Belajar Menjadi Super dari Mario Teguh


“Hatimu tidak rapuh, hatimu sangat kuat, dan sesungguhnya hatimu adalah sumber dari segala kekuatanmu. Jika engkau merasa bahwa hatimu rapuh, itu hanya karena sikapmu yang rapuh.”

Untaian kalimat itu adalah salah satu bait dari tulisan Mario Teguh yang berjudul “Janganlah Engkau Pernah Mengira Bahwa Hatimu Rapuh”. Saat diposting di salah satu situs jejaring sosial, lebih dari sembilan ratus orang memberikan apresiasi dan sebagian besarnya merasa tercerahkan. Banyak orang juga merasa termotivasi saat melihat ceramahnya di televisi. Bagaimana Mario Teguh bisa menyusun kalimat-kalimat yang inspiratif itu? Berikut obrolan Feature Editor Imam Isnaini dan Senior Editor Esthi Nimita Lubis dengan Mario Teguh.
“Jadilah orang berilmu,” kata Mario Teguh mengawali perbincangannya. Tak hanya dalam satu bidang saja, namun hendaknya kita memiliki ilmu dalam banyak hal yang seluasluasnya. Pemahaman kita terhadap ilmu juga diusahakan sedalamdalamnya dan serinci mungkin. Dalam mempelajari berbagai macam ilmu itu sangat perlu untuk mengupayakan pencapaian yang setinggi-tingginya, jangan setengah-setengah.



Kita akan mendapatkan semua itu dengan terus-menerus belajar tanpa ada kata lelah dan cukup. Selain itu, kita harus lebih banyak mendengar dari siapa pun, baik dari orang yang baik maupun orang yang salah. Dari orang-orang yang baik, kita bisa belajar kebaikannya. Sedangkan dari orang-orang yang salah kita bisa mengambil nilai-nilai positif, asal kita bersedia mendengarnya dengan sikap yang santun. Mario Teguh mengatakan, “Lidah yang salah akan bernilai pada telinga yang santun.”
Setelah kita berilmu, kemudian mau memberi pertolongan kepada orang lain. Memberi pertolongan memunyai makna yang dalam bagi Mario Teguh. Seseorang yang meminta pertolongan kepada kita sebenarnya ia berdoa kepada Tuhan agar menurunkan sedikit kekuatan-Nya lewat diri kita. Meski sedikit kekuatan Tuhan itu besar, “Sedikit-dikitnya kekuatan Tuhan, tak bisa disebut kecil,” jelasnya. Orang yang dipilih Tuhan untuk menjadi perantara-Nya pasti akan dipelihara martabat dan keluhurannya sehingga dipandang sebagai orang yang mulia. Karena itu sebenarnya kita harus berterimakasih dan berkasih sayang kepada orang yang meminta pertolongan kita.
Adakalanya, dalam memberi itu kita merasa dimanfaatkan orang lain. Namun, kalau sudah ada keikhlasan dalam hati kita, perasaan itu tak sampai menimbulkan kemarahan. Kita yakin bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang memberi manfaat kepada manusia yang lain.
Modal Sukses Ada dalam Diri Sendiri
Menjadi seorang motivator bukanlah sesuatu yang disengaja oleh Mario Teguh. Sebenarnya cita-citanya dulu adalah menjadi seorang profesional dengan jabatan yang tinggi kemudian segera berhenti untuk menjadi konsultan dan pembicara publik. Namun, di tengah perjalanan mengejar cita-citanya itu ia melihat banyak orang yang memerlukan bantuan.
Dalam menempuh kehidupan, banyak orang merasa menderita dan putus asa. Ia melihat keputusasaan itu disebabkan karena mereka banyak mensyaratkan untuk menjadi orang sukses. Dan sebagian besar syarat itu diletakkan di luar diri mereka sehingga mereka tak menoleh ke dalam dirinya. Karena tak melihat, mereka tak mengetahui modal sukses itu sebenarnya ada dalam diri mereka sendiri.
Saat orang memunyai keinginan, cita-cita atau harapan, saat itu pula Tuhan memberi izin sekaligus memberinya kekuatan untuk mewujudkannya. “Tuhan tak ‘kan memberi manusia keinginan tanpa memberinya pula kekuatan untuk mewujudkan,” kata pria yang pernah berkarir di banyak perusahaan itu.
Kekuatan yang diberikan Tuhan itulah sebenarnya modal untuk menjadi sukses. Namun tak semua orang mengetahuinya, sehingga membutuhkan seseorang untuk menunjukkannya. Orang yang sudah mengetahui modal yang ada dalam dirinya akan lebih semangat menjalankan hidup.
Kalau hidupnya sudah bersemangat, seseorang akan melihat penderitaan yang sekarang dialami dari sudut pandang yang berbeda. Penderitaan itu sebenarnya suatu fase penyiapan bagi dirinya. Mario Teguh memberi ungkapan, selembar tembaga perlu ditempa, dipukul-pukul dengan palu untuk menjadi wadah yang cantik. Pria kelahiran Makassar itu pun menambahkan, “Untuk menjadi sebuah seruling yang mengeluarkan bunyi yang merdu perlu dilukai dengan pisau dan ditusuk dengan besi yang membara.”
Orang tak perlu mengeluh dengan kegagalan dan penderitaan karena kegagalan dan penderitaan itu tak permanen. Sebaliknya orang juga tak seharusnya sombong dengan keberhasilan dan kesuksesannya karena keberhasilan dan kesuksesan itu juga tak permanen.
Anugerah Memuliakan Ibu
Saat duduk di bangku sekolah menengah, Mario Teguh berkesempatan mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika. Dalam program itu, ia ditempatkan pada sebuah keluarga dengan seorang ibu angkat. Ia diperlakukan dengan baik oleh ibu angkatnya itu seperti anaknya sendiri.
Setiap kali Mario Teguh menanyakan kabar hari ini, ibu angkatnya selalu menjawab “Super!”. Demikian juga tatkala ia mendapat suatu prestasi, ibu angkatnya juga memujinya dengan “Super!”. Lama-kelamaan ia menjadi terbiasa dengan sebutan super untuk merujuk pada sesuatu yang luar biasa.
Mario Teguh tetap melestarikan kebiasaannya menyebut “Super!” meski ia sudah tak bersama ibu angkatnya lagi. Ia ingin menghormatinya sekaligus memuliakannya karena ibu kandungnya berpesan untuk menghormatinya seperti ibunya sendiri. Kata “Super!” kemudian ia gunakan pada setiap kesempatan mengisi ceramah, baik di radio maupun di televisi. Sampai akhirnya ia dikenal dengan salam “Super!”.
Banyak orang tergugah semangatnya dengan salam itu dan menyebutnya sebagai kata-kata yang brilian dan jenius. Mario Teguh hanya bilang, “Itulah buah dari memuliakan seorang ibu.” « 


