Lynn dan Ibunya (Foto: Timesonline)
DIARY KEMATIAN GADIS PENDERITA ME
London, Hampir 17 tahun Lynn Gilderdale menderita penyakit Myalgic Encephalopathy atau ME yang mematikan. Selama itu pula keinginannya untuk bunuh diri selalu muncul. Keinginan Lynn akhirnya terwujud setelah sang ibu rela membantunya mengakhiri hidup.
Sebelum meninggal, Lynn meninggalkan diary atau catatan harian yang sangat mengharukan tentang keputusasaannya mengidap penyakit ME. Namun gara-gara membantu kematian anaknya, ibu Lynn sempat diadili karena kasus percobaan bunuh diri.
Lynn memang sudah meninggal dunia pada Desember 2008, namun catatan harian online yang pernah ia bagikan pada sahabatnya baru muncul baru-baru ini di media.
Berikut ini adalah testimoni dari catatan harian berjudul 'Do Not Resuscitate' atau 'Jangan Bersandar' yang dibuat Lynn, seperti dilansir Timesonline, Kamis (28/1/2010),
"Saya tidak tahu bagaimana harus memulainya. Saya hanya ingin mati dan berharap semua orang mengerti dengan alasan dan keputusan saya. Saya sangat, sangat, sangat ingin mati karena sakit ini sudah tak tertahan lagi. Lebih dari 16 tahun saya mengidap penyakit mematikan ini, saya lelah dan merasa tidak bisa menanggung penyakit ini lagi untuk setiap detik, menit dan harinya.
Saya tidak bisa lagi menggantung harapan bahwa suatu hari saya bisa sembuh. Keputusan untuk mati ini sudah sangat lama dan keras saya pikirkan. Saya yakin hanya itu yang saya inginkan untuk saat ini. Meskipun hal ini sudah didiskusikan panjang lebar dengan orang tua saya, tapi mereka benar-benar tidak rela jika saya pergi.
Saya sudah coba mengakhiri hidup dengan menyuntikkan morfin dosis tinggi ke dalam pembuluh darah, tapi ternyata tubuh ini sudah toleran terhadap morfin. Dari situlah orang tua saya pertama kali tahu betapa depresinya saya. Saya sudah berusaha menyembunyikan perasaan tersebut dengan menampakkan wajah ceria di depan mereka. Tapi saya justru diberi obat antidepresi.
Obat-obatan berhasil membuat saya berhenti menangis terus menerus, tapi tidak bisa menghentikan keinginan saya untuk tidak berada di planet ini lagi. Tidak ada yang bisa mengubah pikiran itu. Saya tahu kemungkinan untuk sembuh dan menjalani hidup dengan normal seperti yang saya bayangkan sangatlah tipis.
Rahim saya sudah diangkat. Saya tidak akan pernah bisa mewujudkan keinginan favorit saya untuk punya anak. Saat ini saya berusia 31 tahun dan seharusnya sudah punya pasangan. Tulang saya sudah oesteoporosis, setiap kali batuk atau bersin, risiko patah tulang bisa saja terjadi. Semua impian saya untuk bisa berenang, berperahu, berlari, bersepeda sudah sirna sejak saya mengidap penyakit ini di usia 14 tahun.
Tubuh ini sudah lelah dan semangat hidup saya sudah patah. Saya merasa cukup. Saya mengerti jika orang-orang mengira saya depresi berat, tapi keinginan untuk meninggalkan semua rasa sakit ini terus memuncak. Saya benar-benar ingin mati. Saya tidak tahu lagi berapa jam yang sudah saya habiskan untuk mendiskusikan keinginan ini dengan ibu. Tapi ia selalu berusaha mati-matian mengubah pandangan dan pola pikir saya.
