Sukses Detik.com dari Tangan Budiono Darsono


Hampir semua orang Indonesia yang melek internet kenal dengan Detik.com. Detik.com merupakan portal berita pertama di Indonesia yang didirikan oleh Budiono Darsono dan rekan-rekannya, Yayan Sopyan, Abdul Rahman, serta Didi Nugrahadi.

Ide untuk mendirikan Detik.com tercetus ketika terjadi krisis politik di tahun 1998. Kala itu, kantor tabloid Detik, tempat dia bekerja, diberangus bersama-sama majalah Tempo dan Editor. Justru pada saat kehilangan pekerjaan dan terjepit, ide kreatif Budiono muncul. Dengan bermodalkan semangat, tape recorder, dan HT (handy talky) sementara servernya nebeng di Agrakom (perusahaan IT), Budiono meliput peristiwa-peristiwa seputar unjuk rasa mahasiswa dan pergolakan politik yang memang sedang marak saat itu. Liputan pertama Detik.com adalah tragedi Semanggi 1998.


Pemilihan nama Detik.com terinspirasi karena Budiono memimpikan setiap detik selalu ada berita baru yang harus dipublikasikan. “Mengapa menunggu besok? Detik ini juga," begitulah slogan yang terpampang di blog resmi Budiono.

Masa-masa awal perjalanan Detik.com banyak menyita waktu dan tenaga Budiono. Setiap waktu harus mencari informasi, wawancara, menulis, dan posting. Sampai-sampai istri dan keluarga terlupakan. Kerja keras dan pengorbanan Budiono berbuah manis, Detik.com tetap eksis hingga saat ini, tidak seperti situs-situs berita lain seperti Satunet, Astaga, Koridor, Mandiri, yang tidak mampu bertahan. Bahkan sekarang Detik.com menjadi situs berita terbesar di Tanah Air

Sekarang dengan unique visitor sebanyak 650-700.000 per hari (1 unique visitor bisa mewakili 5 orang pembaca), tarif iklan Detikcom berkembang luar biasa. Yang paling mahal Rp 140.000.000 per bulan, sedang yang termurah Rp.20.000.000 per bulan. Budi menjelaskan, lantaran infrastruktur dan pembacanya tumbuh besar, mau tidak mau rate mereka ikut tumbuh.

Sukses Detikcom ini bukanlah semata-mata berkat faktor lucky, lantaran mereka hadir dengan timing yang tepat. Setidaknya ini dibuktikan dengan daya tahan (endurance) mereka menghadapi pecahnya “bubble” internet

Detik.com pun Dijual


Transaksi pembelian Detik.com oleh Chairul Tanjung pada pertengahan  tahun ini mengejutkan pelaku bisnis media di negeri ini. Belum lama ini Bisnis menemui Budiono Darsono salah satu pendiri Detik.com untuk berbincang mengenai awal pendirian dan  transaksi penjualan tersebut. Sebagai catatan, Detik.com yang dibangun dengan modal awal Rp40 juta setelah 13 tahun  dilego senilai US$60 juta. Berikut Petikan wawancara yg kami kutip dari www.bisnis.com.

Siapa saja yang  semula mendirikan Detik.com ?

Ada 5 orang, kami anggap ada dua babak sebagai founder. Abdul Rahman, Budiono Darsono, Didi Nugrahadi, Yayan Sopyan, dan Calvin Lukmantara. Yang pertama empat nama pertama yang disebut. Didi dan Yayan pada 2002-2003 melepas semua sahamnya ke kami; ke Abdul, saya, dan Calvin. Tiger Investment kemudian masuk sekitar 2004-2005 dan saham kami terdilusi.

Bisa anda ceritakan sejarah detik.com ?

