Konsep Sakit & Sehat, Perspektif Islam

Dalam setiap perjalanan hidup manusia, senantiasa dipertemukan pada tiga kondisi dan situasi yakni sehat, sakit atau mati. Sebagian manusia memandang sehat dan sakit secara berbeda. Pada kondisi sehat, terkadang melupakan cara hidup sehat dan mengabaikan perintah Allah Swt, sebaliknya pada kondisi sakit dianggapnya sebuah beban penderitaan, malapetaka dan wujud kemurkaan Allah Swt kepadanya. Padahal Allah SWT dalam Q.S. Shaad : 27 selalu menciptakan sesuatu atau memberikan suatu ujian kepada hambanya pasti ada hikmah/pelajaran dibalik itu semua.

Dalam perspektif Islam, setiap penyakit merupakan cobaan yang diberikan oleh Sang Pencipta Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya. Sabda Rasulullah SAW yang artinya “Dan sesungguhnya bila Allah SWT mencintai suatu kaum, dicobanya dengan berbagai cobaan. Siapa yang ridha menerimanya, maka dia akan memperoleh keridhoan Allah. Dan barang siapa yang murka (tidak ridha) dia akan memperoleh kemurkaan Allah SWT” (H.R. Ibnu Majah dan At Turmudzi). Sakit juga dapat dipandang sebagai peringatan dari Allah SWT untuk mengingatkansegala dosa-dosa akibat perbuatan jahat yang dilakukannya selama hidupnya. Pada kondisi sakit, kebanyakan manusia baru mengingat dosa-dosa dari perbuatan jahatnya dimasa lalu. Dalam kondisi sakit itulah, kebanyakan manusia baru melakukan taubat dengan cara memohon ampunan kepada Allah SWT dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya di kemudian hari.
Kondisi sehat dan kondisi sakit adalah dua kondisi yang senantiasa dialami oleh setiap manusia.Allah SWT tidak akan menurunkan suatu penyakit apabila tidak menurunkan juga obatnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh  Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda: مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً  -Allah swt tidak menurunkan sakit, kecuali juga menurunkan obatnya (HR  Bukhari).
Bila dalam kondisi sakit, umat Islam dijanjikan oleh Allah Swt berupa penghapusan dosa apabila ia bersabar dan berikhtiar untuk menyembuhkan penyakitnya. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, “Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali Allah hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.”
Sementara bagi Umat Islam lainnya yang berada dalam kondisi sehat dianjurkan oleh Allah Swt untuk menjenguk saudara seiman yang menderita sakit. Apabila orang yang sehat minta didoakan dari orang yang sakit, maka Allah Swt berjanji akan mengabulkannya. Hal ini diriwayatkan Asy-Suyuti, “Jika kamu menjenguk orang sakit, mintalah kepadanya agar berdoa kepada Allah untukmu, karena doa orang yang sakit seperti doa para malaikat.”
Dengan demikian, kedudukan orang yang menderita sakit bukanlah orang yang hina, malah memiliki kedudukan yang mulia. Simak hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari “Tidak ada yang yang menimpa seorang muslim kepenatan, sakit yang berkesinambungan (kronis), kebimbangan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, sampai pun duri yang ia tertusuk karenanya, kecuali dengan itu Allah menghapus dosanya.”
Menurut Aswadi Syuhadak dalam sebuah tulisannya berjudul “Sakit versus Kesembuhan Dalam Islam”, kata maradl (Sakit) dan syifa’ (Sembuh) dalam QS. Al-Syu`ara’ [26/47]: 80 وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ yang artinya, “apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku“, dikaitkan dengan manusia, sedangkan syifa’ (kesembuhan) diberikan pada manusia dengan disandarkan pada Allah swt. Kandungan makna demikian ini juga mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa setiap ada penyakit pasti ada obatnya, dan apabila obatnya itu mengenai penyakitnya sehingga memperoleh kesembuhan, maka kesembuhannya itu adalah atas ijin dari Allah swt. sebagaimana diisyaratkan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir dari Nabi saw bersabda:  لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.  –Setiap penyakit pasti ada obatnya, apabila obatnya itu digunakan untuk mengobatinya, maka dapat memperoleh kesembuhan atas ijin Allah swt (HR. Muslim).
