Perjalanan dalam udara dingin musim gugur ke daerah pegunungan di Katsuragawa yang terletak sekitar 30 kilometer dari Kyoto adalah perjalanan yang menyajikan keindahan alam Jepang.
Jalan menanjak berliku dihiasi pepohonan momiji yang daunnya mulai memerah cerah di sepanjang jalan. Kabut meliputi puncak-puncak gunung dan hutan pinus lalu berakhir di sebuah lembah hijau. Rumah tradisional Jepang beratap rumbia tebal masih tampak di sana-sini dengan tamannya yang khas seakan bersatu dengan alam. Itulah awal perjumpaan saya dengan Rustono (41), sang Raja Tempe, sebagaimana teman-teman Jepang menyebutnya.
Di kawasan desa yang indah inilah konotasi yang menyepelekan tempe, seperti sebutan bangsa tempe atau mental tempe, sirna. Dari sinilah tempe mulai dikenal dan merambah hampir ke seluruh Jepang. Kemasan seberat 200 gram dengan label Rusto’s Tempeh bergambar ilustrasi suasana kehidupan kampung di Jawa tersebar di berbagai toko swalayan di Jepang.
Sebuah rumah tradisional Jepang, cagar budaya yang telah berusia dua abad, adalah tempat perjanjian saya bertemu dengan Rustono. Ketika kaki mulai melangkah memasuki gerbang kayu di halaman berpagar bambu, terdengar tiupan saksofon sopran yang mendendangkan lagu ”Going Home” dari Kenny G.
Rupanya sang raja sedang asyik melantunkan lagu penuh kerinduan yang menghanyutkan itu dengan duduk santai di batu besar di tengah taman di bawah rindangnya pohon momiji, ditingkah suara gemercik sungai jernih yang membelah desa, ditemani sang istri di sampingnya.
Semangat dari kerinduan
”Kampung halaman di tanah kelahiran memang selalu mendatangkan rindu,” Rustono menjelaskan ketika ditanya tentang lagu favoritnya itu. ”Dan berdendang dengan tiupan saksofon adalah alunan suara jiwa paling dalam,” tambahnya.
Kerinduan akan tanah kelahiran di sebuah kota kecil Grobogan, nun jauh di pedalaman Jawa Tengah dengan hamparan sawah dan hutan jati, rupanya masih saja mengusik Rustono meskipun sudah 13 tahun dia menetap di Jepang.
Bagi Rustono yang alumnus Akademi Perhotelan Sahid (masuk tahun 1987), kerinduan tersebut bukanlah bernuansa sendu berlarut-larut, melainkan pembawa semangat menentukan keputusan jalan hidup.
Tahun 1997, setelah enam tahun bekerja di Hotel Sahid Yogyakarta, perubahan jalan hidup mulai menunjukkan arahnya. Ketika sebuah grup wisatawan Jepang berkunjung ke Yogya, seorang bidadari dari Negeri Matahari Terbit, Tsuruko Kuzumoto, yang tinggi semampai berkulit kuning langsat menambat hati Rustono. Dan rupanya dia tidak bertepuk sebelah tangan. Tahun itu juga berangkatlah Rustono menyusul ke Jepang dan mulai menempuh hidup barunya di Kyoto.
Berbagai pekerjaan pernah dia lakukan. Dari bekerja di perusahaan roti sampai ke perusahaan sayur-mayur. Di situ Rustono banyak memerhatikan etos kerja karyawan Jepang. Selain penuh tanggung jawab, mereka juga berupaya mencapai target dan ikut serta dalam menjaga kualitas produksi. Pun Pemerintah Jepang sangat teliti dengan secara periodik memeriksa kualitas produksi, meninjau perusahaan, sampai memerhatikan kebersihan ruangan, termasuk peralatan dan meja kerja.
Menurut pengamatan Rustono, makanan adalah kebutuhan paling pokok kehidupan manusia. Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan diproduksi di Jepang dan industrinya sangat maju. Terbetik dalam pikiran Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang belum ada di Jepang. Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa makanan dari kedelai yang rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.
Jadilah dia mencoba membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang pernah dia kenal. Selama empat bulan dia berkutat mencoba membuat tempe, dengan ragi dari Indonesia dan kedelai Jepang, tetapi selalu gagal. Hingga kemudian dengan menggunakan air dari sumber mata air di kediaman mertua, dia berhasil membuat tempe.