Pada akhir 1996, Agranet publishing Internet, membuatkan situs. Aku Yayan, Abdul, Didi, sebelum ada Detik menggunakan nama PT yaitu Agranet. Setelah kami bisa bikin situs sendiri, kami dapat klien yaitu Kompas.com.
Waktu itu Kompas.com ingin redesign, kami mengajukan tender dan menang. Lalu kami taruh server-server mereka di AS. Kontennya merupakan pindahan dari edisi cetak. Dalam proses perjalanan ini, kami enggak punya uang. Servernya kan gratis pada waktu itu, masih kecil kapasitasnya.
Uang pertama itu kami dapat dari Kompas.com. Kami gunakan uang itu sebagai modal. Lalu kami bilang ke Kompas, ini tidak salah, tapi akan lebih baik kalau versi online itu isinya berita terus menerus, jadi jangan hanya memindahkan edisi cetak saja.
Klien-klien kami yang media itu tidak ada yang melakukannya. Akhirnya, kami putuskan untuk membuat sendiri.
Saya sempat bersumpah untuk enggak jadi wartawan. Waktu itu Berita Buana dibreidel, Detik dibredel. Kapok saya. Ganti profesi jadi web designer. Akhirnya membuat untuk contoh.
Kami bermimpi macam-macam. Kami mulai dengan satu jurnalis pada 9 Juli 1998 yang sampai saat ini masih bekerja bersama Detik.com. Investasi awal Rp40 juta. Web designernya 40 juta itu digunakan untuk membelikan server Kompas. Kami deal dengan sebuah perusahaan AS, beli US$20.000 untuk server Kompas.
Tapi saya dapat server gratis. Kalau enggak ada Kompas, enggak ada Detik. Meskipun tidak secara langsung, rejekiku dari Kompas. Dalam berbagai seminar, aku ceritakan, yang menghidupi Detik itu ya dari Kompas.
Proses 10 tahun itu, aku, Abdul, dan Calvin sering terlibat diskusi. Memang ada pemikiran bahwa kami ini sudah mentok. Kalau diteruskan memang tetap tumbuh, tapi harusnya bisa lebih. Di Indonesia, potensinya besar, harusnya bisa lebih tinggi lagi.

Dalam perjalanan selama 13 tahun, kapan Anda dan teman-teman merasakan sebagai masa terberat?

Pada 2000-2002. Itu karena kan persepsi dotcom hancur-hancuran. Di dunia, tidak hanya Indonesia, bubble dotcom pecah. Persepsi kemudian hancur. Detik.com pada waktu itu sudah mendapatkan iklan yang lumayan. Tapi persepsi dengan industri yang hancur-hancuran ini kan berpengaruh ke detik.com. Pada 2001 itu, kami sempat PHK [pemutusan hubungan kerja] 27 orang karena harus menyelamatkan Detik.com.
Pada waktu itu saya sempat berantem dengan Abdul karena dia menganjurkan untuk mem-phk karyawan. Saya bantah. Dia bilang,  di luar negeri perusahaan rugi saja PHK karyawannya, kami juga harus melakukan hal yang sama. Dia bilang kita harus rasional, kalau hanya emosional, Detik.com bisa bubar. Kemudian, dengan berat hati akhirnya memberhentikan pegawai. Tapi justru karena keputusan Abdul, Detik.com selamat.
Sebanyak 27 orang diberhentikan dari jumlah karyawan waktu itu yang  masih 80 orang. Abdul itu rasional banget. Saya Indonesia banget, memikirkan banyak hal. Tapi keputusan Abdul betul. Kalau tidak mengambil langkah itu, mungkin sudah gulung tikar. Pada 2002-an kami sudah lebih baik, sudah bisa menghidupi diri sendiri, tapi saya dan Abdul tidak menerima gaji. Karyawan juga masih telat mendapatkan gaji. Pada 2004, kami sudah untung. Awalnya untung kecil, tapi lalu naik, naik terus.
Setelah dapat uang dari Tiger, kami gelindingkan dan hidup sendiri. Malah uangnya Tiger utuh. Saya lupa angkanya. Tiger itu sempat marah, karena uangnya idle. Jadi kami punya cash banyak. Tiger tidak menaruh perwakilan di sini; hanya menaruh uang saja. Mereka percaya sekali. Kami itu meski perusahaan begini, kami pakai akuntannya Price Water House. Tapi rapor selalu kami kirim kepada mereka. Setelah Tiger masuk, kami terus tumbuh. Mereka basisnya di New York, AS. Banyak menanamkan modal di perusahaan dotcom.
Mereka rutin berkomunikasi dengan kami. Mereka sepenuhnya menyerahkan kepada kami. Kadang-kadang memberi saran, ide-ide. Pernah juga mengajak kami untuk melihat investasi lain di dotcom yang mungkin dikembangkan di Indonesia.
Yang paling penting target tercapai dulu tahun ini. Pada 2012, harapannya tentu ide untuk mencapai lebih dari 100% bisa tercapai, meski saya bukan lagi pemilik. Kalau tidak, bisa sedih, kan dilepas untuk mencapai target itu.

Bagaimana anda membagi peran dengan pendiri yang lain ?

