Raksasa industri farmasi dan produk kesehatan bernama Johnson & Johnson (J&J) memang layak diapresiasi. Tidak sekadar karena J&J saban tahun menjadi penghuni tetap 30 besar perusahaan paling digdaya di kolong langit versi majalah Fortune.
Bukan pula kecanggihan manajemen J&J sehingga pada 2009 mampu membukukan pendapatan US$ 63,747 juta dan keuntungan bersih US$12,949 juta. Apresiasi muncul karena J&J konsisten menjalankan bisnis berbasis pada etika dan nilai-nilai kebenaran universal.
Syahdan produk lensa kontak bermerek Acuvue keluaran J&J yang dijual di Asia, Eropa dan Amerika mendapat keluhan dari konsumennya yang ada di Jepang. Ketika konsumen memakai lensa kontak Acuvue, matanya menjadi perih atau sakit. Tidak ada keluhan lebih lanjut memang atas perih dan sakitnya mata. Apalagi sampai membahayakan mata dan berujung pada kebutaan.
Namun, manajemen J&J bertindak cepat. Per 18 Agustus 2010, semua lensa kontak Acuvue ditarik dari pasaran. Tidak tanggung-tanggung jumlah produk yang ditarik. Ada sekitar 100.000 kotak, yaitu masing-masing kotak berisi 30 atau 90 lensa kontak. Nilai ekonominya pasti menyentuh angka jika dirupiahkan puluhan miliar rupiah. Sejumlah uang yang pantas untuk disebut banyak.
Pada kasus lain, BP perusahaan minyak asal Inggris mendapat tantangan ketika pada 20 April 2010 terjadi ledakan pada anjungan lepas pantai miliknya di Louisiana, Amerika Serikat. Secara teknis menutup semburan minyak pada kedalaman 1.525 meter di dasar laut merupakan pekerjaan sulit. Namun, para petinggi BP tidak mengindahkan kesulitan tersebut dan mencoba berbagai cara untuk menutupi semburan minyak.
Pada 15 Juli 2010 lubang sumur berhasil ditutup. Kemudian tanggal 4 Agustus 2010 BP mampu mengubur sumur selamanya dan semburan minyak tuntas tertutup. Total ongkos yang dikeluarkan BP untuk menutup sumur sekaligus membayar ganti rugi yang berhubungan dengan tragedi semburan minyak sebanyak US$20 miliar.
Terlepas dari tekanan Presiden Barack Obama yang dengan piawai mempraktikkan apa yang disebut strong leadership, kegigihan manajemen BP untuk menutup semburan minyak sekaligus bertanggung jawab terhadap seluruh tragedi, pantas diapresiasi.
Manajemen BP seperti juga dilakukan manajemen J&J tidak lagi bermain pada wilayah bisnis seperti apa adanya (business as usual). Kedua perusahaan tersebut sudah melampaui bisnis. Bisnis tidak dipandang sekadar untung-rugi semata.
Bisnis juga berarti bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas bisnisnya. Berbisnis dengan mengedepankan nilai-nilai dan kebaikan universal. Menjalankan bisnis seperti dulu pada awal mula bisnis muncul; untuk kemaslahatan dan kebaikan masyarakat.
Mengapa sekarang perusahaan layak meninggalkan praktis bisnis seperti apa adanya menuju melampaui bisnis? Riset dari dua profesor bisnis kampiun, John Kotter dan James Hesklett menuturkan bahwa perusahaan yang mampu mempertahankan reputasi dengan pencapaian kinerja yang meningkat berkesinambungan karena perusahaan tersebut selalu dituntun oleh nilai-nilai.
Dapat dipastikan nilai-nilai yang diadopsi pada mayoritas perusahaan di kolong langit ini adalah; integritas, kejujuran, profesionalisme, pelayanan pelanggan, praktik terbaik/unggul (excellence), hingga tanggung jawab sosial.
Kepemimpinan melayani
Bagaimana agar nilai-nilai tersebut menjadi perilaku bersama seluruh warga perusahaan dan menjadi penuntun manajemen dalam mengendalikan bisnis? Tak salah, dimulai dari pucuk pemimpin tertingginya.
Beruntung J&J memiliki CEO William C. Weldon, yang sudah berkarya sejak 1971. Rentang panjang ini memberi pendalaman bagi William C. Weldon ketika pada April 2002 diangkat menjadi CEO untuk meneruskan tradisi J&J, yaitu berbisnis berbasis pada nilai-nilai.
Begitu pula BP layak bangga kepada CEO-nya Bob Dudley yang menggantikan posisi Tony Hayward ketika tragedi semburan minyak mulai muncul. Memang baru seumuran jagung Bob Dudley menjadi CEO. Namun, seumuran jagung ini akan menjadi penanda bagaimana Bob Dudley mengemudikan BP ke depan.
Pada wilayah lain, Michael Dell pendiri sekaligus CEO Dell Computer berpetuah,"Jika bisnis Anda tidak digerakkan oleh pelanggan yang mempunyai lebih banyak informasi dan mampu menggunakan, kemungkinan besar Anda sudah berada dalam kesulitan."
Menyetujui petuah Michael Dell, sebagai CEO William Weldon percaya bahwa pelanggan yang menggerakkan seluruh bisnis J&J. Jika keluhan pengguna lensa kontak Acuvue tidak segera ditanggapi, pasti pengguna ini akan berkampanye buruk menyoal lensa kontak Acuvue.
Bahkan lebih jauh lagi tentang semua produk yang dikeluarkan J&J. Pelanggan memiliki kekuatan, jaringan dan pengaruh kuat terhadap masyarakat. Menempatkan pelanggan pada titik pusat model bisnis dengan demikian menjadi strategi bijak lagi brilian.
Pelanggan BP tidak hanya pengguna produk yang dikeluarkan BP. Masyarakat Louisiana pada khususnya dan warga serta pemerintah Amerika pada umumnya adalah pelanggan BP. Karena BP bertanggung jawab dan menempatkan pelanggan pada titik pusat model bisnis, pemulihan yang terjadi pada tubuh BP berlangsung relatif cepat. Kampanye buruk yang selama ini mendera BP, berubah menjadi kampanye positif. Tak ayal harga saham BP perlahan mulai terkerek naik.
Strategi kepemimpinan yang dilakukan oleh William Weldon dan Bob Dudley ini yang disebut kepemimpinan melayani. Konsep kepemimpinan melayani bukan barang baru. Sudah tercetus pada tahun 70-an.
Seiring dengan konsep baru kepemimpinan yang marak dipraktikkan, ternyata kepemimpinan melayani mendapat tempat kembali pada era digital ini. Berkembangnya jejaring sosial dan komunitas semakin menempatkan kepemimpinan melayani pada posisi terhormat.
Apa yang diharapkan konsumen dari para pemimpin 'pelayan' ini? Ternyata sederhana. Bertanggung jawab terhadap seluruh proses bisnis yang terjadi dan merespons secara cepat dan tepat apa yang menjadi keluhan konsumennya. William Weldon dan Bob Dudley sudah menjalankan dengan sepenuh-penuhnya.
J&J dan BP sudah pada tahap melampaui bisnis. Menjalankan bisnis seperti apa adanya sudah ditinggalkan. Bagaimana dengan perusahaan Anda?
Oleh: A. M. Lilik Agung
Blog MAKE MONEY, click here please!