Sampai saat ini saya masih bisa bertahan karena tabung-tabung medis, pompa dan obat-obatan. Tanpa semua teknologi modern ini, saya tidak akan ada disini. Bayangkan Anda berada di sebuah ruangan kecil dan terdampar di atas kasur selama 16 tahun. Bayangkan menjadi perawan di usia 30 tahun dan tidak pernah tahu rasanya ciuman. Bayangkan rasa sakit mempunyai tulang seorang wanita berusia 100 tahun dan tidak bisa bergerak kemana-mana karena risiko patah tulang. Bayangkan ibu Anda mengelap tubuh dan membersihkan kotoran Anda setiap saat. Bayangkan terpenjara di dalam hidup yang menyedihkan.
Saya tidak perlu membayangkan semua itu karena tubuh dan pikiran saya sudah hancur. Saya sangat putus asa dengan sakit ini. Saya mencintai kedua orang tua saya, tapi saya tidak bisa memberikan apa-apa untuk mereka. Saya justru menyandarkan hidup pada mereka dan menyita waktunya. Saya tahu hati mereka sebenarnya sangat hancur dan tidak ingin kehilangan saya. Bahkan mereka mengatakan lebih baik meninggal atau merasakan hal yang sama dengan saya. Saya sangat beruntung punya orang tua yang sangat luar biasa.
Tapi maafkan saya Ibu, Ayah, saya benar-benar ingin mati. Mereka terus menanyakan apakah hal itu yang benar-benar saya inginkan. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya ini semua bagi mereka. Saya tahu mereka tidak ingin kehilangan saya, tapi di sisi lain mereka juga tidak ingin saya menderita terus menerus karena penyakit ini. Saya tahu saya sudah bersifat egois karena mendahulukan kepentingan saya di atas kepentingan mereka. Tapi saya tidak bisa melakukan hal ini seorang diri tanpa bantuan orang tua saya".
Catatan itu ditulis Kay pada awal tahun 2008, hingga akhirnya pada Desember 2008, sang ibu Kay Gilderdale merasa tidak punya pilihan lagi selain membantu anaknya mengakhiri hidupnya. Bukan karena ia ingin Lynn pergi meninggalkannya atau karena lelah berdiskusi dengannya, tapi karena ia ingin Lynn keluar dari kegelapan.
Kay yang merupakan mantan perawat itu akhirnya menyuntikkan morfin dengan dosis berlipat-lipat ganda pada anaknya. Tapi Lynn masih belum meninggal dengan suntikan morfin itu. Kay pun panik dan mencobanya lagi, tapi kali ini ditambah beberapa pil dan suntikan udara. Dan saat itulah Lynn akhirnya meninggal dunia.
Atas tuduhan membantu sang anak bunuh diri, Kay sempat dibawa ke pengadilan. Namun kurang dari 2 jam, ia dinyatakan tidak bersalah karena kasusnya bukan percobaan pembunuhan, tapi atas seizin anaknya.
Lynn terdiagnosa penyakit ME saat usianya 14 tahun. Penyakit itu mengubahnya dari seorang gadis remaja aktif menjadi seorang yang pendiam dan tak berdaya.
Penyakit ME atau yang dikenal dengan Chronic Fatigue Syndrome (CFS) mempengaruhi hampir semua bagian saraf dan sistem imun tubuh. Gejala umumnya adalah rasa lelah dan letih yang sangat parah, memiliki masalah ingatan, konsentrasi dan otot yang lelah. Akibatnya seseorang tidak akan bisa melakukan apapun dengan kondisi demikian.
Penyebab pasti penyakit ini sampai sekarang belum diketahui, tapi beberapa infeksi viral seperti demam yang berhubungan dengan kelenjar serta trauma bisa memicu penyakit ini. Tidak ada obat yang benar-benar efektif mengatasi penyakit ini.
sumber: detikhealth.com
KISAH SANG PAHLAWAN KELUARGA
Perempuan itu bernama Karmiah. Setiap adzan subuh berkumandang di masjid, ia harus cepat-cepat bangun. Ia memang harus bangun lebih awal ketimbang majikannya dan seisi rumah yang lain. Ia juga harus tidur lebih ahir ketimbang lainnya. Dan ia tidak akan masuk ke kamar peraduan sebelum majikannya tidur terlebih dahulu. Itulah nasib dia, sebagai seorang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga di luar negri.