Abdul lebih ke bagian keuangan, bisnis kita kelola bareng-bareng, sedangkan saya mengurusi konten.Saya berteman dengan dia dari Tempo. Dia dulu dari Tempo ke Swa. Abdul itu kuncinya. Satu hari saya kan pengangguran begitu Tabloid Detik dibredel saya kan enggak ada pekerjaan. Lalu oleh Majalah Swa saya diminta melatih wartawannya. Abdul redaktur eksekutif di Swa. Kalau selesai mengajar, saya suka ngobrol bareng Abdul. Karena sebelumnya kami sudah dekat. Dia sudah mengerti Internet,  saya enggak mengerti waktu itu. Dia satu-satunya di redaksi Swa yang berlangganan Internet dengan biaya sendiri.
Pada waktu itu masih based on text, enggak ada gambarnya. Saya masih belum jelas bisnisnya bagaimana. Abdul sudah memiliki gambaran. Dari situ saya lalu bercerita kepada Didi, tetangga saya. Dulu dia pegawai Bank Exim. Lalu kami bertiga. Lalu muncul Yayan. Sofyan, yang pernah redaktur budaya Tabloid Detik yang juga menganggur. Yayan sebelumnya mencari pekerjaan untuk adiknya. Yayan akhirnya bergabung. Lahirlah PT Agranet. Satu keajaiban, keberuntungan, pada akhirnya saya harus bilang saya mesti berhenti. Akan jauh lebih bagus ketimbang diteruskan. Semakin cepat pensiun, lebih bagus, akan ada regenerasi, lebih segar.

Bisnis model detik.com seperti apa ?

Awal-awal itu bisnis model yang menjadi perhatian. Ketika mengelola ini, ketika saya turun dari mobil, ada satpam yang jemput untuk mengambil tas. Enggak boleh. Tidak boleh juga satpam bersikap terlalu hormat kalau saya datang. Lalu saya juga tidak memiliki ruangan. Semua orang bisa bertemu saya kapan saja. Saya membayangkan ini kan sejak awal saya  itu bukan siapa-siapa. Kalau Budi bukan siapa-siapa, enggak disapa, ya saya enggak apa-apa.

Saya tekankan juga ke anak-anak. Mereka enggak boleh ke Detik.com. Magang pun enggak boleh, cari tempat lain.

Siapa orang yang menginspirasi Anda ?

Aku belajar nulis itu dari Fikri Jufri. Roh-nya dari Goenawan Muhammad. Dua orang itu duduknya di seberang saya waktu saya di Tempo. Fikri itu guru saya langsung. Bersama Goenawan banyak berdiskusi macam-macam. Yang memberikan kesempatan itu Eros Djarot. Di Tabloid Detik, dilepas, dikasih duit, diminta mengurus penuh. Tiga orang ini sangat berpengaruh hingga hari ini.

Soal divestasi Detik.com, apakah semuanya dilepas ?

Semuanya dilepas. Kalau kemarin [Anda bertanya tetapi tidak dijawab] bukan karena ada perjanjian enggak boleh ngomong, tapi karena belum ada cerita [soal harga]. Jadi susah ngomong. Nanti bilang iya, tidak, bilang tidak, ternyata iya, kan repot. Mendingan diem.

Sebelum transaksi komposisi kepemilikannya detik.com seperti apa ?

Aku nggak mau cerita detail ya. PT-nya itu bernama Agranet, yang pemiliknya Budiono Darsono cs dan Tiger. Tiger ini dari Amerika Serikat sedangkan mayoritas Budiono cs. Yang diakuisisi dalam transaksi ini adalah 100% saham PT Agranet.
Negosiasi penjualan detik.com berlangsung 2 tahun, bisa diceritakan prosesnya ?
Pada tahap awal dulu itu tidak sepakat, ada perbedaan di harga.  Dua tahun itu mereka [CT Corp] gigih. Pak CT [Chairul Tanjung] menilai new media ini bisnis masa depan, akan tumbuh terus. Pertumbuhannya bagus namun kami sempat tidak sepakat pada harga. Tetapi setelah itu tidak berhenti. Setiap saat menanyakan. Mereka juga menaikkan harga akuisisi. Kami masih belum sepakat. Proses sampai menemukan kecocokan harga justru mendadak, kilat.
Prosesnya tergolong cepat. Kenaikan harga yang mereka tawarkan juga signifikan. Di samping soal harga, ada alasan kami harus melepas. Antara alasan dan harga itu nyambung. Alasannya yang pertama, kami sudah 13 tahun mengelola ini, saya dan Abdul Rahman.