Perjalanan panjang
Jalan untuk mencapai keberhasilan usaha yang dia tempuh sangatlah panjang dan terjal. Meskipun berhasil dalam percobaan membuat tempe, dia belum yakin benar. Pastilah itu bukan hanya karena menggunakan air asli dari mata air langsung.
Setelah anak pertamanya, Noemi Kuzumoto, berusia tiga tahun, dengan izin istrinya Rustono kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk belajar membuat tempe kepada 60 perajin tempe di seluruh Jawa.
Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi rahasia pembuatan tempe, tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman para perajin tempe di Jawa Tengah. Misalnya, kenapa tempe bisa lebih terasa gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus dengan daun bambu atau daun pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa menghasilkan fermentasi tempe dengan baik.
Yang kemudian tak kalah berat adalah memperoleh izin produksi di Jepang. Dia harus melalui penelitian dan tes di laboratorium, hingga harus memenuhi kesanggupan bertanggung jawab atas kualitas dan kandungan bahan produksi sesuai dengan yang tertera di kemasan bahwa kandungan gizi tempe kedelai setara dan kandungan gizi daging, termasuk mematuhi peraturan daur ulang kemasan.
Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui adalah soal menghadapi iklim alam di Jepang. Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam cuaca kelembaban 60 persen hingga 90 persen, yang tentu saja tidak masalah di Indonesia. Di Jepang yang mempunyai empat musim, mempunyai kelembaban udara yang dibutuhkan tempe hanya pada musim panas. Tetapi, lewat penelitian kecil-kecilan dan telaten, hasilnya sangat besar. Dia bisa mengatur kelembaban pada segala musim di dalam ruangan produksi.
Peralatan produksi juga hasil inovasi Rustono sendiri. Alat pencuci kedelai dia modifikasi dari bekas mesin pencuci cumi-cumi yang dia dapat dari perusahaan perikanan. Begitu pula untuk pengemasan, dia datangkan mesin bikinan Bantul dan Surabaya.
The King of Tempe
Meskipun julukan ini hanya gurauan teman-teman sejawatnya, rasanya memang tak ada yang salah. Kini kapasitas produksi Rustono setiap lima hari bisa mencapai 16.000 bungkus tempe dengan kemasan 200 gram. Untuk mendukung produksi, dia mengadakan kontrak kerja sama dengan petani kedelai di Nagahama, kawasan Shiga.
Dari peta penyebaran Rusto’s Tempeh yang tertera di ruang kerjanya, terlihat konsumennya tersebar di kota-kota hampir seluruh Jepang. Selain masyarakat Indonesia di Jepang dan masyarakat Jepang sendiri, konsumennya juga meliputi perusahaan jasa boga, rumah makan vegetarian, toko swalayan, sekolah, hingga rumah sakit di Fukuoka.
Memang usahanya berawal dari skala kecil dengan pemasaran dari pintu ke pintu. Rumah produksi dia bangun sendiri tanpa tukang bangunan dan tanpa pemikiran arsitektural, tetapi hanya dengan intuisi yang mirip intuisi seniman. Dan dari usaha rumahan itu sekarang Rustono mencapai taraf pembangunan pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata air, di atas lahan 1.000 meter persegi.
Penghargaan
Di Jepang sudah banyak buku mengupas tentang tempe. Di antaranya yang terkenal adalah The Book of Tempeh, tulisan William Shurtleft dan Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap dengan uraian dan ilustrasi menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar belakang budaya Indonesia, terutama Jawa.
Ada juga buku terbitan Asosiasi Tempe di Jepang yang dikelola para profesor dan ahli gizi. Asosiasi ini mengadakan penelitian dan setiap tahun mengadakan seminar tentang tempe. Salah satu kajiannya adalah kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi.
Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe dengan berbagai bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe dan tempura tempe. Yang paling terkenal adalah burger tempe.
Mereka memperkenalkan tempe dengan semboyan ”Makanan enak belum tentu menyehatkan, makanan tidak enak bisa menyehatkan. Tetapi, makanan enak dan menyehatkan adalah tempe!” Terberitakan pula sebuah perusahaan kosmetik memproduksi bahan kecantikan dengan jamur hasil fermentasi tempe ke dalam kapsul yang konon bisa menghaluskan kulit.
Soal hak paten yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa tempe diklaim Jepang, Rustono menjelaskan, ”Ah, itu kesalahpahaman. Bagaimana kita mematenkan tempe yang semua orang sampai di Amerika pun tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah Jepang juga akan mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan burgernya, bukan tempenya.”
