Jadilah Seperti Ibu Thomas Alva Edison

“Eh, kamu bisa dibilangin gak. Jangan mainin itu, kan jadi kotor nih “. Demikian bentak mama saat Lia ingin bermain cat warna. Lain lagi dengan kakaknya, Mala. Ia kerap bertengkar dengan mamanya ketika disudutkan lantaran gak bisa mendapat nilai di atas 80 setiap ulangan di sekolah. “Mama aja gih yang sekolah”, bantah Mala dengan keras dan luapan kekesalan.
Peristiwa seperti ini, acapkali kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa yang secara tidak langsung dapat menghalangi kereativitas seorang anak. Padahal, permainan yang akan dilakukannya kemungkinan akan dapat menumbuhkan bakatnya. Karena bakat lahir dari kreativitas. Sedangkan kreativitas sendiri adalah penentu keunggulan seseorang dalam arena kompetisi.
Kreativitas seorang anak yang masih berumur 3-7 tahun merupakan hal penting untuk diperhatikan. Karena pada usia-usia seperti ini, anak-anak sedang asyiknya belajar mengembangkan diri, menemukan bakat dan melatih daya kreasinya melalui permainan bebas. Jika si anak bermain pasir, cat, tanah liat dan lain-lain, biarkan saja. Saat inilah, sebenarnya, seorang anak sedang berfikir kreatif dan cepat. Karena permainan yang dilakukannya dapat membangkitkan kecepatan dan kemampuan berfikir.
Bahkan, sewajarnya orang tua ikut andil bermain dengan anaknya. Yaitu, dengan aktif membantunya. Namun keikutsertaan orang tua dalam bermain, jangan sampai menggangu dan menghambat keinginan si anak dalam mewujudkan dan melakukan apa yang diinginkannya. Karena hal ini, secara tidak langsung, memberikan efek positif bahwa kita menghargai dirinya dan apa yang dikerjakannya, sehingga ia merasa “aku sudah besar”.
Jadilah Seperti Ibu Thomal Alva Edison
Saat menemani anak bermain, mungkin kita akan menemukan hal-hal yang membuat kesal, bingung dan bahkan menimbulkan kemarahan. Misalnya, si anak ingin melukis ikan tapi cara yang dilakukannya salah. Dan saat kita ingin membantu untuk menggambarkannya, lantas ia melarang kita untuk ikut terlalu aktif. Sebagai orang tua yang ingin anaknya kreatif, seharusnya kita membantunya sekedar yang diinginkan si anak. Biarkan dia asyik dengan penemuannya bagaimana melukis ikan. Apapun hasilnya kita berusaha untuk menerimanya.
Di sinilah kita akan melihat dan mengetahui jiwa dan kemampuan si anak. Mungkin kita akan menemukan bahwa anak kita, sangat boleh jadi, tidak sehebat kita, atau bahkan tidak seperti anak-anak tetangga yang memiliki daya kreasi tinggi dalam bermain. Atau juga anak kita biasa mendapatkan nilai enam saat mengikuti ulangan, sedangkan kita dulu saat sekolah selalu mendapatkan nilai di atas delapan.
Jika kita katakan, “Alhamdulillah nak, gambarmu mulai bagus. Gak sia-sia kamu melukisnya”. Anak akan merasa didukung. Ia merasa diterima oleh orang tuanya, merasa dihargai prosesnya. Sehingga dari situ, ia akan berusaha meningkatkan kemampuannya dan kian bersemangat lagi untuk bisa mendapatkan penilaian yang paling bagus.
Namun sebaliknya, kalau kita katakan, “Masa nilaimu enam. Kamu tau gak, kalau papa susa-susah mencari uang, sedangkan kamu hanya bisa mendapatkan nilai enam. Mama ingin nilaimu seperti temanmu, delapan!”. Dengan kata-kata ini, anak merasa diremehkan dan dihina. Seolah-olah dicap bahwa dirinya tidak mampu dan banyak bermain di sekolah. Padahal nilai enam yang didapatnya adalah hasil belajar keras dan kesungguhannya. Ketika usahanya yang sungguh-sungguh tidak diterima dan dihargai, bisa jadi kreativitas dan inovasinya bisa mati. Bahkan, bisa jadi saat ujian ulangan selanjutnya nilai yang didapatnya makin menurun, lima misalnya.