CEO-nya itu Abdul Rahman, saya wakil CEO. Selama 13 tahun itu kan kami memiliki banyak obsesi. Memang kami setiap tahun keuntungan bisa tumbuh 100%, tetapi ini nominal yang jauh dari impian.
Tahun lalu, laba bersih kami kira-kira Rp20 miliar, tahun ini Insya Allah bisa Rp40 miliar. Ada pertumbuhan yang setiap tahun mencapai 100%. Tetapi bayangan kami, pertumbuhan itu masih jauh dari yang bisa kami capai. Karena kami tidak memiliki lebih banyak resources. Misalnya begini, kalau kami ingin investasi yang nilainya Rp30 miliar kan mikir. Kalau kami lakukan ada kemungkinan laba yang kami hasilkan habis. Banyak potensi besar yang tidak bisa kami ambil karena keterbatasan, tidak hanya finansial.
Kalau ingin bersinergi misalnya, ya kami tidak memiliki apa-apa. Detik.com kan hanya Detik.com tetapi tidak memiliki resources lainnya. Ini menjadi obsesi bagi kami. Satu hal yang bisa kami lakukan adalah detik.com akan dapat tumbuh besar kalau diambil oleh grup yang tepat. Grup yang memiliki sumber daya dan finansial. Selama proses pemikiran untuk melepas detik.com yang tertarik bukan hanya Pak CT. Ada banyak pihak, baik dari pemain lokal maupun dari luar negeri,  ada 3 hingga 4 pihak.

Kalau pada era 2003-2004 pemain dari luar yang datang. Mereka umumnya menaruh uang saja. Sejak tiga tahun lalu, pemain lokal juga mulai tertarik. Pada proses ini kami mulai memilih siapa pihak pembeli yang tepat. Kami bertemu langsung dengan CT Corp. Tidak melalui pihak ketiga.

Peralihan kepemilikan ini apa menjamin semua rencana Detik.com akan selaras dengan yang keinginan CT Corp ?

Mereka itu memiliki obsesi yang sama. Jadi obsesi saya itu, saya boleh sebut 99% sama dengan CT Corp. Idenya sama. Karena kita punya ide dan gagasan yang sama untuk mengambil potensi yang besar itu maka posisi Abdul Rahman akan tetap dipertahankan setelah perubahan kepemilikan. Saya juga tetap dipertahankan sebagai direktur untuk konten dan pemimpin redaksi. Kami sedang menyusun komposisi direksi. Tapi saya sudah diminta secara resmi. Abdul juga demikian.

Faktor apa lagi yang akhirnya membuat akuisisi ini terlaksana?

Saya dan Abdul kan bisa dibilang manajemen amatiranlah. Aslinya kan kemampuannya menulis. Kami tahu 13 tahun ini tumbuh dan bagus, tapi harusnya sebulan ini bukan Rp15 miliar, harusnya angkanya sudah Rp100 miliar.
Kenapa tidak bisa ?
Kami sendiri terobsesi. Jadi justru kalau ingin membawa Detik.com lebih besar, harus dilepas kepada yang lebih mampu. Jatah saya hanya sampai di sini. Kami tahu dirilah.

Bagaimana transaksi penjualan Detik.com bisa dituntaskan ?

Kebanyakan enggak formal, bukan suasana yang formal. Bukan dalam kaitan negosiasi. Matching justru di layer-layer informal. Kalau formal itu justru enggak ketemu. Kami sering bertukar ide menggunakan social media, twitter misalnya. Dari situ chemistry itu muncul. Justru tidak terucap. Baru setelah ini, oke, baru terucap. Tapi banyak yang tidak terucap. Selama 2-3 hari kita sudah teken. Ini mengalir dan sangat cepat. Dari pihak sini maupun Pak CT.

Ada perasaan menyesal ?

Jangan pernah menyesali apa yang kita lakukan.

Obsesi setelah ini apa ?

Saya hanya ingin membuka warung kopi. Saya tidak memiliki pemikiran untuk membuat bisnis serupa Detik dan mengulang kesuksesannya. Mustahil. Detik.com itu lahir, sukses, karena ada kondisi-kondisi tertentu. Momentum itu tidak dapat diulang. Misalnya, detik.com sebagai pionir. Kalau saya buat lagi kan bukan pionir tapi pengikut. Saya tidak pernah bermimpi mengulangi sukses pada hal yang sama.

Ide warung kopi dari mana ?