Lebih lanjut merujuk pada catatan Ibnu Faris, maradl merupakan bentuk kata yang berakar dari huruf-huruf m-r-dl (م- ر- ض) yang makna dasarnya berarti sakit atau segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental bahkan tidak sempurnanya amal atau karya seseorang atau bila kebutuhannya telah sampai pada tingkat kesulitan. Terlampauinya batas kewajaran tersebut dapat berbentuk ke arah berlebihan yang disebut boros, sombong maupun takabbur; dan dapat pula ke arah kekurangan yang disebut kikir, bodoh, dungu dan kolot. oleh karenanya maradl juga dapat dikatakan sebagai hilangnya suatu keseimbangan bagi manusia.
Aswadi Syuhadak menemukan sebanyak tiga belas kali dalam Al-Qur’an kata maradl, kesemuanya dikaitkan dengan qulub قلوب)), hati dalam bentuk jamak, kecuali sekali disebut kataqalb dalam bentuk tungal. Kata maradl juga biasa diidentikkan dengan kata saqam. Dalam hal ini, kata saqam hanya difokuskan pada penyakit jasmani, sedangkan maradl terkadang digunakan untuk sebutan penyakit jasmani, ruhani dan psikologis.
Sementara kata syifa’ itu sendiri adalah berakar dari huruf-huruf ش -  ف- ي  dengan pola perubahannya شفى- يشفي-  شفاء  (syafa-yasyfi-syifa’) yang menurut catatan ibnu Mandhur berarti obat yang terkenal, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit  Ibnu Faris bahkan menegaskan bahwa term ini dikatakan syifa’ karena ia telah mengalahkan penyakit dan menyembuhkannya. Sejalan dengan pengertian ini, al-Raghib al-Ashfahani justru mengidentikkan term syifa’ min al-maradl (sembuh dari penyakit) dengan syifa’ al-salamah (obat keselamatan) yang pada perkembangan selanjutnya term ini digunakan sebagai nama dalam penyembuhan, baik mabarrat, klinik maupun rumah sakit.
Beberapa pengertian syifa’ tersebut secara sederhana dapat dipahami bahwa syifa’ itu sendiri selain menunjuk pada proses dan perangkat tekniknya juga merujuk pada hasil yang diperolehnya, yaitu sebuah kesembuhan dari suatu penyakit. Sedangkan kata sehat yang merujuk pada kata salim sebagaimana tercantum dalam QS al-Shaffat [37]:85-86 dan  QS as-Syu’ara’ ayat 87-90. Kandungan ayat ini menunjukkan upaya dan permohonan Nabi Ibrahim kepada Allah swt untuk memperoleh keselamatan maupun kesehatan sejak dalam kehidupan di dunianya hingga di hari kebangkitan.
Secara filosofis, makna kesehatan menurut ajaran Islam adalah kebersihan dalam diri manusia meliputi sehat jasmani dan rohani atau lahir dan batin. Orang yang sehat secara jasmani dan ruhani adalah orang berperilaku yang lebih mengarah pada tuntunan nilai-nilai ruhaniyah, uluhiyah (ilahiyah) maupun rububiyyah (insaniyah) sehingga melahirkan amal saleh. Jasad, raga, dan badan serta unsur-unsur fisik yang mengalami kerusakan hingga kesakitan dapat disembuhkan melalui ayat-ayat qauliyah sebagaimana tersebut dalam QS al-Isra’: [17/50]: 82-83, ayat-ayat kauniyah dalam QS al-Nahl [16/70]: 69 dan gabungan antara ayat-ayat qauliyah dankauniyah sebagaimana diisyaratkan dalam QS al-Taubah [9/113]: 14 dan 15 yang dapat disebaut sebagai penyembuhan dan kegunaannya secara holistik.
Untuk mencegah datangnya penyakit, manusia dibebaskan untuk berikhtiar. Namun Islam sudah memberikan kuncinya secara umum dengan cara mencegah kelebihan makan.Al Quran mengingatkan, “Makan dan minumlah tapi jangan berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A’raf [7]: 31). Rasulullah juga memberikan tips dalam sabdanya,” Tidak ada bencana yang lebih buruk yang diisi oleh manusia daripada perutnya sendiri. Cukuplah seseorang itu mengonsumsi beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Kalau terpaksa, maka ia bisa mengisi sepertiga perutnya dengan makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga sisanya untuk nafasnya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim).



Klik di sini untuk info seputar Dunia Komputer