Etika Menjaga Perasaan

Termasuk etika dalam bersahabat dan lebih luas lagi dalam bermasyarakat, adalah menjaga perasaan. Bahkan, Rasulullah SAW menjadikan itu sebagai salah satu prasyarat Muslim sejati. Rasul SAW mengatakan bahwa yang disebut Muslim adalah orang yang mulut dan tangannya membuat orang lain merasa damai. Kata-katanya tidak menyakiti, perilakunya tidak melukai. Dua-duanya menjadi satu-kesatuan utuh untuk membentuk karakter Muslim sejati.

Kata-kata bijak seseorang akan menjadi omong kosong jika perilakunya meresahkan. Dan, perilaku mulia seseorang akan menjadi percuma jika kata-katanya menyakitkan. Sebab itulah Allah mengingatkan, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.'' (QS Al-Baqarah [2]: 264).

Karena itu, Muslim sejati adalah orang yang membawa rasa aman dengan apa pun yang ada pada dirinya dan bagi siapa pun yang ada di sekelilingnya. Abu Qasim al-Qusyairi dalam kitabnya al-Risalah al-Qusyairiyah, menulis kisah menarik tentang etika.

Suatu ketika, seorang ulama terkemuka bernama Hatim didatangi seorang perempuan yang hendak berkonsultasi tentang suatu hal. Berbarengan dengan saat bertanya, perempuan itu kelepasan (maaf) kentut. Hatim lalu berkata, ''Maaf, Anda bertanya apa? Mohon, angkat sedikit suara Anda agar saya dapat mendengarnya dengan baik.''

Perempuan itu berpikir, Hatim ini sepertinya memiliki pendengaran yang kurang baik dan pasti tidak mendengar kentut barusan. Maka, ia pun menyampaikan maksudnya. Selesai urusan, perempuan itu pun pulang dengan perasaan lega dan barangkali tak perlu malu kepada dirinya sendiri dan kepada Hatim, sebab telah kelepasan kentut di hadapan seorang ulama.

Sejak peristiwa itu, tersebar kabar bahwa Hatim adalah orang yang pendengarannya kurang baik. Dan bukan hanya kabar angin, orang-orang pun mengetahui sendiri bahwa Hatim memang demikian. Lalu, orang-orang menjuluki Hatim dengan al-asham atau si tuli. Sampai kemudian perempuan itu meninggal dunia.

Hatim lalu menceritakan keadaan diri bahwa sesungguhnya ia tidak benar-benar tuli. Apa yang ia lakukan hanya kepura-puraan. Saat perempuan itu kentut di hadapannya, ia pura-pura tidak mendengar. Dan, ia berjanji, kepura-puraan itu akan ia jaga selama si perempuan masih hidup, semata-mata karena tidak ingin membuat perempuan itu malu. Hatim ingin menjaga harga diri dan perasaan perempuan itu.

Meski demikian, sebutan al-Asham telah telanjur melekat pada diri Hatim. Sehingga, sampai saat ini, nama Hatim dalam karya-karya klasik selalu ditulis Hatim al-Asham atau 'Hatim Si Tuli.' Wa Allahu a'lam.