Abdul Mukti (56) bukan aktivis atau politikus. Bukan pula ahli hukum. Tapi ia mampu menggemakan semangat kejujuran. Bukan sekadar omongan, melainkan tindakan. Perilaku sederhana Pak Mukti, panggilan Abdul Mukti Raharjo, patut jadi inspirasi.
Rabu (26/11/2014) siang, sambil memegang buku catatan, Pak Mukti tampak menata botol-botol bensin di rak di depan rumah yang dijadikan toko anaknya, Jl Veteran Mojoroto, Kediri. Di rak warna biru itu tertulis 'Kejujuran'. Apa artinya?
'Ambil sendiri', 'Bayar dengan pas dan masukkan ke dalam toples', demikian tulisan di dekat rak. Itu artinya, pembeli diwajibkan melayani diri sendiri. Bukan karena si penjual tak mau repot, melainkan untuk melatih kejujuran.
"Saya tetap bertahan dengan pola itu, meski ada saja orang yang tidak membayar atau bahkan mengambil uang di tempatnya," kata Pak Mukti sambil tersenyum seolah menertawakan orang-orang yang mengusili kiosnya.
Kios itu didirikan pada tahun 2011 silam. Pak Mukti tergugah setelah melihat pemotor kesulitan mencari bensin di tengah malam. Kemudian, ia berinisiatif membuat kios bensin 24 jam. Sebuah toples disediakan di dekat rak sebagai tempat pembayaran.
Jika dihitung untung rugi, jelas Pak Mukti tak mungkin melanjutkan 'pendidikan' kejujuran tersebut. Sebab, sejak berdiri, kios itu kerap jadi sasaran keusilan orang. Ada yang membayar tapi uangnya kurang, ada yang membayar dengan uang palsu, dan ada juga yang malah mengambil uang di toples.
Pak Mukti tak menyerah. Ia tetap mempertahankan kiosnya. Bahkan sejak harga BBM bersubsidi naik, ia berinovasi. Pria berambut gondrong itu menjual bensin seharga Rp 2 ribu hingga Rp 9 ribu. Tentu saja, harga itu disesuaikan dengan isi botol.
"Ini untuk menyesuaikan harga saja, khususnya anak sekolah," tutur pria beranak 3 ini sambil tersenyum tipis.
Depan rumah Pak Mukti adalah SMKN 2 Kediri. Wajar jika Pak Mukti mempertimbangkan faktor harga dalam berinovasi.
Seberapa kaya Pak Mukti sehingga mau merugi bertahun-tahun? Sekadar ilustrasi, Pak Mukti bekerja sebagai penarik becak. Ia duda dan tinggal bersama anak yang membuka toko kelontong di rumah. Sehari-hari, selain menarik becak, pria lulusan SMA itu aktif berolahraga terutama beladiri.
Pak Mukti memang tak menghitung untung rugi. Juga tak berpikir tentang pencitraan. "Ini soal melayani sesama," kata Pak Mukti. Kali ini Pak Mukti tak tersenyum, tapi tetap santai. Dan yang jelas tak terkesan dibuat-buat.