Segitiga Pengaman Cegah HIV/AIDS

Hari AIDS sedunia, 1 Desember 2010 disambut dengan berita peningkatan jumlah penderita HIV/ AIDS. Per Maret 2009 sejumlah 23.632 orang menjadi 130.000 orang pada tahun ini. Menurut National Trainer Care, Support and Treathment IMAI-HIV/AIDS, dr Ronald Jonathan, M Sc, kini penyebaran HIV/ AIDS terjadi pergeseran. Penyebaran terbesar melalui hubungan seks. Bukan lagi penggunaan jarum suntik.


Akhir tahun 1991, kota Surabaya dihebohkan oleh berita seorang perempuan pekerja seks komersial (PSK) di kompleks pelacuran Dolly dinyatakan HIV positif. Akibatnya, kompleks pelacuran itu jadi sepi. Susahnya, si perempuan PSK itu sudah pindah dari Dolly. Setelah ia ditemukan di kompleks pelacuran lain di selatan Surabaya, ia pun ”diamankan” di Markas Koramil Sawahan sebagai ”titipan” Camat Sawahan agar bisnis jasa seks di Dolly berjalan seperti biasa lagi.

Ada persepsi yang salah bahwa si PSK yang malang itu adalah sumber penularan HIV/ AIDS, padahal ia justru korban yang ”tertular” oleh para pelanggan mereka yang enggan menggunakan kondom. Pada gilirannya mereka kemudian memang menularkan HIV kepada pelanggan lainnya yang juga enggan menggunakan kondom. Dan pelanggan lainnya itu, ketika berhubungan seks dengan istrinya, si istri pun ikut tertular. Jika si istri hamil, maka akan menulari sang janin.

Saat ini sudah ribuan kaum ibu yang tak pernah berselingkuh dan ribuan pula bayi yang lahir di Indonesia terinfeksi HIV. Semua ini terjadi karena kampanye penggunaan kondom terkendala oleh sikap puritan sebagian masyarakat yang memandang bahwa mempromosikan penggunaan kondom untuk pencegahan AIDS itu sama dengan mempromosikan perzinaan dan seks bebas.

Berbagai upaya yang ditawarkan selama ini seperti kondomisasi dan subtitusi metadon ternyata belum mencapai hasil maksimal. Karena solusi ini tidak menyentuh akar permasalahan sebenarnya.Bahkan hingga kini hampir semua stasiun TV di Indonesia enggan menyiarkan iklan layanan masyarakat (ILM) tentang perlunya penggunaan kondom bagi para pria yang doyan ”jajan”. Mereka mungkin masih trauma ketika ILM kondom dengan penyanyi Harry Roesli diprotes dan dituntut untuk dihentikan penayangannya.

Sudah tahap matang

Fenomena ribuan kaum ibu dan bayi di Indonesia tertular HIV menunjukkan epidemi AIDS di negeri ini sudah mencapai tahap matang, terutama memang terkonsentrasi di beberapa provinsi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Papua, dan Papua Barat. Menurut dr Nafsiah Mboi, SpA MPH, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS, yang memicu penularan HIV di Indonesia adalah 3,1 juta pria dewasa yang membeli jasa seks komersial dari sekitar 230.000 perempuan PSK. Situasi ini mengancam 1,6 juta perempuan yang telah menikah.
Data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan bahwa jumlah kumulatif kasus AIDS di kalangan perempuan di Indonesia hingga akhir Desember 2009 menunjukkan rekor tertinggi dipegang oleh ibu rumah tangga (sebanyak 1.970 kasus), sementara hanya 604 kasus pada penjaja seks.

Kaum pria yang biasa membeli jasa seks komersial sesungguhnya adalah ”jembatan” (bridge) dalam jejaring atau mata rantai penularan HIV, bukan para perempuan PSK yang lebih statis dan pasif. Di sinilah peran sentral kaum pria, apakah mereka mau atau enggan melindungi diri sendiri dengan perilaku seks aman, termasuk memakai kondom jika berhubungan seks tak aman.

Mengapa kondom yang sebenarnya secara internasional diakui sebagai sarana paling ampuh untuk membendung penularan HIV lewat hubungan seks justru kurang populer di Indonesia? Selain kampanye kondom masih dituding sebagai promosi seks bebas dan mitos kondom berpori, amat rendahnya kebiasaan (habitus) menggunakan kondom di Indonesia juga merupakan kesalahan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia yang memarginalkan peran kaum pria. Akibatnya, penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi hanya kurang dari 1 persen.

Penutupan satu demi satu lokalisasi pelacuran secara tidak langsung juga mempersulit penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Kramat Tunggak di Jakarta misalnya ditutup tahun 1999. Tersiar kabar, Dolly pun bakal mengikuti jejak Kramat Tunggak. Razia terhadap para perempuan PSK juga marak terjadi di mana-mana.

Pelacuran sebagai ”profesi” tertua di muka Bumi akan selalu liat. Ditutup dan dirazia di suatu tempat, maka akan bermunculan di tempat-tempat lain. Semuanya mengikuti hukum supply and demand (penawaran dan permintaan). Selama demand hajat seks kaum pria masih tinggi, maka supply akan selalu mengimbanginya. Terbukti dengan ditutupnya Kramat Tunggak, lokasi pelacuran pun pindah ke kafé-kafé di jalan besar yang tak jauh dari Kramat Tunggak.

Menyambut Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada hari ini, kiranya perlu dipikirkan bagaimana kita tidak mempertentangkan lagi pendekatan moral dan hukum di satu pihak dengan pendekatan kesehatan masyarakat di pihak lain.

Pendekatan moral lazim berkaitan dengan upaya mengampanyekan hubungan seks yang ”halal” (hanya antara suami-istri yang sah). Misalnya kampanye ”Katakan Tidak untuk Seks di Luar Nikah” yang merupakan bentuk demand reduction (untuk seks komersial yang tidak ”halal”).
Namun, tak bisa dimungkiri kenyataan, sereligius apa pun suatu bangsa, tetap saja sekitar 20 persen kaum pria dewasanya melakukan hubungan seks bukan dengan pasangan tetap atau istri mereka.

Pendekatan hukum nyata dalam bentuk penutupan lokalisasi pelacuran dan razia para PSK, yang merupakan bentuk supply reduction. Padahal, praktik prostitusi mustahil hanya dibendung di hilir jika tidak digarap di hulunya, yaitu kemiskinan di perkotaan/pedesaan yang jadi pemasok para PSK.

Selama masih cukup banyak kaum pria ”jajan” dan sulit memberantas prostitusi, penggunaan kondom adalah upaya mengurangi kemudaratan (harm reduction), terutama bagi kaum pria yang tak bisa membendung hajat seksual mereka.

Seyogianya pendekatan hukum (supply reduction) dan moral (demand reduction) dalam penanggulangan AIDS di Indonesia tidaklah perlu dipertentangkan dengan pendekatan kesehatan masyarakat (harm reduction). Idealnya, ketiga pendekatan ini dipadukan menjadi ”Segitiga Pengaman”. Penganut dua pendekatan pertama tak boleh merasa pendekatan mereka yang paling benar dan memojokkan pendekatan ketiga. Sayangnya, pendekatan kesehatan masyarakat masih menjadi anak tiri di Indonesia.

Akankah kita biarkan makin banyak ibu rumah tangga dan bayi-bayi tertular HIV?
 Sumber dan Sember

Blog MAKE MONEY, click here please!