Waspada Unsur-Unsur Mitos dalam Niat Sedekah

Saat ini sudah sering ditemukan berbagai publikasi tentang testimoni kekuatan sedekah di beberapa media massa salah satunya yang paling populer adalah yang disponsori oleh PPPA Darul Quran, di bawah asuhan ustadz Yusuf Mansur. Dalam publikasi yang bersifat motivatif, bahkan cenderung provokatif tersebut mencoba menunjukkan bahwa sedekah memiliki kekuatan yang dahsyat, sehingga disebut sedekah sebagai solusi berbagai permasalahan hidup, seperti jodoh, rejeki, penyakit, hutang, piutang dan kesulitan lainnya. Bahkan dalam beberapa milis tersebar tulisan Ustadz Yusuf Mansur tentang rumus-rumus matematis pahala sedekah.


Dikatakan bahwa jika bersedekah, jangan hanya 2,5%, tetapi 10% sebagaimana didasarkan pada QS Al-An’aam: 160 ; “Barang siapa membawa amal baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, dan barang siapa yang membawa amal perbuatan jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedkitpun tidak dianiaya (dirugikan)”.
Menurutnya, pahala sedekah dapat dikalkulasi berdasarkan rumus matematika, yaitu: 10 – 1 = 19 (angka 1 dikalikan 10 kali lipat) dan 10 – 10 = 100 (angka 10 dikalikan 10 kali lipat). Sebagai contoh adalah seorang karyawan mempunyai gaji Rp. 1 juta dan dia memiliki pengeluaran rutin Rp. 1,5 juta. Kemudian dia bersedekah 2,5% dari penghasilan. Maka dapat perhitungan sebagai berikut: sedekah 2,5% dari Rp. 1.000.000 = Rp. 25.000, sehingga tercatat di atas kertasRp. 1.000.000 -  Rp. 25.000  = Rp. 975.000.Tapi Rp. 975.000 bukan hasil akhir, karena Allah akan megembalikan lagi 2,5% dari yang dia keluarkan sebanyak 10 kali lipat atau sebesar Rp. 250.000,-. Sehingga, dia akan mendapatkan rezeki min haitsu laa yahtasib (rezeki tak terduga) sebesar: Rp. 975.000,- + Rp. 250.000,- = Rp. 1.225.000,-. Masih minus Rp. 275.000,- karena pengeluarannya Rp. 1,5 juta.

 
Pemasukan
Pengeluaran
 
                  1,000,000
                1,500,000
Sedekah 2,5%
                     (25,000)
 
Saldo Sementara
                     975,000
 
Saldo + dari Allah
                     250,000
 
Saldo setelah sedekah
                  1,225,000
                1,225,000
Masih minus
 
                  (275,000)

Simulasi sedekah 10%

Sedekah 10% dari Rp. 1.000.000,- = Rp. 100.000,-, maka tercatat di atas kertas Rp. 1.000.000,-  -  Rp. 100.000,- = Rp. 900.000,- Memang kurangnya lebih banyak, tapi ini belum hasil akhir karena Allah akan megembalikan lagi 10% dari yang dia keluarkan sebanyak 10 kali lipat atau sebesar Rp. 1.000.000,-. Sehingga dia bakal mendapatkan rezeki min haitsu laa yahtasib (rezeki tak terduga) sebesar:Rp. 900.000 + Rp. 1.000.000 = Rp. 1.900.000. Dengan perhitungan ini, dia “berhasil” mengubah penghasilannya menjadi melewati angka pengeluaran yang Rp. 1,5 juta itu. Bahkan ada kelebihan saldo Rp. 400.000,-.


 
Pemasukan
Pengeluaran
 
                  1,000,000
                1,500,000
Sedekah 10%
                    (100,000)
 
Saldo Sementara
                     900,000
 
Saldo + dari Allah
                  1,000,000
 
Saldo setelah sedekah
                  1,900,000
                1,900,000
Punya saldo lebih
 
                  400,000

 Pahala Bersifat Spiritual


Dari pemaparan ustadz Yusuf Mansur tersebut, semua sepakat kiranya umat untuk terus berusaha meningkatkan sedekah, karena harta adalah titipan Allah yang harus di-tasharrufkan secara benar dan sebagian merupakan hak bagi ashnaf yang telah diatur sedemikian rupa dalam nash.

Namun, gagasan dan ide pembuatan rumus pahala sedekah ustadz Yusuf Mansur perlu dikritisi lebih jauh. Kita paham dan mengerti bahwa ustadz Yusuf Mansur berupaya agar umat termotivasi untuk meningkatkan semangat bersedekah, karena keagungan nilai yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, tentu upaya tersebut jangan sampai berakibat pada penempatan agama sebagai ”monumen spirit” yang berwatak pragmatis dan sempit.