Ia sudah lama mengunci mulutnya. Alias tidak banyak berbicara kecuali yang penting-penting saja. Ia juga dilarang untuk bicara dengan sesama PRT tetangga sebelah. Perempuan itu menurut saja. Sebab ia tidak punya hak untuk melawan walau hanya sepatah katapun. Apa yang dikatakan majikan, harus ia turuti.
Pagi hari ia jarang makan nasi, seperti kebiasaannya di kampung. Ia hanya minum dan makan roti. Hari-hari ia lalui dengan banyak kerja. Sedikit sekali waktu istirahat yang diberikan majikan padanya.
Sesak. Sesak sekali rasanya. Tapi apa boleh buat. Ibarat akan mengarungi lautan,
layar kapal sudah terkembang. Ia harus berani dan pantang menyerah. Dan akan terus melaju. Melaju menuju pelabuhan yang dituju. Keberhasilan!
Perempuan 40-an itu banyak bercerita pada saya. Ia mencurahkan segala isi hatinya pada saya tentang apa yang sedang ia alami. Ia yang begitu susah hidup di kampung, di negeri seberangpun ia harus bertemu dengan sosok majikan yang sangat tidak manusiawi.
Ia belum satu tahun bekerja di Brunei. Padahal masa kontraknya dua tahun. Masih butuh waktu cukup lama untuk menapaki hari-hari suramnya. Wajahnya makin sayu. Tubuhnya menampakkan ke-tidak segar-an. Hatinya luka. Kedua matanya, makin rabun. Sehingga kalau melihat tulisan seolah huruf-hurufnya berlainan. Mungkin terlalu banyak mengeluarkan air mata. Sehingga, suatu saat dia minta tolong pada saya untuk menuliskan sebuah surat untuk keluarganya di tanah air.
Tak hanya itu. Rupanya perempuan ini masih menjalani ujian berat dari Sang Maha Kasih. Kedua kakinya bengkak sudah beberapa bulan. Sudah ke rumah sakit tiga kali -dengan biaya sendiri-, tapi belum juga sembuh. Sungguh malang ibu dari empat orang anak ini. Melihat keadaan seperti itu, saya menyarankan agar pulang saja. Jangan memaksakan diri di tengah derita yang begitu mencekam. Namun perempuan ini menjawab tegas.
"Saya harus bertahan dulu di sini sebelum anak saya lepas dari sekolah, Mas. Saya tidak ingin anak saya keluar sebelum tamat hanya kekurangan biaya, kasihan. Saya sakit sekali jadi orang bodoh, jadi orang yang tidak sekolah. Saya ingin anak-anak saya tidak seperti bapak dan ibunya yang punya nasib sengsara."
Saya kaget. Luar biasa semangat perempuan ini. Saya malah justru menyesal mengeluarkan kata-kata seperti itu. Saya tidak menyangka sama sekali di balik seorang yang tampak sangat lemah tapi ada kekuatan juang yang luar biasa. Ia punya tujuan sangat mulia. Ingin mengasah empat 'mutiara' nya di kampung menjadi orang-orang yang berilmu. Walaupun ia sendiri harus tertatih-tatih, merangkak mempertahankan hidup di bawah aturan ketat sang majikan.
Rupanya ia sosok yang sangat tabah. Dalam hidupnya, ia tak pernah menyalahkan siapa-siapa. Ia tak pernah menyalahkan suaminya yang hanya seorang buruh tani. Dan ia juga tak pernah peduli dengan negrinya yang sampai saat ini belum bisa memberikan apa arti sebuah kemakmuran dan kesejahteraan. Tapi ia hanya ingin menempa diri agar anak keturunannya punya nasib lebih baik dari dirinya. Itu saja.