Karena itu, terimalah apapun yang dihasilkan anak dengan lapang dada. Cobalah belajar dari kisah ibunya Thomas Alva Edison saat mendidiknya. Cerita tersebut dituliskan Fauzil Adhim dalam bukunya, “Bersikap terhadap Anak, Pengaruh Perilaku Orang Tua terhadap Kenakalan Anak”. (Cerita tersebut dikutip Fauzil Adhim dari “How to Help Your Child Succeed” karya Anant Pai)
Berikut ini ceritanya: “Ketika di sekolah kerapkali guru Thomas Alva Edison menganggap otaknya bebal sehingga tidak layak lagi meneruskan sekolah. Kemampuan otaknya tidak memungkinkan untuk mengikuti pelajaran di sekolah, dan karena itu ia sangat layak dipecat. Semua guru menolak Thomas Alva Edison di sekolah mereka, kecuali ibunya. Dengan penerimaan tulus ibunya, Thomas serasa mendapatkan kekayaan yang sangat berharga. Dan penerimaan itu pula yang melahirkan dorongan Thomas untuk menemukan kehebatannya. Ibu Thomas kerap mendorong dan memotivasi anaknya  dengan tidak mengatakan,”Saya tahu, Thomas. Kemampuanmu memang buruk hari ini, tetapi suatu saat nanti kamu akan menjadi orang yang hebat.” Tidak. Dia percaya bahwa anaknya baik dan memiliki kompentensi luar biasa. Hanya saja dunia belum menemukannya.”
Dengan penerimaan dan kepercayaan serta doa ibunya, akhirnya Thomas Alva Edison menjadi orang yang dikenal dunia. Penerimaan dan kepercayaan ibunya yang melahirkan rasa percaya dirinya yang sangat besar, semangat yang luar biasa dan penerimaan diri yang bagus. Dari penerimaan yang tulus tersebut, membuat berkembangnya harga diri yang baik. Bahkan, mampu memiliki citra diri yang baik serta kemampuan mengendalikan emosi yang mantap.
Sejatinya, Kisah sikap Ibu Thomas Alva Edison dalam mendidiknya telah lebih dahulu diajarkan Rasulullah kepada umatnya. Rasulullah Saw. bersabda,”Sesungguhnya Allah merahmati orang tua yang membantu anaknya berbakti kepadanya”. Ketika itu, orang-orang di sekeliling Rasulullah bertanya, bagaimana cara orang tua membantu anak, ya Rasulllah? Nabi Muhammad Saw menjawab, “Dia menerima yang sedikit darinya, memaafkan yang menyulitkannya, tidak membebaninya dan tidak pula memakinya.”
Melalui sabda Rasulullah ini, para orang tua seharusnya dapat menerima apa adanya, yang terjadi pada anaknya. Karena amanah yang diberikan Allah selain untuk dijaga, juga untuk dididik menjadi anak yang soleh, kreatif dan mampu serta memiliki daya kreasi. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “man syabba ‘ala syai in syabaa ‘alaihi, barang siapa menempuh masa muda dalam satu keadaan, maka dia menempuh masa tuanya dalam keadaan itu juga.”
‘Ala kullihal, memahami, menerima dan memberi kepercayaan pada anak saat bermain serta tetap terus membimbingnya tanpa memaksakan kehendak orang tua, insya Allah akan menjadikan anak yang diamanahkan Allah sebagai generasi penerus yang kreatif dan siap bertarung untuk meraih kesuksesan dunia dan akhirat.   


sumber:http://www.cybermq.com/pustaka/detail/hikmah/671/jadilah-seperti-ibu-thomas-alva-edison