Filosofi dibalik kata 'Rapopo'


Belakangan ini, ada sebuah ungkapan bahasa Jawa yang sedang sangat tren disebut-sebut oleh semua kalangan. Dari anak muda, bahkan dewasa, kerap menggunakan ungkapan tersebut, baik dalam kondisi bercanda ataupun serius. Ungkapan tersebut adalah rapopo atau lengkapnya, aku rapopo.

Secara harfiah, ungkapan tersebut berarti "saya tidak apa-apa". Entah, siapa yang kali pertama memopulerkan ungkapan tersebut. Namun, ada salah satu kejadian yang paling bisa kita ingat yakni ungkapan itu muncul dari Bu Rismaharini—Wali Kota Surabaya—yang saat itu sedang menghadapi dilema soal kepemimpinannya. Bu Risma—panggilan akrabnya—menghadapi kendala soal kebijakan yang dikeluarkannya, sehingga beberapa pihak “menjegal”, yang lantas membuatrnya sempat ingin turun dari jabatan wali kota.


Ungkapan yang disebut Bu Risma sebenarnya adalah sebuah sebutan bahwa beliau ikhlas dengan apa pun yang akan terjadi terkait dengan peristiwa yang dialaminya. Karena itu, rapopo menjadi sebuah ungkapan yang menenangkan, membuat hati dingin, dan jiwa pun lapang. Sederhana tampaknya, tapi ungkapan itu memang mengandung makna yang amat dalam. Sayangnya, belakangan ungkapan tersebut malah “beralih” status menjadi semacam olok-olokan. Berbagai hal yang dianggap lucu, unik, atau bahkan ejekan, ditempeli dengan kalimat aku rapopo. Mulai dari sindiran soal kampanye politik, hingga ungkapan bernada ledekan antarteman di media sosial.

Sejak kecil, sebenarnya saya—sebagai orang yang terlahir dari latar belakang lingkungan berbahasa Jawa—rapopo adalah hal yang sangat biasa diucapkan. Saat terjatuh, meski lecet dan berdarah, asal masih bisa bermain, ucapan aku rapopo akan keluar. Saat sedang bersedih karena suatu kejadian, ketika ditanya teman, agar tak berkepanjangan, biasanya kalimat yang segera terucap juga aku rapopo.

Maka, menurut saya, setidaknya ada dua hal yang bisa kita pelajari dari ungkapan rapopo ini. Pertama, soal keikhlasan atau kelapangan hati. Seperti yang dialami Bu Risma, rapopo yang diucapkan adalah sebuah “tanda” bahwa meski beliau merasa tertindas, tapi beliau pasrah dengan kondisi yang dialaminya. Tentu, bukan pasrah bersikap pasif. Tapi, dengan kejadian yang dialaminya, beliau menerima dengan lapang dada dan memilih untuk tidak mempermasalahkan kondisi yang menerpa.

Begitu pula kita dalam hidup. Saat mengalami kejadian yang tidak mengenakkan, pilihan ada dua: jalan terus dengan melupakan hal yang sudah terjadi atau memilih untuk mempermasalahkan kondisi tidak enak yang kita alami. Pilihan pertama biasanya justru akan membuat kita lebih fokus untuk bekerja lebih maksimal. Gampangnya, peristiwa yang sudah, ya sudahlah. Buat apa mempermasalahkan yang sudah terjadi? Sebaliknya, kadang kita sering kali terpancang pada upaya untuk terus mengusahakan agar masalah yang sudah terjadi bisa terselesaikan agar benar-benar lega. Sayang, ujungnya, malah kita terus berkutat pada masalah yang itu-itu saja sehingga “lupa” untuk maju dan mengerjakan hal lain yang sebenarnya jauh lebih bermanfaat. Tak salah memang untuk berusaha menyelesaikan sebuah persoalan. Tapi, kalau sampai berlarut-larut, ada baiknya kita memilih rapopo meninggalkannya, dan melangkah untuk hal lain yang lebih bermanfaat.

Hal tersebut berkait dengan hal kedua yang bisa kita dapatkan dari intisari soal ungkapan rapopo. Nilai kedua tersebut bagi saya mengajarkan agar kita sadar, sepanjang diri masih bekerja, berkarya, berjuang, tak mengapa kita luka, yang penting masih bisa terus jalan. Ibarat ungkapan, sepanjang hayat masih di kandung badan, maka jangan khawatir untuk terus berjalan dan berjuang. Di sinilah konsep rapopo mengandung “kekuatan” untuk mendorong agar kita mampu terus berkarya, apa pun kondisi yang kita alami sebelumnya. Maka, sepedih apa pun hasil yang kita alami, sesulit apa pun yang sedang kita rasakan, sesukar apa pun kondisi, kalau masih bisa jalan, rapopo. Itulah nilai yang seharusnya bisa membuat kita mampu tegar.

Inilah konsep aku rapopo dalam konteks sebenarnya yang pernah saya rasakan. Rapopo bukan sekadar ungkapan canda belaka. Tapi, memiliki arti sangat dalam untuk meyakinkan diri agar mau dan mampu terus berjuang. Dengan pendekatan semacam itu, rapopo menjadi semacam “mantra” agar kita mampu kokoh berdiri tegak di tengah hantaman badai ujian dan rintangan kehidupan. Nikmati saja ujian itu. Cari aspek pembelajaran yang bisa kita jadikan evaluasi untuk mewujudkan impian. Terus melangkah meski kadang terseok. Pelan tapi pasti, jalan menuju sukses yang kita dambakan bakal jadi kenyataan indah.

Kamu rapopo? Aku juga rapopo. Jadi, mari teruskan langkah. Lanjutkan perjuangan. Indonesia maju dan berkarya, pasti bisa!

  SUMBER TULISAN