Saya dengan Hana, istri saya, sudah lama berpikir, kami harus punya aktivitas yang kami senang. Saya pengen punya warung, yang saya ikut bekerja di situ. Enggak hanya saya jadi bos. Harus melayani sendiri. Warung kopi. Sekarang kami belajar. Saya dan istri pergi berkeliling untuk mencari konsep. Saya bertemu istri saya di Surabaya Post, dia wartawan juga. Menikah 1989. Dengan dua anak.

Anda dulu sempat bermain di koran siang....

Banyak orang keliru menganggap kami ingin bikin koran. Tapi itu adalah biaya promosi. Biar tidak hanya sekedar promosi, kami ingin menghasilkan sensasi. Kami bikin koran, terbit dua kali, siang dan sore. Itu kalau akal sehat aja jontor jalanin begitu. Anggarannya Rp300 juta untuk 3 bulan. Setiap hari terbit. Edisi siang 10.000 eksemplar, edisi sore 6.000 eksemplar.
Kami sebar seolah-olah menggunakan agen. Pada waktu itu kami menjembatani pembaca untuk mengakses dotcom. Situasinya kan beda. Mereka harus dikasih koran untuk membawa ke konten dotcom. Selama ini kan kami juga tidak anti cetak. Setelah 3 bulan, kami putuskan untuk berhenti.

Kalau berbicara dukungan finansial, ada banyak opsi lain seperti IPO dan obligasi yang bisa diambil. Kenapa ini tidak dijadikan pilihan ?

Kami sudah memikirkan pilihan-pilihan itu, tapi enggak lah. Kembali lagi kami memikirkan bahwa kami ini manajemen amatir. Beruntung 13 tahun bisa seperti sekarang ini. Kami tahu, sebagai pemilik kami sampai di sini. Kami mendapatkan pihak yang datang dari chemistry yang sama, pandangan yang sama, dan sepakat perihal pricing.

Soal karyawan pascaakuisisi bagaimana?

Semua karyawan sudah kami ajak berbicara. Pak CT itu kan datang untuk mencari resources baru, bahkan mereka tekankan usahakan tidak ada satu pun yang keluar. Jumlah karyawan sekitar 320 orang ini resources baru. Marketing dan sales juga demikian. Apalagi bisnis dotcom itu berbeda, misalnya dengan televisi dan media cetak, skill-nya khusus.

Uang dari penjualan detik.com ini mau diinvestasikan kemana ?

[Sampai sekarang] Saya masih bekerja
Sampai kapan ?
Sampai Pak CT butuh saya. Tapi regenerasi harus terjadi, semakin cepat, semakin bagus. Enggak bagus orang terlalu lama di sini. 13 tahun jadi pemimpin redaksi, menurut saya, itu ngawur. Ha-ha-ha.
Apa rencana setelah pensiun ?
Saya mau pensiun buka warung kopi. Ketika Berita Buana dibredel pada 1990. Saya ke Parung di kompleks baru jualan beras dan lain-lain. Kira-kira 7 bulan, datang Ali, sekretaris Eros Djarot minta tolong untuk menjalankan Tabloid Detik. Berangkatlah saya bantu dia. Setahun kemudian, dibredel bareng Tempo dan Editor.

Rencana bisnis Detik.com seperti apa setelah transaksi penjualan ?
Kami masih menggunakan business plan yang ada, yang sudah dibuat sebelum akuisisi, hingga akhir tahun ini. Setelah itu, baru akan ketahuan, berapa suntikan dana yang dibutuhkan. Secara arus kas, kami masih sangat bagus. Tahun ini kami anggarkan sekitar Rp20 miliar, kebanyakan untuk teknologi informasi karena kami banyak mengembangkan aplikasi. Kami juga menambah kapasitas server dan sebagainya.

Apa yang sudah dan belum sampai Desember ?

Proyek baru banyak, kami tetap dalam schedule yang sama. Seperti mengubah desain tepat pada 9 Juli. Detikkios misalnya, khusus untuk iPad. Kami mengundang semua penerbit untuk berjualan di detikkios. Semacam pengecer, dengan pembagian Apple 30%, detik.com 30%, penerbit 40%. Ini sudah di-approve oleh Apple.
Ini sederhana sekali, pemilik konten hanya mengirimkan file PDF. Platform sementara ini di iPad. Nanti kami juga akan melihat Android dan RIM. Tapi yang paling siap kan iPad. Detikkios ini dikembangkan sendiri. Kami punya jagoan-jagoan. Kami juga mengembangkan aplikasi di luar detik.com tetapi sebenarnya ini sinergi. Kami misalnya telah meluncurkan Makan Di Mana.
Lalu kami luncurkan Masak Apa, di beragam platform; BlackBerry, Android, iPad. Aplikasi ada foto, resep. Misalnya orang di supermarket, dia bisa melihat bahan-bahan apa yang diperlukan untuk membuat masakan. Sesampainya di rumah, dia juga bisa melihat lagi cara memasaknya. Kalau aplikasi Makan Di Mana akan membantu pengguna mencari tempat makan. Misalnya dia ada di satu tempat, tinggal gunakan aplikasi ini, nanti akan tampak hasil tempat-tempat makan di sekitar itu. Kami juga memiliki Detikdeal. Ini yang sepertinya membutuhkan resources besar karena kami serius di commerce.

