Pengemis saat ini sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Kenapa orang mau menjadi pengemis, kenapa sepertinya pengemis tidak pernah habis-habis bahkan mungkin terus bertambah, kenapa mereka bisa menjadi pengemis terus menerus selama bertahun-tahun dan tidak pernah berubah. Itulah segelintir pertanyaan yang ada dibenak saya, sekejam itukah dunia ini sehingga orang yang 'miskin' sampai harus terus mengemis untuk memenuhi hak hidupnya.
Mungkin ini hanya pendapat saya saja bahwa mereka yang mengemis itu telah menjadikan bahwa mengemis itu sebagai pekerjaan atau profesi mereka. Apakah hal ini dapat dibenarkan? itu semua kembali kedalam diri kita masing-masing, akan tetapi kalau ditanya apakah mereka mau menjadi pengemis saya rasa semuanya menjawab tidak mau tetapi kondisi ekonomi merekalah yang memaksa untuk mengemis. Alasan itu dapat kita maklumi ketika mereka sudah berupaya untuk bekerja keras meminta bantuan orang lain seperti melamar kerjaan, meminjam sejumlah dana untuk modal usaha dan sebagainya tetapi tetap belum dapat hasil sedangkan kebutuhan jasmani mutlak harus dipenuhi segera. Akan tetapi hal tersebut tidaklah bisa dijadikan alasan untuk terus menerus mengemis selama bertahun-tahun, setelah kebutuhan jasmani tercukupi sementara kenapa tidak mencoba lagi untuk bekerja selayaknya sebagai manusia, makhluk yang paling mulia di alam ini yang memiliki akal untuk berpikir, hati untuk merasa, dan tubuh untuk bekerja Tidakkah kita malu terhadap binatang, binatang saja untuk memperoleh makanan mereka harus bekerja dahulu, seperti burung yang pagi hari keluar dari sarangnya untuk mengitari hutan hanya untuk makan pada hari itu kemudian pulang sore hari hari setelah perut terisi penuh.
Terkadang saya sedih melihat mereka apalagi yang sudah lanjut usia masih meminta-minta, akan tetapi tak jarang pula saya marah ketika pengemis tersebut ternyata masih berbadan sehat dan muda, kemana saja akal pikiran dan tenaga yang telah dimilikinya itu digunakan.
Kalau dipikir-pikir dengan kita memberikan receh kepada mereka (terutama yang masih muda dan kuat) itu bukanlah membantu malah semakin menjerumuskan mereka kedalam mental peminta dan pemalas. Bayangkang saja, ketika satu orang/rumah memberikan Rp.100,- saja dikalikan 500 orang/rumah yang diminta, dalam satu hari mereka bisa memperoleh Rp.50.000 dikalikan 1 bulan mereka mampu mendapatkan uang sebesar Rp.1.500.000,- bersih tanpa modal apa-apa. Jumlah yang besar bukan itu kalau semuanya memberi seratus rupiah bagaimana jika lebih atau jumlah rumah yang dikunjungi lebih banyak sudah pasti mereka para pengemis lebih kaya dari pada mereka yang bekerja keras sebagai buruh misalnya yang dari pagi hingga sore hari tak jarang sampai malam banting tulang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Mental merekalah yang harus dibenahi, rasa malu yang sudah menipis, dan wujud ketiadaan pengabdian kepada Sang Pencipta itulah yang menyebabkan mereka terus menerus melakukan kegiatan mengemis tersebut. Kita mungkin juga turut andil dengan membiarkan mereka seperti itu ketika memberikan receh kita dengan niat beramal. Tidak ada yang salah dengan niat kita tersebut akan tetapi menurut saya lebih baik kita membantu kepada mereka yang jelas-jelas membutuhkan bantuan kita seperti keluarga kita, tetangga, sahabat, atau orang yang paling dekat dengan lingkungan kita yang kita ketahui sangat layak dibantu terlebih dahulu dibanding mereka yang di jalan-jalan atau yang ke rumah-rumah yang tidak kita ketahui latar belakangnya. Saya sering berpikir jangan-jangan saya malah berdosa membantu mereka karena membantu mereka menjadi pemalas atau uang tersebut digunakan untuk maksiat seperti membeli minuman keras.
Tak jarang kita melihat di televisi bahwa di kota-kota besar seperti jakarta mereka para pengemis memiliki kehidupan yang bisa dibilang layak seperti memiliki rumah, kendaraan, bahkan alat komunikasi seperti HP, pertanyaannya layakkah mereka kita golongkan sebagai pengemis dan dibantu. Seperti di dekat rumah saya ada anak remaja seusia anak SMA, dia tidak mau disuruh sekolah lebih baik mengemis di lampu merah katanya dapat uang dibanding sekolah yang membosankan, lain lagi teman saya bercerita ketika dia menawarkan seorang ibu yang rutin hampir setiap hari mengemis di daerah tempat ia membuka usaha rumah makan, ibu itu ia tawarkan untuk bekerja di rumah makannya sebgai pencuci piring apa jawaban ibu itu sungguh membuat kita emosi, 'gak mau ah mas nanti tangan saya lecet-lecet kena sabun gajinya juga kecil lebih enak lagi ngemis' ujar ibu tersebut.
Sekarang semua tergantung kita, kalau kita tidak ingin pengemis terus meraja-lela di negara ini bantulah mereka dengan memberikan pekarjaan bukan dengan uang. Saya sependapat dengan pelawak Tukul Arwana yang berkata 'Kalau saya membantu orang bukan dengan memberikannya uang, uang kita berikan dengan sepantasnya saja dan kepada mereka yang memang membutuhkan bantuan finansial seperti modal usaha, akan tetapi saya akan memberikan bantuan berupa ilmu, keterampilan ataupun motivasi agar mereka bisa mandiri itu jauh lebih bermanfaat buat mereka dan buat kita sendiri sebagai ilmu yang bermanfaat bagi sesama bekal kita di akhirat kelak'.
Pengemis memang sudah ada dari dahulu kala, karena itulah agama kita juga memerintahkan kita untuk membantu mereka para kaum fuqara dan masakin. Akan tetapi bantuan yang memanjakan mereka saya rasa agama juga tidak berkenan. Apalagi saat ini agama sering dijadikan tameng sebagian dari mereka para pengemis untuk meminta-minta, lihat saja ketika ada even-even keagamaan pastilah para pengemis tersebut membanjiri tempat-tempat ibadah dan tak jarang mereka juga suka 'mengkambing-hitamkan' agama dengan menambahkan embel-embel ayat suci ataupun doa dalam kegiatan mengemis mereka. Tanpa bermaksud membenci mereka yang terpaksa mengemis untuk melanjutkan hidup, hanya saja saya geram melihat mereka yang menjadikan mengemis sebagai profesi, setiap hari meminta-minta ketempat yang sama berulang-ulang seperti meminta jatah pajak saja.
Apakah Tuhan sekejam itu membiarkan hambanya meminta-minta terus menerus?