Menurut penulis, masalah sedekah bukan hanya sekedar urusan hitung-hitungan angka (matematis) seperti yang ditulis ustadz Yusuf Mansur yang dapat dihitung "keuntungannya", tetapi sedekah sangat terkait dengan tingkat keikhlasan sebagai manifestasi  iman pemberinya. "Keuntungan" spiritual sedekah tidak dapat disamakan seperti menghitung keuntungan yang dijanjikan oleh bisnis multilevel marketing, seperti emway, CNI dan lain-lain, yaitu ketika meraih sekian poin maka akan mendapatkan keuntungan sekian. Namun "keuntungan" sedekah itu bersifat spiritual dimana hanya Allah yang tahu, yang tidak selalu bersifat linier bahwa ketika mengeluarkan sekian, maka akan mendapatkan sekian.

Jika "keuntungan" sedekah dihitung dengan kalkulator, meski rumus tersebut hanya bersifat perumpamaan, hal tersebut dikhawatirkan dapat menyeret fungsi agama menjadi "mitos-mitos" atau khayal-khayal. Jika si pemberi sedekah dengan bayangan kalkulatifnya ternyata tidak mendapatkan balasan, maka yang bersangkutan dapat sangat kecewa dengan Tuhan yang menjanjikan itu. Anggapan "keuntungan" sedekah 2,5% yang dianggap tidak mencukupi "balasan" dari Tuhan, kemudian ditambah menjadi 10% yang secara kalkulatif lebih “menguntungkan, lebih banyak bermotivasi pragmatis. Jika rumus hitungan 10% dari penghasilan 1.000.000 - 100.000 (10%) = 900.000,- plus "balasan" dari Tuhan sebesar 10 kali lipat sebanyak 1.000.000,-, maka pemberi akan mendapatkan balasan pahala 1,9 juta. Jika demikian adanya, kenapa si pemberi sedekah tidak merelakan 50% sekalian, sehingga 1.000.000-500. 000,- = 500.000, sehingga jika ditotal dengan "bonus" nya kelak, maka pemberi sedekah akan mendapatkan 500 ribu plus 5 juta (500 ribu x 10), sehingga berjumlah 5,5 juta. Bukankah bersedekah 50% lebih untung besar dari sekedar 10%? Akibat dari hal tersebut, si pemberi sedekah hidup dalam lamunan “pahala” kalkulatif yang tidak jelas (abstrak) dan menghitung pahala seperti menghitung bonus bisnis.

Dengan hitungan rumus matematis pahala di atas, bagi penulis, hal tersebut mengandung unsur "mitologi" agama, sehingga posisi agama menjadi tidak raalistik. Agama seperti diletakkan pada ranah “pemadam kebakaran” yang menumpukan kekuatan sedekah dengan seluruh keajaibannya. Paradigma berfikir seperti ini tidak memandang agama sebagai riil norma spirit yang bersifat panduan hidup secara totality, tetapi agama cenderung dilihat sebelah mata yang bersifat parsial-pragmatis. Dalam konteks ini, agama lebih banyak berfungsi “tidak rasional” dan cenderung mitologis.   

Dapat dibayangkan bagaimana jika seseorang yang dijadikan perumpamaan hanya bergaji 1 juta, kemudian diminta mengeluarkan 100 ribu (10%), sementara dalam hitungan angka kebutuhan setiap bulannya telah sedemikian pas, bahkan cenderung minus. Akibatnya, dia bersedekah berdasarkan pengharapan pahala yang bersifat abstrak, bukan berdasarkan prinsip kewajiban setiap harta kekayaan yang terdapat hak orang lain. Konsekuensi dari pemikiran ini, jika ternyata hitungannya tidak atau belum dikabulkan oleh Allah dalam sebulan berjalan kebutuhan, maka yang terjadi adalah si pemberi sedekah akan sangat kecewa dengan Allah, dan dapat “menjebloskan” pada kepercayaan mitologis yang rentan bagi rusaknya keimanan.

Oleh karena itu, bagi penulis, kerangka berfikir yang pas dalam permasalahan sedekah dan upaya memotivasi umat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas sedekah adalah: mari tingkatkan amal sosial dengan bersedekah wajib (zakat), minimal 2,5% (sesuai ketentuan) dan mari tingkatkan infaq dan sedekah jariyyah sesuai kemampuan dan keikhlasannya, insya Allah, Tuhan akan membalas yang pantas bahkan lebih dari sekedar pantas. Cara berfikir sederhana ini, mengingatkan pada sosok Ja`far Ash-Shadiq, tokoh Syiah yang membagi ibadah manusia kepada tiga jenis; ibadah hamba sahaya, pedagang, dan orang merdeka (hurr).