Namun, lagi-lagi ia harus terhempas. Mau tidak mau ia harus menuruti kehendak Yang Maha Kuasa. Kedua kakinya makin parah. Ahirnya ia memutuskan untuk pulang, sebelum masa kontraknya habis.
Di bandara Sukarno Hatta Jakarta, ia sudah tidak kuat lagi menahan derita sakitnya. Petugas bandara segera melarikan ke rumah sakit. Namun malaikat maut keburu menyambutnya, untuk menghadap Penguasa Alam ini. Semangat juang perempuan itu, hanya sampai di Jakarta, sebelum ia memasuki kampung halamannya di sebuah desa kecil, di bagian barat Jawa Tengah.
Mendengar berita yaang dituturkan majikan perempuan itu, saya terkejut luar biasa. Tubuh ini laksana mau terkulai. Ia bukan saudara saya. Ia bukan kerabat dekat saya. Tapi nasib di perantauan menjadikan saya, seolah ia adalah bagian dari keluarga saya. Saya hanya bisa berucap: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Sekali lagi saya membayangkan sosok dia. Seorang yang tampak lahir berfisik lemah, tapi punya daya juang, daya 'jihad' yang luar biasa. Saya jadi ingat kata-kata sahabat saya, seorang penulis, "Sosok seperti itulah yang paling layak mewarisi kehidupan ini."
Terbayang pula bagaimana sedihnya keempat anaknya ketika melihat ibunya sudah terbujur kaku. Bagaimana getirnya sang suami melihat sang istri yang sudah tak bernyawa lagi. Atau bagaimana merananya kerabat keluarganya ketika melihat perempuan itu sudah pulang ke pangkuan-Nya.
Allah, maha segalanya. Tentu Dia tidak akan membiarkan sekecil apapun usaha positif mahluknya. "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat balasannya." (Az Zalzalah: 7)
Harapannya ingin punya mutiara yang cemerlang, yang 'alat gosok' nya ia cari sampai ke luar negeri, tentunya tidak akan diabaikan begitu saja oleh Yang Maha Perkasa. Tentu perjuangan perempuan itu akan jadi cermin besar bagi ke empat anaknya untuk berjuang lebih keras dan keras lagi. Walaupun saat ini mereka masih tertatih, dalam menyelesaikan pelajarannya di sekolah.
Selamat jalan Karmiah, selamat jalan pejuang di negeri seberang. Semoga Allah menempatkanmu dalam tempat yang mulia. Amin.**
layar kapal sudah terkembang. Ia harus berani dan pantang menyerah. Dan akan terus melaju. Melaju menuju pelabuhan yang dituju. Keberhasilan!
Perempuan 40-an itu banyak bercerita pada saya. Ia mencurahkan segala isi hatinya pada saya tentang apa yang sedang ia alami. Ia yang begitu susah hidup di kampung, di negeri seberangpun ia harus bertemu dengan sosok majikan yang sangat tidak manusiawi.
Ia belum satu tahun bekerja di Brunei. Padahal masa kontraknya dua tahun. Masih butuh waktu cukup lama untuk menapaki hari-hari suramnya. Wajahnya makin sayu. Tubuhnya menampakkan ke-tidak segar-an. Hatinya luka. Kedua matanya, makin rabun. Sehingga kalau melihat tulisan seolah huruf-hurufnya berlainan. Mungkin terlalu banyak mengeluarkan air mata. Sehingga, suatu saat dia minta tolong pada saya untuk menuliskan sebuah surat untuk keluarganya di tanah air.
Tak hanya itu. Rupanya perempuan ini masih menjalani ujian berat dari Sang Maha Kasih. Kedua kakinya bengkak sudah beberapa bulan. Sudah ke rumah sakit tiga kali -dengan biaya sendiri-, tapi belum juga sembuh. Sungguh malang ibu dari empat orang anak ini. Melihat keadaan seperti itu, saya menyarankan agar pulang saja. Jangan memaksakan diri di tengah derita yang begitu mencekam. Namun perempuan ini menjawab tegas.
