Ini adalah kisah sukses yang inspiratif. Mahmudi, pria asal
Tulungagung, Jawa Timur, ini kini menjadi pengusaha sukses di Jepang.
Lebih dari itu ia berasal dari keluarga sederhana bahkan bisa dibilang
berkekurangan.
Saat masih duduk di bangku SMP, misalnya, ia mengaku mencari uang untuk
biaya hidupnya dengan memanjat pohon kelapa untuk memetik buahnya.
Upahnya hanya Rp100 per buah.
Setelah tamat SMP ia melanjutkan sekolah
ke ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Tulungagung. Hanya saja, baru
beberapa bulan orangtuanya tak mampu bayar SPP dan uang sekolah lainnya.
“Tapi saya ingin menyelesaikan sekolah,” katanya pada Net TV.
Karena tekadnya sudah bulat, agar bisa tetap sekolah ia meminta bekerja
di sekolah sebagai tukang sapu. Dengan cara begitu, ia tak hanya dapat
penghasilan dan melanjutkan sekolah di tempatnya bekerja, malahan segala
biaya sekolah digratiskan sekolahnya. Akhirnya ia pun lulus.
Namun setelah lulus tak mudah mendapat pekerjaan. Mahmudi bahkan harus
mencangkul di sawah untuk mendapatkan uang. Karena ingin berkembang, ia
mengembara ke Bali. Di sana ia melihat para pekerja hotel yang
berpakaian rapi mengenakan dasi. Terpikirkanlah untuk bekerja di hotel.
Kebetulan ia menemukan lowongan. Lalu ia memberanikan diri melamar.
Ketika wawancara ia ditanya, “Kamu bisa bahasa asing, gak?” Karena ingin
meyakinkan ia menjawab, “Bisa, bahasa Suriname. Suriname itu kan
bahasanya bahasa Jawa...,” katanya tergelak. “Wah, kalau itu gak ada
tamunya. Kamu harus bisa bahasa Jepang, bahasa Inggris, atau lainya.”
Namun akhirnya ia bisa bekerja juga di hotel itu tapi harus sambil
kursus bahasa Jepang. Akhirnya ia bekerja sambil kursus. Tetapi ia
merasa kesulitan mengikuti kursusnya. Bahkan guru lesnya menyebut
dirinya bodoh. Mahmudi sendiri mengaku ia seorang yang bodoh. Saat di
MAN dari 14 murid sekelasnya, ia selalu mendapat ranking ke-14.
Tetapi ia tak mau berhenti. Karena kesal gurunya itu akhirnya meminta
Mahmudi praktek berkomunikasi langsung dengan orang Jepang di Bali. Maka
ia dipertemukan dengan seorang perempuan Jepang di Bali. Setelah
beberapa lama ia jatuh cinta pada gurunya itu dan menikahinya. Setelah
menikah mereka hijrah ke Jepang tahun 2001.
Di Jepang Mahmudi mengawali kariernya bekerja di hotel sebagai tukang cleaning service,
membersihkan toilet, selama satu tahun. Karena bahasa Jepangnya belum
lancar ia pindah jadi tukang bangunan karena lebih memungkinkan bisa
melancarkan bahasa Jepangnya. Ia tak peduli bayarannya berapa. Salah
satu “gurunya” adalah seorang pria pensiunan dari sebuah perusahaan yang
sama-sama bekerja di perusahaan itu. “Orangnya sudah sepuh tapi dia
mantan bos, perusahaannya bangkrut,” katanya.
Suatu kali ia bicara ke orang tua itu. “Mau gak jadi bos lagi?”
tanyanya. Ternyata mau. Maka Mahmudi berpatungan dengan temannya itu
mendirikan perusahaan sendiri di bidang travel. Temannya sebagai
direktur, ia sebagai wakilnya. Karena di Jepang orang asing sulit
memiliki perusahaan akhirnya ia menggunakan nama mertuanya sebagai nama
tambahan. Jadilah Mahmudi Fukumoto.
Yang menarik, karena ia tak memiliki kemampuan bagaimana menjalankan
bisnis, ia meminta pada temannya itu untuk sekalian jadi sopirnya.
Karena itu ke mana-mana mereka pergi berdua. Bagi Mahmudi ini adalah
cara menyerap ilmu yang efektif. Lama-lama ia mengenal relasi temannya
itu sampai akhirnya temannya itu pensiun dan ia menjadi CEO di
perusahaan bernama Keihan Co. Ltd yang kini tak hanya bergerak di bidang
travel tetapi juga di bidang mainan anak-anak dan kontruksi. Apa kunci
suksesnya? Ternyata menyadari kekurangan sendiri memunculkan cara
efektif menjadi sukses. “Karena saya tidak memiliki kemampuan maka saya
harus menggandeng orang yang punya kemampuan,” ujarnya.
Banyak dari kita yang justru sebaliknya: tak memiliki kemampuan tapi
pura-pura tahu. Itu justru membuat kita sulit berkembang. Karena itu,
filosofi yang diterapkan Mahmudi Fukumoto sangat menarik untuk kita
kembangkan dan terapkan.
sumber