Jalan menanjak berliku dihiasi pepohonan momiji yang daunnya mulai memerah cerah di sepanjang jalan. Kabut meliputi puncak-puncak gunung dan hutan pinus lalu berakhir di sebuah lembah hijau. Rumah tradisional Jepang beratap rumbia tebal masih tampak di sana-sini dengan tamannya yang khas seakan bersatu dengan alam. Itulah awal perjumpaan saya dengan Rustono (41), sang Raja Tempe, sebagaimana teman-teman Jepang menyebutnya.
Di kawasan desa yang indah inilah konotasi yang menyepelekan tempe, seperti sebutan bangsa tempe atau mental tempe, sirna. Dari sinilah tempe mulai dikenal dan merambah hampir ke seluruh Jepang. Kemasan seberat 200 gram dengan label Rusto’s Tempeh bergambar ilustrasi suasana kehidupan kampung di Jawa tersebar di berbagai toko swalayan di Jepang.
Sebuah rumah tradisional Jepang, cagar budaya yang telah berusia dua abad, adalah tempat perjanjian saya bertemu dengan Rustono. Ketika kaki mulai melangkah memasuki gerbang kayu di halaman berpagar bambu, terdengar tiupan saksofon sopran yang mendendangkan lagu ”Going Home” dari Kenny G.
Rupanya sang raja sedang asyik melantunkan lagu penuh kerinduan yang menghanyutkan itu dengan duduk santai di batu besar di tengah taman di bawah rindangnya pohon momiji, ditingkah suara gemercik sungai jernih yang membelah desa, ditemani sang istri di sampingnya.
Semangat dari kerinduan
”Kampung halaman di tanah kelahiran memang selalu mendatangkan rindu,” Rustono menjelaskan ketika ditanya tentang lagu favoritnya itu. ”Dan berdendang dengan tiupan saksofon adalah alunan suara jiwa paling dalam,” tambahnya.
Kerinduan akan tanah kelahiran di sebuah kota kecil Grobogan, nun jauh di pedalaman Jawa Tengah dengan hamparan sawah dan hutan jati, rupanya masih saja mengusik Rustono meskipun sudah 13 tahun dia menetap di Jepang.
Bagi Rustono yang alumnus Akademi Perhotelan Sahid (masuk tahun 1987), kerinduan tersebut bukanlah bernuansa sendu berlarut-larut, melainkan pembawa semangat menentukan keputusan jalan hidup.
Tahun 1997, setelah enam tahun bekerja di Hotel Sahid Yogyakarta, perubahan jalan hidup mulai menunjukkan arahnya. Ketika sebuah grup wisatawan Jepang berkunjung ke Yogya, seorang bidadari dari Negeri Matahari Terbit, Tsuruko Kuzumoto, yang tinggi semampai berkulit kuning langsat menambat hati Rustono. Dan rupanya dia tidak bertepuk sebelah tangan. Tahun itu juga berangkatlah Rustono menyusul ke Jepang dan mulai menempuh hidup barunya di Kyoto.
Berbagai pekerjaan pernah dia lakukan. Dari bekerja di perusahaan roti sampai ke perusahaan sayur-mayur. Di situ Rustono banyak memerhatikan etos kerja karyawan Jepang. Selain penuh tanggung jawab, mereka juga berupaya mencapai target dan ikut serta dalam menjaga kualitas produksi. Pun Pemerintah Jepang sangat teliti dengan secara periodik memeriksa kualitas produksi, meninjau perusahaan, sampai memerhatikan kebersihan ruangan, termasuk peralatan dan meja kerja.
Menurut pengamatan Rustono, makanan adalah kebutuhan paling pokok kehidupan manusia. Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan diproduksi di Jepang dan industrinya sangat maju. Terbetik dalam pikiran Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang belum ada di Jepang. Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa makanan dari kedelai yang rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.
Jadilah dia mencoba membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang pernah dia kenal. Selama empat bulan dia berkutat mencoba membuat tempe, dengan ragi dari Indonesia dan kedelai Jepang, tetapi selalu gagal. Hingga kemudian dengan menggunakan air dari sumber mata air di kediaman mertua, dia berhasil membuat tempe.
Perjalanan panjang
Jalan untuk mencapai keberhasilan usaha yang dia tempuh sangatlah panjang dan terjal. Meskipun berhasil dalam percobaan membuat tempe, dia belum yakin benar. Pastilah itu bukan hanya karena menggunakan air asli dari mata air langsung.