Masa depan Detik.com akan bergantung pada layanan apa ?

Ke depan itu ada dua hal yang perlu dilihat di new media. Pertama adalah tetap web, yang kedua mobile berbasis aplikasi. Karena itu, detik.com harus main di aplikasi. Kami juga mengembangkan aplikasi alamatku. Itu sudah dalam proses. Aplikasi di mana orang mencari alamat. Ini akan digabung dengan peta. Model bisnisnya akan ada misalnya iklan. Sekarang layanan sejenis tersedia dengan nama bukukuning.com. Nanti akan dikembangkan di dalam aplikasi alamatku.
Bagaimana mengenai rencana sinergi dengan media di bawah CT Corp [Ada Trans 7 dan Trans TV] ?
Kami sedang membahas. Belum bisa secara detail diceritakan. Kami juga akan membahas sinergi seperti apa. Ada beberapa contoh grup besar yang mencoba menyinergikan beragam konten tapi gagal. Ini akan menjadi pengalaman dan memberikan pelajaran. Tim ini solid. Tidak ada resistensi. Saya percaya tidak. Saya tekankan ini yang berubah hanya kepemilikan. Ke keluarga semua juga begitu. Ke istri dan anak-anak.

Proses kaderisasi yang Anda persiapkan seperti apa ?

Bagus, selama 2 tahun terakhir ini, sebetulnya saya lebih seperti pemimpin redaksi korporat. Di level wakil pemimpin redaksi ada dua orang. Mereka yang menjalankan operasional, meski saya tetap mengecek. Mereka sudah jagoan operasional, naluri sudah jalan. Naluri untuk melihat konten mana yang menarik dan perlu dikembangkan. Kalau jaman dulu kan enggak punya alat untuk mendeteksi, sekarang kan bisa real time untuk mengetahui mana yang sedang banyak dibaca. Skenario apa yang dipersiapkan untuk Detik.com? Saya enggak tahu karena saya bukan lagi pemiliknya. Saya yakin Pak CT memiliki skenario yang terbaik untuk Detik.com. Ada atau pun tidak ada saya dan Abdul.

Di Indonesia perbedaannya apa?

Di luar, seperti Spanyol dan Inggris, online advertising mengalahkan TV, apalagi cetak. Kenapa? Karena industrinya jalan, satu sama lain. Pemahaman juga terjadi. Di sini masih susah. Misalnya di biro iklannya belum paham, kliennya juga. Seiring dengan pertumbuhan ini, harusnya industri ini bergerak. Nah pergerakan ini bisa terjadi kalau betul-betul digali. Kalau di luar negeri, pemilik media cetak berani menutup media cetaknya dan pindah ke online. Berani mereka mengambil keputusan seperti itu.
Di sini? Enggak berani. Aku sudah bilang, cetak boleh mati, tapi media enggak akan mati. Di sini banyak yang mengerjakannya setengah-setengah. Nanti terlambat bisa enggak kebagian. Makanya kita lihat banyak yang gagal masuk ke online karena ragu-ragu. Kami pernah menerima kunjungan dari salah satu koran tertua di Denmark. Mereka datang ke Detik.com. Mendengar Detik.com sebagai media online pertama di dunia.
Mana sih media yang pertama murni menjalankan rule media online. Mereka belajar, 3 bulan kemudian, koran itu menutup edisi cetaknya, pindah ke online. Mereka mendapatkan iklan besar-besaran karena perubahan ini. Karena ketika koran itu tutup, pembaca mau enggak mau kan ke versi onlinenya. Saya memiliki keyakinan yang besar karena ada contohnya.(ratna.ariyanti@bisnis.co.id/munir.haikal@bisnis.co.id)

Informasi Laptop, Komputer, Virus, Jual-Beli Bekas, click here!