Ketika jutaan anak-anak seusianya bersekolah, bermain, dan disayang
orangtua, Tasripin (12) terpaksa menjadi buruh tani untuk menghidupi
ketiga adiknya. Peran kepala rumah tangga kini disandangnya.
Tasripin
mengambil alih tanggung jawab itu setelah ditinggal kedua orangtuanya.
Kemiskinan kian menyudutkannya. Bocah itu tak lagi menikmati waktu, dan
menguapkan cita-citanya menjadi guru.
Keseharian Tasripin, warga
Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah, sudah dimulai saat azan subuh baru saja
berkumandang. Ia memulai hari dengan menanak nasi di dapur yang gelap
dan lembab. Ketiga adiknya dibangunkan, lalu satu per satu dimandikan.
”Yang
paling kecil yang rewel. Nangis terus. Sering tak mau dimandikan jika
sedang ingat bapak. Jika ada uang, saya kasih, baru diam,” tutur
Tasripin, Sabtu (13/4), di rumahnya, yang jauh dari standar kelayakan di
kaki Gunung Slamet.
Beda dengan rumah sebelahnya yang berlantai
keramik dan bertembok, rumah yang ditempati Tasripin dan adik-adiknya
terbuat dari papan berukuran sekitar 5 meter x 6 meter. Hanya dua kursi
panjang dan satu meja kayu yang menjadi perabot di ruang yang lantainya
beralaskan semen pecah-pecah itu. Meski hari sudah mulai siang, ruangan
itu pengap.
Tasripin dan ketiga adiknya, Dandi (7), Riyanti (6),
dan Daryo (4), tidur di dipan kayu beralaskan karpet plastik. Saat
dingin menyergap, mereka hanya berselimutkan sarung. Lingkungan yang
jelas tidak sehat bagi bocah-bocah itu.
Setelah memandikan ketiga
adiknya di pancuran yang mengalir alami di belakang rumah, Tasripin
menyuapi Daryo, si bungsu. Pagi itu, mereka sarapan mi instan.
”Ini
sedang ada rezeki, Pak. Jika enggak ada uang, ya nasi putih sama
kerupuk, kadang cuma sama garam,” ujar Tasripin. Ia putus sekolah sejak
kelas tiga sekolah dasar (SD) sebab harus mengurus ketiga adiknya itu.
Satinah,
ibu mereka, meninggal dua tahun lalu, di usia 37 tahun, akibat terkena
longsoran batu saat menambang pasir di dekat rumahnya. Kuswito (42),
ayah mereka, sudah setengah tahun terakhir ini merantau ke Kalimantan
bekerja di pabrik kayu bersama Natim (21), anak sulungnya.
Jadi buruh tani
Meski yatim dan jauh dari ayahnya, Tasripin berusaha mandiri. Ia cekatan mengurusi adik-adiknya. Untuk makan
sehari-hari, dia bekerja membantu tetangganya menjadi buruh tani,
bekerja di sawah, mengeringkan gabah, hingga mengangkut hasil panen
turun. Ia tidak mengeluh meski harus naik bukit sejauh 2 kilometer dari
sawah ke rumah juragannya. Tasripin berangkat ke sawah pukul 07.00 dan
pulang pukul 12.00. ”Kadang dibayar beras, kadang uang Rp 10.000.
Dicukupin buat makan dua kali sehari. Harus disisain buat jajan
adik-adik,” jelasnya.
Sering kali ia terpaksa berutang.
Beruntung, tetangganya memaklumi kondisi mereka. ”Kami paham kondisi
mereka. Jika Tasripin beberapa hari tidak ada pekerjaan, tetangga atau
bibinya yang kasih makan,” ujar Salimudin (59), pemilik warung tempat
Tasripin biasa membeli bahan makanan.
Selain memasak, Tasripin
juga mencuci pakaian, menyapu rumah, hingga terkadang membetulkan talang
air rumahnya yang bocor. Meskipun bekerja, dia selalu memantau ke mana
adik-adiknya bermain. Jika sore menjelang dan adiknya belum pulang, ia
akan mencari mereka hingga ke hutan.
Ayahnya beberapa kali
mengirim uang melalui bibi Tasripin. Uang itu untuk membayar listrik dan
kebutuhan mendesak, seperti jika ada adiknya yang sakit. Akibatnya,
sekolah menjadi barang mahal bagi mereka. Dari keempat anak itu, hanya
Daryo yang bersekolah di pendidikan anak usia dini (PAUD).
Tasripin
sebenarnya masih terlilit biaya sekolah lebih dari Rp 100.000 di SD
Negeri Sambirata 3. Kedua adiknya, Dandi dan Riyanti, tidak melanjutkan
sekolah karena malu sering diejek teman-temannya. Riyanti, adik
perempuannya, sakit. Ada luka di kepalanya.
Meski miskin dan
tidak merasakan pendidikan, Tasripin merasa bertanggung jawab pada
akhlak adik-adiknya. Tiap sore dia mengajari adik-adiknya membaca Al
Quran. Dengan sabar, dia juga mengajak adiknya shalat dan mengaji di
mushala depan rumahnya. Saat malam kian larut, ia mulai menidurkan
adiknya. Dinginnya angin gunung yang menelusup melalui celah papan
rumahnya dilawan Tasripin dengan memeluk erat adik-adiknya yang lelap.
Terpencil dan tertinggal
Potret
kehidupan Tasripin tak lepas dari kemiskinan yang membelenggu
keluarganya. Ini diperparah kondisi Dusun Pesawahan yang terpencil. Saat
masih bersekolah, Tasripin harus berjalan kaki sekitar 3 kilometer
melintasi jalan berbatu, perbukitan, dan hutan setiap hari.
Kepala
Dusun Pesawahan Warsito membenarkan, banyak anak putus sekolah dan tak
menuntaskan pendidikan dasar sembilan tahun di dusunnya. Selain faktor
jarak, kemauan untuk belajar warga dusun itu juga masih rendah. Bahkan,
di dusun itu hanya ada dua lulusan sekolah menengah atas dan dua lulusan
sekolah menengah pertama. ”Ratusan warga masih buta huruf,” kata
Warsito.
Saat ini Tasripin harus berhenti bersekolah, karena menunggak biaya SPP,
sementara kedua adiknya Dandi dan Riyanti pun tidak melanjutkan sekolah
karena malu sering diejek oleh teman-temannya. Hanya Daryo, adik
terakhirnya yang masih bersekolah di PAUD di dusun tersebut.
"Sudah
tidak sekolah SD, hanya satu adik saya yang sekolah di Paud, Kadang
saya yang biayain, kadang menunggu kiriman dari bapak," ujarnya polos.
Dulu
saat sekolah dia harus menempuh jarak sekitar 3 kilometer untuk
mencapai tempat sekolahnya, jalan berbatu dan perbukitan serta hutan
harus dilalui dia setiap harinya. Maklum, Dusun Pesawahan, Desa
Gununglurah, Kecamatan Cilongok berada di lereng kaki Gunung Slamet
demgan jumlah penduduk 319 Jiwa dengan 187 rumah.
sumber:detik.com & kompas.com