Setelah anak pertamanya, Noemi Kuzumoto, berusia tiga tahun, dengan izin istrinya Rustono kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk belajar membuat tempe kepada 60 perajin tempe di seluruh Jawa.
Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi rahasia pembuatan tempe, tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman para perajin tempe di Jawa Tengah. Misalnya, kenapa tempe bisa lebih terasa gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus dengan daun bambu atau daun pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa menghasilkan fermentasi tempe dengan baik.
Yang kemudian tak kalah berat adalah memperoleh izin produksi di Jepang. Dia harus melalui penelitian dan tes di laboratorium, hingga harus memenuhi kesanggupan bertanggung jawab atas kualitas dan kandungan bahan produksi sesuai dengan yang tertera di kemasan bahwa kandungan gizi tempe kedelai setara dan kandungan gizi daging, termasuk mematuhi peraturan daur ulang kemasan.
Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui adalah soal menghadapi iklim alam di Jepang. Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam cuaca kelembaban 60 persen hingga 90 persen, yang tentu saja tidak masalah di Indonesia. Di Jepang yang mempunyai empat musim, mempunyai kelembaban udara yang dibutuhkan tempe hanya pada musim panas. Tetapi, lewat penelitian kecil-kecilan dan telaten, hasilnya sangat besar. Dia bisa mengatur kelembaban pada segala musim di dalam ruangan produksi.
Peralatan produksi juga hasil inovasi Rustono sendiri. Alat pencuci kedelai dia modifikasi dari bekas mesin pencuci cumi-cumi yang dia dapat dari perusahaan perikanan. Begitu pula untuk pengemasan, dia datangkan mesin bikinan Bantul dan Surabaya.
The King of Tempe
Meskipun julukan ini hanya gurauan teman-teman sejawatnya, rasanya memang tak ada yang salah. Kini kapasitas produksi Rustono setiap lima hari bisa mencapai 16.000 bungkus tempe dengan kemasan 200 gram. Untuk mendukung produksi, dia mengadakan kontrak kerja sama dengan petani kedelai di Nagahama, kawasan Shiga.
Dari peta penyebaran Rusto’s Tempeh yang tertera di ruang kerjanya, terlihat konsumennya tersebar di kota-kota hampir seluruh Jepang. Selain masyarakat Indonesia di Jepang dan masyarakat Jepang sendiri, konsumennya juga meliputi perusahaan jasa boga, rumah makan vegetarian, toko swalayan, sekolah, hingga rumah sakit di Fukuoka.
Memang usahanya berawal dari skala kecil dengan pemasaran dari pintu ke pintu. Rumah produksi dia bangun sendiri tanpa tukang bangunan dan tanpa pemikiran arsitektural, tetapi hanya dengan intuisi yang mirip intuisi seniman. Dan dari usaha rumahan itu sekarang Rustono mencapai taraf pembangunan pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata air, di atas lahan 1.000 meter persegi.
Penghargaan
Di Jepang sudah banyak buku mengupas tentang tempe. Di antaranya yang terkenal adalah The Book of Tempeh, tulisan William Shurtleft dan Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap dengan uraian dan ilustrasi menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar belakang budaya Indonesia, terutama Jawa.
Ada juga buku terbitan Asosiasi Tempe di Jepang yang dikelola para profesor dan ahli gizi. Asosiasi ini mengadakan penelitian dan setiap tahun mengadakan seminar tentang tempe. Salah satu kajiannya adalah kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi.
Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe dengan berbagai bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe dan tempura tempe. Yang paling terkenal adalah burger tempe.
Mereka memperkenalkan tempe dengan semboyan ”Makanan enak belum tentu menyehatkan, makanan tidak enak bisa menyehatkan. Tetapi, makanan enak dan menyehatkan adalah tempe!” Terberitakan pula sebuah perusahaan kosmetik memproduksi bahan kecantikan dengan jamur hasil fermentasi tempe ke dalam kapsul yang konon bisa menghaluskan kulit.
Soal hak paten yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa tempe diklaim Jepang, Rustono menjelaskan, ”Ah, itu kesalahpahaman. Bagaimana kita mematenkan tempe yang semua orang sampai di Amerika pun tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah Jepang juga akan mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan burgernya, bukan tempenya.”
ditulis oleh:GM Sudarta
sumber: kompas.com