghampiri ustad yang
ada di masjid itu, lalu mereka bertiga mengembalikan dompet itu yang beruntungnya
ada sebuah SIM. Ternyata pemilik dompet itu adalah istri Ali, seorang ustad
yang pernah diusir dari Dusun Maggarsari karena dituduh membawa ajaran yang
tidak baik. Ali menawarkan agar Palupi tinggal dirumahnya saja.
Suatu malam, Palupi bersama temannya, Prastiwi selesai
berjualan. Prastiwi adalah pedagang angkringan, dan Palupi membantunya hingga
pukul dua dini hari. Palupi menolak menginap di rumah Prastiwi karena ia
memiliki tugas yang harus ia kerjakan. Saat berjalan di gang yang sepi, ada berandalan
yang menahannya, beruntung Palupi di tolong oleh seseorang yang ternyata adalah
Warjono.
Setelah sekian lama berjuang, akhirnya Palupi lulus juga,
ia telah menjadi sarjana. Namun, saat Palupi pulang ke Gunungkidul, ternyata
Tupon telah meninggal dunia. Palupi sangat sedih. Namun ia juga sangat bangga
pada Tupon. Ketika ia ditanya apa yang menginspirasinya, ia pasti menjawab
“Ibu”. Berkat Tupon, Palupi bisa di wisuda dan mendapat beasiswa pascasarjana
di Oxford University. Ia juga menjadi lulusan terbaik di Oxford University, ia
membuktikan bahwa orang berkulit hitam dan memakai kerudung juga bisa sama
dengan orang berkulit putih.
“Dulu, ibuku rela berjalan
jauh di malam gelap, di tengah hujan deras, melewati bukit-bukit terjal, demi
membelikanku sebatang pensil dan buku tulis agar aku bisa mengerjakan PR yang
akan dikumpulkan esok harinya. Ibu tak pernah sedikit pun mengeluh saat
bersepeda tujuh kilometer untuk mengantarkanku sekolah. Ibu setiap pagi
membuatkanku dadar telur dan nasi liwet yang lezat karena yakin menu itu bisa
membuatku bertambah pandai. Dulu, ibuku tak pernah lupa meninggalkan senyum
saat mengayuh sepeda jengkinya untuk menjajakan temp eke kampong-kampung atau
menjual daun jati yang dipetik di hutan. Di musim kemarau, Ibu mengaku dirinya
telah makan agar aku bisa tidur dengan kenyang karena hanya ada sedikit beras
yang bisa dimasak. Jika senja, Ibu selalu mengajakku keluar untuk melihat
Planet Mars atau disebut olehnya Lintang Lanthip. Jika kalian ingin tahu berapa
harga yang pantas untuk seorang ibu, maka harga seorang ibu adalah surga.”
Novel MARS ditulis oleh Aisworo Ang yg mendadak menjadi perbincangan, setelah
tersiar kabar di media bahwa karyanya akan diangkat ke layar lebar oleh
rumah produksi besar Multi Buana Kreasindo. Film dari novel tersebut
rencananya dibintangi para artis tersohor, seperti Kinaryosih, Acha
Septriasa dan Jajang C Noor.
Banyak pihak penasaran, siapa
sesungguhnya Aishworo yang sebelumnya sama sekali tak dikenal di jagat
kepenulisan. Kiprah Aishworo Ang di dunia tulis-menulis novel dalam
batas-batas tertentu mirip dengan Andrea Hirata, penulis Laskar Pelangi.Kusworo atau Aish nama panggilan popupernya, sebelumnya tak pernah menulis cerpen maupun puisi. Ia tiba-tiba menulis tidak saja sebuah novel, melainkan tetralogi (4 novel bersambung) Janji Langit, Janji Langit 2, Janji Langit 3, Janji Langit 4 yang diterbitkan Hikam Pustaka.
Janji Langit mengisahkan perjuangan dua orang dalam mencari Tuhan. Novel Janji Langit dipuji, lantaran dinilai mampu menjadikan filsafat yang identik dengan kerumitan menjadi mudah dipahami, bahkan lucu.
Lelaki sederhana lulusan UMY jurusan Pendidikan Agama Islam ini, selain menjadi seorang penulis, sehari-hari juga sebagai seorang pengajar di SMK Muhammadiyah Tepus Gunungkidul. Sampai kini ia juga masih aktif sebagai tukang loper koran, pekerjaan yang sering kali dianggap remeh oleh mayoritas masyarakat. Ia masih menekuni pekerjaannya meloper koran itu, karena menurutnya merupakan pekerjaan yang menyenangkan.
“Jadi loper koran masih sampai saat ini, sudah 8 tahun. Kenapa masih bertahan sampai sekarang? Ya, karena pekerjaannya singkat, dan bermanfaat. Selain waktunya yang singkat, dengan loper dari jam lima hingga setengah tujuh pagi, saya mendapatkan banyak informasi dari membaca koran-koran itu” tuturnya.
Setahun berselang, Aish kembali menulis novel dengan judul Mars yang diterbitkan Diva Press. Ia mengaku, untuk proses pembuatan novel Mars ini hanya membutuhkan waktu sekitar 4-5 bulan. Novel itu menceritakan perjuangan seorang perempuan dusun yang lugu dan buta huruf bernama Tupon dalam menyekolahkan putrinya bernama Sekar Palupi.
Banyak inspirasi dan motivasi dari novel yang saat ini ditayangkan versi Filmnya di bioskop-bioskop Indonesia, untuk anak muda untuk tidak malas belajar/bersekolah dan bagi orang tua untuk tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan pendidikan anak.