Kita patut salut dengan pak Mario atas ucapannya yang berbunyi:
“Saudara-saudara kita sesama muslim masih terlalu asyik dengan dunianya sendiri dan bergaul hanya pada lingkungannya sendiri. Malah yang lebih memprihatikan, dengan sesama muslim kalau ngundang pembicara dia tanya dulu, “Orang itu madzhabnya apa ?.” Dia tidak akan menerima orang yang tidak satu madzhab, satu aliran, dengannya. Padahal dinegara-negara maju sudah menjadi pemandangan yang biasa orang-orang Yahudi mengundang pembicara Islam, Hindu atau Kristiani, atau sebaliknya.
Mereka sudah mantap dengan iman mereka sehingga mereka tidak khawatir dengan pembicara yang datang dari luar komunitas mereka. Mereka sangat yakin, bahwa dengan cara demikian (menghadirkan pembicara “orang luar”), mereka dapat memperkaya wacana dan kehangatan batin. Kita, atau persisnya sebagian umat Islam, lupa bahwa salah satu cara mensyukuri perbedaan ditunjukkan bukan pada lisan akan tetapi dengan mendengarkan pendapat orang lain yang beda keyakinan agamanya.”
dan ucapannya yang lain:
“Buat saya, ketika kita betul-betul dengan sadar sesadarnya mengatakan “ya !” terhadap keberadaan dan keesaan Allah (laa ilaaha illallaah; red) kita tak perlu repot-repot lagi memikirkan lebel-lebel formal ketuhanan. Pokoknya terus berlaku jujur, menjaga kerahasiaan klien, menganjurkan yang baik, menghindarkan perilaku, sikap dan pikiran buruk, saya rasa ini semua pilihan orang-orang beriman. Itu alasan pertama.
Alasan kedua, Islam itu agama rahmat untuk semesta alam loch. Berislam itu mbok yang keren abis gitu loch ! Maksudnya jadi orang Islam mbok yang betul-betul memayungi (pemeluk) agama-agama lain. Agama kita itu sebagai agama terakhir dan penyempurna bagi agama-agama sebelumnya. Agama kita puncak kesempurnaan agama loch. Dan karenanya kita harus tampil sebagai pembawa berita bagi semua. Kita tidak perlu mengunggul-unggulkan agama kita yang memang sudah unggul dihadapan saudara-saudara kita yang tidak seagama dengan kita. Bagaimana Islam bisa dinilai baik kalau kita selaku muslim lalu merendahkan agama (dan pemeluk) agama lain.”
Jadi jangan sok udah berislam “secara baik” tapi ga pernah menghargai perbedaan. Benar kata pak mario Bagaimana Islam bisa dinilai baik kalau kita selaku muslim lalu merendahkan agama (dan pemeluk) agama lain. Ambil contoh kecil kalo kita merendahkan teman kita sendiri tentu saja teman kita otomatis menjauhi kita..
Terakhir beliau berkata :
“Masih banyak orang yang salah faham terhadap Islam. Ada satu pengalaman yang mengherankan sekaligus membuat saya prihatin. Dalam satu seminar di acara coffee break isteri saya didatangi salah seorang peserta penganut agama Kristen yang taat. Masih kepada isteri saya, orang itu memberi komentar bahwa saya menerapkan ajaran Injil dengan baik. Lalu dengan lembut, penuh kehati-hatian, isteri saya memberitahu bahwa saya seorang muslim. Sontak orang itu terperanjat saat mengetahui bahwa saya seorang muslim. Yang membuat isteri saya (dan kemudian juga saya) prihatin adalah ucapannya, “Loch, koq ada ya orang Islam yang baik macam Pak Mario !?” Saya pun terkekeh mendengarnya. Nah ini kritik dan sekaligus menjadi tugas kita semua untuk memperbaiki citra Islam.”
Orang-orang seperti pak Mario adalah seorang sufi yang patut kita contoh yang tidak perlu menjelaskan keislamannya ke semua orang tapi dengan perilakunya sudah menujukkan bahwa beliau adalah muslim sejati…