"Saya harus bertahan dulu di sini sebelum anak saya lepas dari sekolah, Mas. Saya tidak ingin anak saya keluar sebelum tamat hanya kekurangan biaya, kasihan. Saya sakit sekali jadi orang bodoh, jadi orang yang tidak sekolah. Saya ingin anak-anak saya tidak seperti bapak dan ibunya yang punya nasib sengsara."
Saya kaget. Luar biasa semangat perempuan ini. Saya malah justru menyesal mengeluarkan kata-kata seperti itu. Saya tidak menyangka sama sekali di balik seorang yang tampak sangat lemah tapi ada kekuatan juang yang luar biasa. Ia punya tujuan sangat mulia. Ingin mengasah empat 'mutiara' nya di kampung menjadi orang-orang yang berilmu. Walaupun ia sendiri harus tertatih-tatih, merangkak mempertahankan hidup di bawah aturan ketat sang majikan.
Rupanya ia sosok yang sangat tabah. Dalam hidupnya, ia tak pernah menyalahkan siapa-siapa. Ia tak pernah menyalahkan suaminya yang hanya seorang buruh tani. Dan ia juga tak pernah peduli dengan negrinya yang sampai saat ini belum bisa memberikan apa arti sebuah kemakmuran dan kesejahteraan. Tapi ia hanya ingin menempa diri agar anak keturunannya punya nasib lebih baik dari dirinya. Itu saja.
Namun, lagi-lagi ia harus terhempas. Mau tidak mau ia harus menuruti kehendak Yang Maha Kuasa. Kedua kakinya makin parah. Ahirnya ia memutuskan untuk pulang, sebelum masa kontraknya habis.
Di bandara Sukarno Hatta Jakarta, ia sudah tidak kuat lagi menahan derita sakitnya. Petugas bandara segera melarikan ke rumah sakit. Namun malaikat maut keburu menyambutnya, untuk menghadap Penguasa Alam ini. Semangat juang perempuan itu, hanya sampai di Jakarta, sebelum ia memasuki kampung halamannya di sebuah desa kecil, di bagian barat Jawa Tengah.
Mendengar berita yaang dituturkan majikan perempuan itu, saya terkejut luar biasa. Tubuh ini laksana mau terkulai. Ia bukan saudara saya. Ia bukan kerabat dekat saya. Tapi nasib di perantauan menjadikan saya, seolah ia adalah bagian dari keluarga saya. Saya hanya bisa berucap: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Sekali lagi saya membayangkan sosok dia. Seorang yang tampak lahir berfisik lemah, tapi punya daya juang, daya 'jihad' yang luar biasa. Saya jadi ingat kata-kata sahabat saya, seorang penulis, "Sosok seperti itulah yang paling layak mewarisi kehidupan ini."
Terbayang pula bagaimana sedihnya keempat anaknya ketika melihat ibunya sudah terbujur kaku. Bagaimana getirnya sang suami melihat sang istri yang sudah tak bernyawa lagi. Atau bagaimana merananya kerabat keluarganya ketika melihat perempuan itu sudah pulang ke pangkuan-Nya.
Allah, maha segalanya. Tentu Dia tidak akan membiarkan sekecil apapun usaha positif mahluknya. "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat balasannya." (Az Zalzalah: 7)
Harapannya ingin punya mutiara yang cemerlang, yang 'alat gosok' nya ia cari sampai ke luar negeri, tentunya tidak akan diabaikan begitu saja oleh Yang Maha Perkasa. Tentu perjuangan perempuan itu akan jadi cermin besar bagi ke empat anaknya untuk berjuang lebih keras dan keras lagi. Walaupun saat ini mereka masih tertatih, dalam menyelesaikan pelajarannya di sekolah.
Selamat jalan Karmiah, selamat jalan pejuang di negeri seberang. Semoga Allah menempatkanmu dalam tempat yang mulia. Amin.**