Ramadan tahun 2013 menjadi Ramadan paling mengesankan di hati saya. Awal
Ramadan saya berkenalan dengan seorang lelaki tanpa ada niat ataupun
pikiran akan menikah, dan setelah Ramadan, kami melangsungkan
pernikahan. Sebuah pencarian panjang, bertahun-tahun, dan pada akhirnya,
proses menemukan jodoh terbaik tidak sampai 2 bulan.
Rencana Menikah yang Gagal
Awalnya,
saya menetapkan untuk menikah di usia 23 tahun. Namun sayang, kekasih
hati yang dekat dengan saya sejak usia 17 tahun memutuskan saya
menjelang usia 22 tahun. Yang paling menyakitkan, saat saya membicarakan
rencana menikah dengannya, dia mengaku belum siap dan memutuskan saya.
Namun, tidak sampai setahun kemudian, dia justru menikah dengan wanita
lain.
Tak cukup sampai di sana sakit hati saya. Entah mengapa,
istrinya merasa cemburu pada saya. Ia sering menelepon saya, menghina
dan memaki saya, juga mengejek dan menertawakan saya karena gagal
menikah dengan lelaki tersebut. Saya pun semakin terpuruk, apalagi
mantan saya tersebut tak menghentikan sikap istrinya yang meneror saya.
Kegagalan yang Beruntun
Sakit
hati membuat saya susah move on. Sekitar 4 tahun saya sulit mencari
lelaki lain. Hingga di usia 27 tahun, saya mulai tertarik dengan teman
dekat.
Kedekatan dan perhatiannya membuat saya berani berharap untuk
segera menikah. Apalagi, adik dan kakak saya semua telah menikah. Namun
saya lagi-lagi masih harus bersabar. Tiba-tiba saja sikapnya berubah.
Di
pagi hari sikapnya masih hangat, namun di malam hari, ia menjauhi saya.
Saya berusaha menanyakan alasannya, namun ia hanya meminta saya untuk
tidak terlalu mendekatinya. Belakangan, saya mendengar kabar ia
dicomblangin dengan teman sekantornya dan mereka akan menikah. Saya juga
mendengar selentingan bahwa ia menjauhi saya karena sahabatnya menyukai
saya.
Seiring waktu, saya pun dekat dengan pria lain. Namun
lagi-lagi, setelah kedekatan kami yang saya sangka akan segera berakhir
di pelaminan, lelaki ini juga tiba-tiba menjauhi saya. Saya pun
mendengar selentingan yang sama, ia menjauh karena "dihasut" sahabat
teman saya dulu, yang kabarnya menyukai saya (belakangan ia pun mengakui
kebenaran kabar tersebut).
Frustasi karena gagal terus dengan
alasan yang sama, saya mencoba berbicara dengan sahabat teman saya
tersebut. Ia terus terang mengaku menyukai saya dan ingin menikahi saya.
Karena memang saya sangat ingin menikah, maka saya katakan bahwa saya
bersedia dan ia sebaiknya segera menjumpai orang tua saya, apa
jawabannya?
"Wah, kamu pikir saya serius? Saya cuma bercanda kali."
Sakit
hati yang teramat dalam pun saya rasakan. Bukan karena merasa patah
hati, tapi merasa dipermainkan. Namun saya tak ingin menyerah. Saya
ingin menikah! Maka segala cara pun saya tempuh. Dijodohkan orang tua,
gagal. Dijodohkan teman, gagal juga. Mencari sendiri, cowoknya nggak
maju-maju. Ia masih punya rencana yang ingin diwujudkan sebelum menikah.
Saya tak mau menunggunya terlalu lama, dan ragu melihat kesiapannya.
Berhenti Berharap, dan Fokus Ibadah
Harapan
itu pun mulai padam. Saya mulai lelah. Apalagi usia sudah hampir kepala
tiga. Melihat kekalutan saya, orang tua bahkan sampai berpesan agar
saya fokus ibadah saja. Gambarannya, dengan usia rata-rata manusia hanya
60 tahun, maka saya hanya punya sisa waktu 31 tahun lagi jatah hidup.
Daripada sibuk cari jodoh, cari saja berkah untuk akhirat. Di tengah
keputus asaan saya, saran ini pun saya terima. Saya putuskan berhenti
mencari jodoh, fokus saja pada ibadah.
Tak disangka, saat saya
sudah berhenti berharap, Allah justru mempertemukan saya dengan lelaki
yang kini menjadi suami saya. Dengan cara yang mudah dan tak
disangka-sangka. Mungkin benar kata orang kalau tak dicari-cari,
biasanya apa yang kita harapkan justru akan datang sendiri. Atau juga
seperti kata yang lain, yakni dekatkan diri pada Allah, maka Ia akan
memenuhi kebutuhan dan harapan kita tanpa kita ucapkan langsung. Banyak
juga yang sering ungkapkan bahwa berharaplah hanya pada Allah, jangan
pernah berharap pada manusia, sebab Allahlah yang menggerakkan hati dan
langkah manusia.
Awal Ramadan Masih Jomblo, Selesai Ramadan Bersanding di Pelaminan
Seminggu
menjelang Ramadan 2013, saya berkenalan dengan seorang pria yang
menjadi panitia pada kegiatan kantor untuk menyambut Ramadan. Dalam
tempo tiga minggu saja, ia telah mengenalkan saya pada keluarganya dan
mengajak saya menikah setelah Ramadan. Tentu saja saya terkejut. Sebab,
awal perkenalan kami, saya tidak berharap terlalu banyak padanya.
Alasannya, ia lebih muda 3 tahun dari saya. Kami pun tak pernah
membicarakan masa depan. Mengapa ia tiba-tiba melamar saya?
Saat
saya tanyakan pada orang tua, rupanya mereka langsung setuju, bahkan
menyukai kesiapan dan keberanian lelaki ini walau belum bertemu
dengannya langsung. Akhirnya, selesai Lebaran, dalam tempo 2 minggu,
kami siapkan pernikahan kami. Alhamdulillah, banyak yang turut senang
dan ikut membantu, sehingga walau mendadak dan dalam tempo sangat
singkat, kami dapat menggelar resepsi dengan cukup meriah.
Banyak
sahabat yang menyatakan bahwa pernikahan saya ini adalah berkah
Ramadan. Awal Ramadan belum terlihat tanda-tanda akan menikah, namun
setelah Ramadan, saya telah bersanding di pelaminan. Yang pasti, dari
perbincangan kami setelah menikah, saat memutuskan menikah, kami belum
saling mencintai. Kami menikah karena dari obrolan diketahui bahwa kami
sama-sama tidak mau pacaran, sama-sama ingin menikah dengan mudah tanpa
banyak syarat, dan sama-sama ingin fokus pada ibadah.
Inilah
dasar kesepakatan kami untuk menikah, yang kami yakin menjadi pondasi
kuat untuk membangun cinta kami yang berkah setelah berumah tangga.
Amin..
Dan di Ramadan berikutnya, Ramadan 2014, tak hanya bersama
suami, saya pun telah menjalaninya bersama putri kami tercinta.
Alhamdulillah..
unknown
SUMBER