Ibadah hamba sahaya adalah mereka yang melakukan sesuatu karena takut hukuman tuannya. Orang seperti ini dapat diumpamakan bahwa ketika Allah tidak menciptakan neraka pasti lah dia tidak akan pernah mau beribadah kapada-Nya.

Sementara ibadah pedagang (tujjar) adalah orang yg melakukan sesuatu karena ada keuntungan di dalamnya. Orang seperti ini tidak akan melakukan sesuatu (ibadah) jika tidak jelas keuntungannya (pahala). Tipologi orang seperti ini akan selalu hitung-hitungan dalam segala hal, termasuk ibadahnya kepada Allah  SWT. Shadaqah 1000 perak misalnya di malam lailatul qadr yang lebih baik dari seribu bulan, maka dia langsung mengalikannya dengan seribu, demikian juga kebaikan-kebaikan (ibadah) lainnya. Andai Allah tidak ciptakan surga, jenis orang seperti ini pasti tidak akan pernah mau beribadah.

Sedangkan orang merdeka (hurr) adalah orang yang melakukan sesuatu karena kesadarannya. Ia beribadah karena ia menganggap bahwa ibadah itu wajib baginya, sebagai ekspresi syukurnya kepada khaliq-Nya. Ali bin Abi Thalib pernah berkata; aku menyembahMu bukan karena takut neraka-Mu, bukan pula karena mengharap surga-Mu, tapi aku dapatkan bahwa Engkau sungguh layak untuk aku sembah.
Terkait dengan masalah ini, hal yang perlu ditekankan adalah bahwa bersedekah adakalanya yang wajib (zakat), dan ada kalanya sunnah. Jika kita ingin beramal sedekah harus dilandasi dengan keikhlasan yang tinggi, sehingga seluruh kehidupan, kita serahkan kepada Allah, terserah Allah ingin membalas seberapa banyak dan/atau dalam bentuk apa. Ingat, rejeki yang diberikan oleh Allah tidak selalu dalam bentuk ekonomis yang dapat dikuakulasi dengan angka-angka, tetapi dapat pula dalam bentuk lain yang kadang tidak bisa diukur yang tak ternilai.

Dalam salah satu hadits Nabi diceritakan bahwa ada seorang ahli maksiat yang terbiasa membunuh orang, mencuri, berzina, minum khamr dan lain-lain ingin bertaubat. Dia sangat menyesali atas perbuatan-perbuatannya dan akan bertaubat. Namun dia tidak mengerti bagaimana caranya. Keinginan untuk kembali kepada kesucian begitu menggebu, tetapi karena tidak memiliki pengetahuan bagaimana caranya, maka dia pun stress. Dalam kegelisahan dan keinginan yang kuat untuk bertaubat, pada saat melewati sebuah jalan, si ahli maksiat tersebut menemukan seekor anjing yang sedang sekarat karena kehausan. Spontanitas, si ahli maksiat memberinya air dalam bejana dan lambat laun anjing itu pulih seperti sedia kala. Tidak lama peristiwa itu berselang, si ahli maksiat meninggal dunia. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa karena perbuatan baik si ahli maksiat yang ikhlas tersebut, dia akhirnya masuk sorga. Subhanallah.

Contoh yang diceritakan dalam sebuah hadits tersebut cukup relevan dengan masalah yang diangkat dalam judul tulisan ini, bahwa dalam amal perbuatan baik, hal yang terpenting adalah keikhlasan dan motivasinya hanya semata-semata karena Allah dan di dalam hatinya tidak terbetik sedikitpun pengharapan kecuali ridha Allah. Allah membalas amal perbuatan baik orang karena keikhlasannya, bukan seberapa besar orang itu berbuat kebaikan (khususnya bersedekah). Karena keikhlasan akan mendatangkan barakah yang tak ternilai harganya. Dalam QS Al-Bayyinah (98) ayat 5 disebutkan: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas/memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

Oleh karena itu, marilah kita belajar ilmu ikhlas, dengan terus meningkatkan kuantitas sedekah. Karena peningkatan kualitas dan kuantitas amal shaleh merupakan manifestasi takwa yang senantiasa diseru oleh Allah dan Rasul-Nya. Balasannya? Serahkanlah kepada Allah semata dengan seluruh kearifan-Nya, dan jangan terlalu hitungan dengan-Nya. Memang Allah menjanjikan amal kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat, tetapi kita tidak perlu menghitung secara matematis yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah. Jika seorang hamba berhitung dengan Allah, maka Allah juga akan berhitung dengannya, karena Allah akan memberikan sesuatu sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab (Thobieb Al Asyhar, penulis buku, pengurus LBM-NU)
Sumber

Temukan Kebahagiaan Sejati DISINI